Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi dilatari oleh persaingan antar-pendukung calon bupati Sampang pada Pilkada 2024. Satu orang dikabarkan tewas akibat kejadian tragis itu.
Peristiwa di Sampang, Madura itu barangkali adalah puncak dari sengitnya persaingan antar-pendukung dalam Pilkada Serentak 2024 ini. Selain kejadian Sampang, kita juga bisa melihat banyak video gesekan massa antar-pendukung calon kepala daerah pada momen tertentu seperti kampanye akbar, atau di acara debat.
Hal ini menandakan ketidakdewasaan sebagian masyarakat dalam berdemokrasi. Rendahnya literasi politik masyarakat membuat sebagian pemilih masih terjebak pada fanatisme dukung-mendukung kandidat. Ketika fanatisme itu disulut dengan provokasi, maka terciptalah kekerasan antarsesama masyarakat sipil. Jika dibiarkan, ada kemungkinan kekerasan itu akan melebar menjadi konflik sosial yang lebih besar.
Fenomena kekerasan sipil dan konflik sosial, nyatanya bukan satu-satunya potensi ancaman pada Pilkada Serentak 2024 ini. Di saat yang sama, kita juga menghadapi bangkitnya sel-sel jaringan terorisme yang seolah memanfaatkan momentum Pilkada untuk menunjukkan eksistensinya. Seperti terjadi beberapa waktu lalu ketika Jamaah Ansharud Daulah mengirimkan surat ancaman terhadap Univeritas Katolik Parahyangan, Bandung.
Surat itu berisi ancaman peledakan bom jika pihak Unpar tidak membatalkan wisuda pada tanggal 15-17 November 2024 lalu. Memang, surat itu nyatanya hanya gertak sambal. Setelah disisir polisi, tidak ditemukan bom atau bahan peledak apa pun di lokasi wisuda. Namun, kemunculan surat yang jelas mengatasnamakan JAD itu seolah membuktikan bahwa sel teroris itu masih ada.
Pilkada Momen Kebangkitan Terorisme
Badan Intelejen Negara (BIN) sebenarnya juga sudah mewanti-wanti hal ini sejak jauh hari. BIN menyatakan bahwa meski angka terorisme menurun drastis, bukan berarti terorisme benar-benar musnah. Selalu ada potensi mereka bangkit, terutama di momen-momen yang krusial seperti Pilkada Serentak. Momen politik selalu menjadi ajang come-back kelompok radikal, karena sejumlah alasan.
Antara lain, di momen politik, aparat keamanan cenderung sibuk mengamankan kegiatan politik. Seperti kegiatan kampanye, pemilihan suara, dan sebagainya. Alhasil, pihak keamanan acapkali lengah. Kewaspadaan terhadap kelompok teror pun menurun. Kondisi inilah yang menjadi celah bagi kelompok radikal teror untuk melancarkan aksinya.
Selain itu, momentum politik seperti Pilkada dipilih karena akan memberikan dampak sosial-politik yang signifikan. Tujuan kelompok teroris adalah menimbulkan kekacauan sosial. Maka, mereka perlu mendompleng momen tertentu dalam melakukan aksi. Misalnya aksi teror di peringatan hari besar agama minoritas, atau pada momen Pilkada. Tersebab, hal itu akan menjadi pemberitaan luas dan mendapat atensi publik, tidak hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia.
Alasan terakhir, tentunya kelompok teroris bertujuan menggagalkan pesta demokrasi Pilkada Serentak 2024. Alibinya adalah bahwa Pilkada adalah produk politik kafir yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pilkada hanya akan melahirkan pemimpin thaghut yang zalim dan tidak menegakkan syariat Islam.
Eskalasi kekerasan dan kebangkitan terorisme adalah dua potensi ancaman paling berbahaya di momen Pilkada 2024 ini. Kekerasan sipil yang dilatari fanatisme antar-pendukung paslon kepala daerah merupakan isu serius yang harus dimitigasi sejak dini. Bentuk mitigasinya tentu melibatkan solusi jangka pendek dan panjang.
Dalam konteks jangka pendek, kekerasan sipil dan konflik sosial bisa dicegah dengan melibatkan masing-masing kandidat kepala daerah. Para kandidat idealnya bisa mengendalikan para pendukungnya agar tidak bertindak brutal dan destruktif. Ironisnya, kita justru kerap melihat para kandidat kepala daerah atau tim sukses memainkan retorika politik yang rawan memecah-belah publik.
Pendidikan Politik bagi Publik
Dalam konteks jangka panjang, kita tentu perlu melakukan edukasi politik bagi pemilih dan masyarakat secara umum. Pendidikan politik dengan tujuan membangun budaya demokrasi yang steril dari fanatisme apalagi kultur kekerasan. Secara umum, literasi politik itu akan membuat pemilih bersikap rasional dalam berdemokrasi.
Sedangkan dalam konteks terorisme, mitigasi bisa dilakukan dengan memetakan jaringan teror dan mengidentifikasi sel-sel teror yang menunjukkan gelagat mengkhawatirkan. Aksi teror memang tidak bisa diprediksi kapan dan dimana akan terjadi. Namun, sel-sel teror bisa terus dipantau, agar mereka tidak mendapatkan celah untuk melakukan amaliyah.
Mitigasi terorisme di momen Pilkada juga perlu dilakukan dengan mensterilkan dunia maya dari anasir penyebar narasi radikalisme-ekstremisme. Propaganda ekstremisme kekerasan melalui beragam platform media sosial menunjukkan peningkatan yang drastis menjelang pelaksanaan Pikada Serentak 2024 ini. Diperlukan langkah tegas untuk memberangus narasi ekstremisme itu dari media sosial.
Arkian, kita tentu berharap dan optimistik bahwa Pilkada 2024 ini akan berjalan kondusif. Kita patut berkaca pada suksesnya Pilpres lalu dimana kontestasi politik tidak berimbas pada kekerasan sipil apalagi kebangkitan terorisme. Kondusifitas Pilpres harus direduplikasi dalam konteks Pilkada. Mari kita sambut pesta demokrasi lokal dengan suka-cita tanpa kebencian apalagi kekerasan.
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…
Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…
“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…
Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…
Pilkada 2024 menjadi salah satu momen krusial dalam demokrasi Indonesia. Bangs aini telah sukses menjalani…