Narasi

Puasa, Pandemi dan Akselerasi Filantropi

Umat Islam sejagad melaksanakan puasa bulan Ramadan yang dimulai pada Jumat (24/4). Puasa tahun ini berbeda seperti biasanya lantaran kondisi pandemic Covid-19. MUI, Kemenag, dan semua ormas Islam telah mengeluarkan fatwa dan edaran agar Ramadan kali ini dilakukan di rumah saja. Hal serupa juga dilakukan di seluruh dunia.

Kondisi di atas menyebabkan puasa Ramadan tahun ini terasa lebih berat. Apalagi imbas sosial ekonomi semakin berat. Kondisi ini menguji muslim yang sedang berpuasa agar tidak egois dan peduli sosial sekitarnya. Konsekuensinya perlu aktualisasi bahkan akselerasi gerakan filantropi selama bulan Ramadan di tengah pandemi ini. Kalangan yang masih mampu dapat meningkatkan kadar sedekah, infaq atau zakatnya kepada kaum terdampak Covid-19.

Teologi Filantropi

Islam tidak mensyari’atkan sesuatu selain pasti mengandung hikmah, baik yang diketahui maupun tidak diketahui. Hikmah adalah harta orang Islam yang hilang, barang siapa yang menemukannya maka ia untuknya, demikian Ali Bin Abi Thalib memberi nasihat agar setiap kita berupaya menggali hikmah dari setiap perbuatan demi mengoptimalkannya sebagai motivasi ibadah.  

Hikmah besar dari puasa adalah meningkatnya kepedualian sosial. Orang yang berpuasa akan merasakan ketika sesama manusia di tempat lain kelaparan. Harapannya jiwa peduli atau filantropinya akan terakselerasi di bulan suci ini.

Ditambah lagi kondisi sekarang yang sedang menghadapi pandemi Covid-19. Imbas pandemi ini sangat terasa secara ekonomi. Banyak yang kena PHK, dirumahkan, tidak lagi berpenghasilan atau turun tajam penghasilannya. Jiwa filantropi muslim mesti dikuatkan dan digerakkan. Nilai kemanusiaan menjadi titik tekan konstitusi Indonesia. Sila kedua Pancasila menempatkan pangakuan adanya “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Baca Juga :   Ramadhan, Corona, dan Tadarus Diri

Kata Filantropi sendiri berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia. Maknanya adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Definisi filantropi terus berkembang seiring dengan variasi praktiknya. Pendefinisian yang paling mutakhir melihat filantropi sebagai social investment (investasi sosial), di mana seseorang, sekelompok orang atau perusahaan bermitra dengan orang-orang yang dibantunya (Ibrahim, 2013). Artinya, filantropi tidak lagi  hanya dilakukan individu, tetapi merambah ke institusi yang bisa memberikan bantuan.

Survei PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center)  menemukan fakta bahwa Tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia terbukti jauh lebih tinggi dari bangsa Amerika, apalagi Jerman dan Prancis. Meskipun dalam hal nominal masih di bawahnya. Motivasi utamanya adalah agama. Buktinya kegiatan kedermawan mencapai puncaknya di hari-hari keagamaan seperti Ramadhan dan Idul Fitri.

Landasan teologis menjadi pegangan fundamental masyarakat dalam berderma. Misalnya umat Islam yang mendasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 267, ”Hai orang-orang yang beriman, dermakanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian apa yang kamu keluarkan dari bumi untukmu. Dan, janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu dermakan kepadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji”.

Rahmatullah (2008) mengunggkap ada setidaknya tiga potensi yang menyuburkan filantropi di negeri ini. Pertama adalah diaspora filantropi. Kedermawanan ini diwujudkan dalam bentuk pemberian sumbangan berupa uang dan barang dan bentuk bantuan lainnya oleh warga yang merantau di kota-kota besar kepada kampung halamannya.  Kedua adalah konglomerasi atau kekayaan personil. Potensi ini belum dioptimalkan. Di negara maju, publikasi konglomerat dilakukan selain nilai kekayaannya juga besarnya derma setiap tahun. Ketiga adalah derma perusahaan. Bentuk filantropi ini sinergis dengan tuntutan CSR (corporate social responsibility). Banyak perusahaan memiliki divisi sosial yang khusus menampung, memngelola dan menyalurkan dana-dana sosial.

