Narasi

Ramadhan sebagai Ajang Jihad Membumikan Islam Rahmah

Salah satu penyakit atau tantangan dalam menjalankan ibadah puasa adalah merasa paling benar sendiri. Seolah-olah, di satu sisi, karena telah menjalankan ibadah puasa, kemudian kita merasa sebagai orang yang paling benar dan paling dekat dengan Allah. Dan, di sisi lain, pada saat bersamaan orang lain dianggap tidak serius dalam beragama. Sejurus kemudian, timbullah penghakiman sepihak. Kita—yang merasa paling saleh secara spiritualitas—kemudian dengan mudah menilai orang lain salah.

Pola pikir semacam itu tidak diperkenankan dalam Islam. Sebab, selain hal itu mendekatkan diri kepada kesombongan, secara sosial pola pikir semacam itu juga tidak diperkenankan karena dapat mengganggu atau keharmonisan dan kerukunan sosial. Sebab, ketika kita telah mengira diri sebagai yang paling saleh dalam beragama, maka biasanya kita mudah menghakimi pihak lain sebagai orang-orang yang layak untuk dimusuhi. Yang bukan hanya mereka yang berbeda secara keyakinan, tetapi juga mereka yang secara keyakinan-keagamaan juga sama-sama Islam-nya dengan kita.

Fenomena semacam itu banyak terjadi akhir-akhir ini. Mereka yang setiap hari di masjid, misalnya, lalu dengan mudahnya menghakimi, menilai, dan bahkan menghujat mereka yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid. Dalam konteks yang lebih ekstrem, perilaku menghakimi itu biasanya juga menyasar komunitas non-muslim. Komunitas non-muslim, yang secara teologis memiliki keyakinan berbeda, dihakimi, dikafir-kafirkan, dan bahkan dirampas hak beragamanya. Ibadahnya diganggu dan bahkan tempat ibadahnya ditutup paksa. Seolah-olah, dunia ini hanya boleh dihuni oleh orang-orang Islam saja.

Padahal, telah jelas dikatakan bahwa keberagaman itu adalah fitrah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Al-Quran disebutkan: ”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujarat: 49).

Selain itu, juga telah jelas dikatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama meski dalam keyakinan kita Islam lah gama yang paling benar. Dalam Al-Quran dikatakan: ”Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada gantungan tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).

Penjelasan di atas dengan gamblang memberi tahu kita bahwa kita tidak boleh seenaknya menghakimi orang lain. Baik itu umat Islam sendiri dan lebih-lebih umat non muslim. Sebab, perbedaan keyakinan dan spiritualitas bukanlah alasan yang dapat dibenarkan untuk menghakimi orang lain. Meski dalam pandangan kita mereka sedang tidak di jalur yang benar, hal terbaik yang harus kita lakukan adalah menghargai pilihannya dan atau mendoakannya semoga diselamatkan, bukan menghakimi dan menghujatnya.

Ramadhan adalah bulan suci yang penuh hikmah. Karena itu, mari kita manfaatkan bulan penuh berkah ini untuk hal-hal yang positif yang menunjang terhadap peningkatan spiritualitas kita. Misal, untuk meningkatkan toleransi dan cinta kasih kepada sesama. Bukan malah menghakimi orang lain yang tidak sepemahaman atau tidak seiman dengan kita. Keberagaman adalah fitrahnya. Karena itu, sangat tidak elok bila hanya karena kita merasa lebih baik dalam hal ibadah, kemudian mudah menghakimi mereka yang berbeda. Ramadhan adalah momentum untuk menguatkan kolaborasi, bukan polarisasi.

This post was last modified on 11 April 2023 1:27 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

3 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

3 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

3 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago