Ramadan menyisakan sepuluh hari terakhir. Fase dianggap keramat, karena di saat itulah Allah mengampuni dosa-dosa manusia. Di sepuluh hari terakhir juga terdapat lailatul qadar. Namun ironisnya, di penghujung Ramadan ini masih saja ada pihak yang tega menebar provokasi.
Salah satunya ialah kelompok (eks) HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang memanfaatkan momen bulan suci ini untuk menebar propaganda dan provokasi. Salah satunya melalui Buletin Mingguan “Kaffah” yang didistribusikan melalui sejumlah masjid. Edisi terbaru buletin itu memuat tulisan provokatif berjudul “Ramadan Bulan Jihad dan Perjuangan”.
Seolah tidak ada yang salah dengan judul tersebut. Ramadan memang dikenal sebagai bulan jihad (syahrul jihad). Mengingat banyak peristiwa peperangan yang dimenangkan umat Islam terjadi pada bulan Ramadan. Namun, ada yang miss-leading dalam artikel tersebut, tersebab dari awal sampai akhir, konotasi jihad hanyalah mengacu pada peperangan fisik saja. Penulis artikel seolah-olah tengah menggiring opini pembaca bahwa manifestasi jihad satu-satunya ialah peperangan fisik.
Waspada Penafsiran Jihad yang Over-Simplifikatif
Penafsiran yang demikian ini termasuk ke dalam nalar oversimplifikasi. Yakni menyederhanakan sebuah istilah atau konsep yang sebenarnya multitafsir dan kompleks ke dalam penafsiran sederhana dan tunggal yang sesuai dengan kepentingan si penafsir. Dalam konteks ini, pemaknaan jihad semata sebagai perang ialah upaya untuk menjustifikasi tindakan kekerasan dan teror atas nama agama yang dilakukan golongan tertentu. Tujuannya tentu saja agar semakin banyak umat Islam yang memilih kekerasan dan teror sebagai “jalan perjuangannya”.
Mengkonotasikan jihad semata ke dalam makna perang fisik (qital) ialah sebuah kerancuan berpikir yang fatal. Dampaknya pun fatal. Terbukti, banyak umat Islam yang bersikap permisif pada teror dan kekerasan. Bahkan, tidak sedikit yang mengglorifikasi pelaku teror atau kekerasan sebagai mujahid.
Disinilah pentingnya meluruskan kerancuan tafsir jihad dan qital. Merujuk pada pandangan Nassarudin Umar, antara jihad dan qital sebenarnya memiliki penafsiran yang cukup jauh berbeda. Secara sederhana, kita bisa terlebih dahulu memahami bahwa makna jihad lebih luas ketimbang qital. Qital semata merujuk pada perang fisik, yakni konfrontasi antar-individu atau antar-kelompok yang dilatari adanya konflik kepentingan.
Sedangkan jihad memiliki cakupan makna yang lebih luas dari sekadar perang. Bahwa perang ialah salah satu manifestasi jihad adalah benar. Namun, tidak semua peperangan bisa dikategorikan sebagai perang jihad. Hanya peperangan yang memang dilandasi spirit untuk membela agama Allah bisa dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah.
Di titik ini, Nassarudin mengingatkan bahwa di era modern ini, nyaris mustahil melihat adanya perang yang benar-benar jihad. Tersebab, mayoritas peperangan kadung dilatari oleh motif duniawi, seperti ekonomi dan politik.
Jihad Intelektual Lebih Relevan untuk Islam Indonesia
Senada dengan Nasaruddin Umar, mufassir Quraish Shihab menjelaskan bahwa jihad dan qital secara etimologis maupun terminologis berbeda. Dari segi kebahasaan, jihad berasal dari jahada yang lantas membentuk tiga kata kunci, yakni jihad yang bermakna perjuangan fisik, ijtihad yakni perjuangan nalar, dan mujahadah yang berarti perjuangan untuk meraih kemuliaan.
Tiga kata itu saling berkelindan dan saling bertaut alias tidak bisa berdiri sendiri. dalam artian, jihad tidak bisa dipisahkan dari ijtihad, dan mujahadah. Artinya, berjihad harus dilandasi oleh pertimbangan nalar (ijtihad) dan tujuan-tujuan yang bersifat mulia (mujahadah). Perilaku yang diklaim jihad namun tanpa dilandasi nalar dan tujuan mulia justru akan berakhir sebagai fasad alias tindakan destruktif.
Sedangkan qital dalam Bahasa Arab bermakna membunuh atau berperang. Alquran memakai kata qital berulang kali yang merujuk pada makna peperangan fisik. Yakni ketika umat Islam ada dalam kondisi terdesak atau tertindas, maka diwajibkan untuk melawan (qital). Artinya, makna qital di dalam Alquran pun lebih mengarah pada peperangan defensive alias mempertahankan diri, bukan perang ofensif.
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa jihad dan qital adalah dua hal yang berbeda, dan tidak bisa disederhanakan maknanya. Mengkonotasikan jihad semata sebagai qital ialah simplifikasi yang fatal, karena mengeliminasi makna-makna lainnya. Jihad, dalam berbagai bentuknya entah itu jihad fisik, atau jihad akal (intelektual) adalah sama-sama perbuatan mulia. Sedangkan qital (membunuh atau perang) belum tentu bisa dikategorikan perbuatan mulia. Kita harus melihat dulu motif atau tujuannya.
Jika merujuk pada konteks umat Islam hari ini, mempropagandakan jihad fisik (perang) apalagi dalam konteks Indonesia yang aman dan damai bisa dikategorikan sebagai propaganda yang provokatif dan berbahaya. Di dalam konteks Indonesia yang lebih layak dikategorikan sebagai darussalam ketimbang darul kufr, jihad yang relevan ialah jihad akal atau intelektual. Yakni membangun peradaban Islam berbasis pada pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
This post was last modified on 12 April 2023 3:02 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…