 Aktualisasi dan Akselerasi

Puasa di tengah pandemi ini menjadi momentum tepat guna mengaktualisaikan sekaligus mengakselerasi potensi filantropi umat Islam.Potensi besar filantropi dari sisi pelaku dan nominal masih belum digarap optimal. Dari zakat saja, menurut Baznas potensinya bisa mencapai  Rp 217 triliun. Padahal pada 2016, tercatat zakat masuk Rp 5 triliun atau hanya 1 persen dari potensi tersebut.

Urgensi filantropi yang mampu menyentuh aspek mendasar manusia dan efek bola saljunya hingga ke ranah global, mendesak diupayakan secara optimal. Optimalisasi mesti komprehensif dan sistematis mulai dari sisi pengumpulan hingga penyaluran. Semua komponen mesti disasar secara merata.

Optimalisasi pengumpulan dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dengan memperbesar potensi kemampuan dan konsistensi para filantropis. Layanan prima dapat dikembangkan. Penyumbang mesti dipermudah dengan media IT. Akuntabilitas penting ditunjukkan sebagai wujud profesionalisme. Hal ini dapat menggugah filantropis untuk terus menyumbang hingga puncak optimalnya.

Sedangakan ekstensifikasi dengan memperbesar jumlah filantropis. Sosialisasi dan motivasi spiritual penting dikembangkan. Berkembang dan tersebarnya lembaga filantropi akan turut membantu upaya ini. Pemetaan dan identifikasi calon filantropis penting dilakukan agar tepat sasaran dan tepat pendekatan.

Aspek penyaluran mesti dikembangkan tidak hanya instan atau konsumtif. Dalam kondisi darurat seperti tanggap bencana bentuk konsumsi habis pakai memang dibutuhkan. Namun pasca itu atau dalam kondisi normal mesti dioptimalkan pemberdayaan. Targetnya adalah agar obyek filantropi dapat sejahtera, mandiri, dan berubah menjadi filantropis.

Ruh sosial dalam filantropi mesti diperkuat. Filantropi mesti dikuatkan dengan bangunan keikhlasan di atas kapitalisasi popularitas, ekonomi, politik, dan lainnya. Ikatan antara filantropis, lembaga, dan obyeknya yang kuat dan berkesinambungan menjadi poin penting bagi penguatan persatuan dan kesatuan bangsa. Dampak Covid-19 terhadap ekonomi rakyat di negeri ini mendesak disentuh oleh filantropi. Sulit jika mengharapkan sepenuhnya dari negara. Bantuan material khususnya pangan menjadi sangat dibutuhkan warga terdampak Covid-19.

This post was last modified on 27 April 2020 3:42 PM

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

View Comments

Recent Posts

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

58 menit ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

59 menit ago

KH. Syukron Makmun: Singa Podium, Pelestari Akidah Ahlussunnah, dan Konter Wahabi

Di tengah ketegangan antarumat Islam akibat ikhtilaf mengenai hukum musik, yang diprakarsai oleh Wahabi dan…

1 jam ago

Gotong Royong: Menangkal Cacat Paham Individualisme Agama

Indonesia berdiri di atas keragaman sebagai salah satu pondasi utamanya. Oleh karena itu, keragaman itu…

1 jam ago

Noktah Hitam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia Dalam Kacamata Umat Beragama

Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia saat ini tidak dalam keadaan “baik-baik saja”.…

1 hari ago

Toleransi Bukan Sekedar Menghormati, Tetapi Menjamin Hak yang Berbeda

Egoisme beragama adalah salah satu penghambat dalam membangun harmoni sosial antar umat beragama. Fenomena ini…

1 hari ago