Tahun 2023 diprediksi sebagai tahun yang berat terutama di bidang ekonomi. Pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun lebih, perang dagang antara Amerika Serikat dan China ditambah efek konflik regional Rusia-Ukraina melatari terjadinya resesi ekonomi global. Secara sederhana, resesi adalah kondisi ketika pertumbuhan ekonomi mengalami minus dalam beberapa kuartal.
Di Eropa dan Amerika, gelombang resesi sudah kencang terasa. Di Amerika, resesi ekonomi membuat sebagian masyarakat kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal. Di Inggris, naiknya harga bahan bakar minyak membuat harga pangan melonjak tinggi. Indonesia, sebagai negara berkembang tampaknya juga tidak akan bisa menghindar dari ancaman resesi global tahun 2023.
Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan selalu mewanti-wanti bahwa tahun 2023 adalah tahun yang berat. Ia berpesan pada jajarannya agar memaksimalkan dana APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Di saat yang sama, ia juga kerap berpesan agar masyarakat tidak perlu takut berlebihan, melainkan lebih mempersiapkan diri menghadap tantangan ekonomi tahun depan.
Namun, di tengah upaya pemerintah menghadapi resesi global 2023, kaum propagandis khilafah justru memanfaatkan momentum itu untuk mempromosikan ideologinya. Mereka gencar menebar isu bahwa tahun 2023 adalah kiamat ekonomi, dimana sistem kapitalisme akan ambruk. Hal itu dilakukan untuk menimbulkan semacam collective fearness alias ketakutan kolektif di tengah masyarakat.
Khilafah Bukan Solusi Mengatasai Resesi Ekonomi
Di tengah sentimen kecemasan, ketakutan, dan kepanikan akan ancaman resesi 2023 tersebut, kaum radikal gencar mempropagandakan ideologi khilafah. Mereka mengklaim, tegaknya khilafah adalah solusi bagi resesi global 2023. Cara-cara ini sebenarnya sudah sering dilakukan bahkan cenderung bagi. Apa pun problem yang dihadapi umat manusia, mulai dari kemiskinan, perang, krisis ekonomi sampai krisis lingkungan, solusi kaum radikal hanya satu; menegakkan khilafah.
Logika yang demikian ini sebenarnya ahistoris. Bagaimana tidak? Khilafah sebagai sebuah sistem politik dan sosial pada dasarnya memiliki banyak kelemahan. Sejarah mencatat, bagaimana pemerintahan khilafah di masa lalu tidak serta-merta steril dari intrik politik, perang berebut kekuasaan, hingga praktik korupsi dan hedonism di kalangan penguasa. Demikian pula, di era kekhalifahan tidak semua umat Islam hidup sejahtera dan menikmati keadilan.
Fakta sejarah itu menunjukkan bahwa khilafah tidak lagi relevan untuk mengatasi problem ekonomi dan politik kontemporer yang jauh lebih kompleks ketimbang dunia Islam di era kekhalifahan. Pertanyaan sederhananya, bagaimana sistem khilafah mampu mengatasi persoalan krisis ekonomi yang diakibatkan oleh konflik geopolitik? Bagaimana sistem khilafah mampu menahan laju tingginya angka inflasi? Atau bagaimana sistem khilafah mampu menanggulangi krisis kelangkaan bahan bakar minyak sebagai salah satu sumber energi dunia?
Jika pertanyaan itu disodorkan pada para propagandis khilafah, bisa dipastikan tidak aka nada jawaban yang memuaskan akal sehat. Alih-alih menjawab, mereka justru mengajak kita menegakkan sistem khilafah. Mereka mengklaim, jika sistem khilafah berdiri, maka seluruh problem itu akan teratasi dengan sendiri. Inilah yang disebut sebagai ilusi. Yakni meyakini sesuatu bukan berdasar pada fakta dan realita, melainkan pada imajinasi.
Di titik ini, bisa disimpulkan bahwa penegakan sistem khilafah bukanlah solusi menghadapi resesi ekonomi 2023. Sebaliknya, propaganda khilafah justru hanya akan menghadirkan ancaman anarki, yakni munculnya konflik sosial di masyarakat. Sejarah telah mencatat, dimana gerakan khilafah bangkit, di situlah kekacauan sosial-politik muncul. Di negara-negara Timur Tengah misalnya, gerakan khilafah lebih banyak menimbulkan efek destruktif ketimbang konstruktif.
Pemberdayaan Ekonomi Umat Sebagai Solusi Resesi
Sebagai umat Islam, yang wajib kita lakukan dalam menghadapi resesi ekonomi 2023 ialah mengejawantahkan kembali prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah. Prinsip dasar ekonomi syariah pd dasarnya bertumpu pada filosofi kesejahteraan umat yang termanifestasi ke dalam ritus-ritus seperti zakat, infaq, sodaqoh, dan sejenisnya. Sayangnya, selama ini prinsip ekonomi syariah itu kerap direduksi ke dalam sistem perbankan syariah yang lebih mengutamakan simbol daripada esensi.
Prinsip dasar ekonomi syariah ini sejalan dengan sistem ekonomi Pancasila yang berbasis pada gotong-royong. Paradigma ekonomi gotong-royong itulah yang idealnya kita ejawantahkan di masa-masa sulit seperti saat ini. Di satu sisi, kita tidak boleh pesimis menyongsong tahun 2023 yang diprediski akan mengalami resesi ekonomi. Sikap optimistik dan menghindari rasa takut berlebihan ialah modal utama kita menghadap resesi 2023.
Di sisi lain, kita wajib mengoptimalkan prinsip ekonomi gotong-royong. Indonesia adalah negara besar dengan penduduk 200 juta jiwa lebih. Kekuatan ekonomi kita selama ini ditopang oleh konsumsi domestik yang mewujud pada keberadaan usaha kecil-menengah. Sektor UMKM itulah yang harus kita jaga keberlangsungannya. Pemberdayaan ekonomi di sektor menengah dan bawah ini lebih konkret dalam menghadapi resesi ketimbang propaganda khilafah yang lebih banyak menebar ilusi bahkan ancaman anarki.
This post was last modified on 25 November 2022 4:11 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…