Narasi

Puasa Melatih Solidaritas Umat

Tujuan dilaksanakan puasa menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah ialah untuk menahan jiwa dari syahwat, menundukkan kekuatan nafsu, dan menahan rasa lapar serta dahaga. Puasa juga dimaksudkan untuk meniti jalan kebahagiaan, kenikmatan, kesucian hati (kesehatan hati), dan bisa mengingatkan umat Islam terhadap keadaan orang-orang miskin yang akrab dengan kekurangan dan rasa lapar. Singkatnya, umat Islam diwajibkan berpuasa untuk bisa membersihkan hati dari berbagai infiltrasi yang buruk dan bisa menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama umat manusia.

Puasa yang produktif akan mengantarkan umat Islam pada sikap takwa dan bersyukur pada Allah (la’allakum tattaqun dan la’allakum tasykurun). Sikap takwa ini bisa dilihat dalam perilaku lahiriah dan ketulusan batiniah dalam menjalankan kehendak Allah secara umum. Sedangkan sikap syukur di sini mendapat penekanan yang khusus, karena ibadah puasa harus dimanifestasikan dengan mengulurkan tangan kepada sesama manusia yang membutuhkan. Nabi telah memberi contoh kepada kita bahwa sifat kemurahan hati dan kedermawanannya sangat menonjol pada bulan puasa (Alwi Shihab, 1999: 279).

Solidaritas yang Tertunda

Sejak kita lahir di dunia sampai sekarang, sudah berapa kali kita melaksanakan puasa di bulan Ramadan? Sudahkah kita merasakan peningkatan solidaritas yang signifikan tatkala melaksanakan puasa dan sesudah melaksanakannya?

Solidaritas kita saat ini bisa dikatakan banyak yang tertunda, pasalnya mindset tentang solidaritas masih dilaksanakan pada komunitas sendiri. Padahal secara umum, solidaritas itu tidak hanya tentang aku dan kamu, tetapi tentang kita. Kuat dan baiknya agama Islam dan negara Indonesia, tidak hanya faktor adanya solidaritas antara aku dan kamu, tetapi faktor solidaritas antara kita semua.

Ketertundaan ini semakin menjadi tatkala berbagai macam provokasi yang tidak berbicara secara terbuka tentang kehidupan universal, tetapi hanya membicarakan kehidupan pribadi dan komunitasnya sendiri. Ya, provokasi itu disebarluaskan melalui media sosial, yang membuat banyak orang berpikir ulang untuk bersolidaritas. Mending saja jika berpikir ulang itu untuk memantapkan hati dalam bersolidaritas, namun sungguh disayangkan jika berpikir ulang itu hanya untuk mencari alasa bagaimana menundanya.

Ketertundaan dalam bersolidaritas ini membuat saudara-saudara kita merasa dalam tekanan dan kehilangan kontrol. Contohnya saja kasus pemboman yang terjadi di tiga Gereja, Polrestabes, dan beberapa tempat lainnya. Pelakunya tidak terkontrol lagi untuk melakukan bom bunuh diri, padahal usianya masih muda, harta punya, dan memeluk agama juga. Bisa dikatakan bahwa solidaritas yang kurang kita tunjukkan, berakibat pada perbuatan seseorang yang tidak sesuai dengan norma agama dan Negara.

Melatih Solidaritas

Melalui puasa di bulan Ramadan ini, kita perlu menyadari bahwa puasa tidak hanya menahan syahwat, lapar, haus, tetapi juga sebagai strategi untuk melatih bersolidaritas secara luas kepada sesama umat manusia. Di bulan puasa ini, banyak momen yang bisa dijadikan sebagai sarana melatih solidaritas, di antaranya bersedekah, buka bersama, terawih berjamaah, ngaji bersama, berbagi takjil, dan menjaga keadaan agar tetap aman.

Di antara beberapa momen tersebut, kita bisa mengambil satu momen atau lebih untuk kita jadikan media agar solidaritas kita semakin matang. Dari internal muslim ini, kita juga bisa mengembangkan untuk bersolidaritas  kepada orang-orang yang beda suku, agama, dan negara. Solidaritas secara eksternal inilah yang masih perlu dilatih, karena selama ini banyak orang yang berkomentar negatif ketika berhadapan atau membahas suku, ras, agama, dan negara lain.

Harapan dari melatih solidaritas ini ialah tercapainya ketakwaan umat Islam, ketakwaan yang selalu menuntun orang untuk tidak ragu-ragu lagi bersolidaritas kepada manusia. Dengan demikian, bangsa Indonesia bisa menjadi negara yang menjunjung tinggi solidaritas tanpa batas, sehingga tidak diskriminasi, kekerasan, dan ada lagi teror-teror yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.

Arief Rifkiawan Hamzah

Menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Al-Hikmah 1 Benda, Sirampog, Brebes dan Ponpes Darul Falah Pare, Kediri. Saat ini ia sebagai Tutor di Universitas Terbuka.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago