Makkah adalah Tanah Baitullah. Musim Haji tahun 2023 ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya kecuali di masa pandemi, tak kurang dari 2 juta manusia berkumpul di sana untuk menjalankan ibadah yang merupakan rukun ke-5 agama Islam (Reuters, 27/06/2023). Selain sebagai ibadah, tak sedikit yang menganggap haji sebagai sarana pendidikan, baik yang ditinjau secara spiritual maupun material (Schimmel, 1975; Latuapo, 2021; Al-Ajarma, 2023; dan Al-Balagh Foundation, tt). Bahkan, jika menggunakan kaca mata sistem jenjang pendidikan formal, haji bukan hanya ‘sekelas’ madrasah, melainkan ada di level kategori jami’ah (universitas, perguruan tinggi). Mengapa demikian?
Persamaan dalam Keragaman
Di universitas, berkumpul banyak sekali orang dari beragam latar belakang dengan tujuan yang kurang lebih sama, yaitu belajar. Demikian juga di Haramain. Perbedaan ragam asal ini tidak menyurutkan mereka untuk sama-sama beribadah maupun belajar. Itulah mengapa sebagian sufi menyebut haji adalah ‘laku’ min al-katsrah ila al-wahdah (Saghaee & van Leeuwen, 2023); dari banyak latar belakang daerah, negara, suku bangsa, madzhab, organisasi, dan sebagainya menjadi satu identitas: jama’ah haji.
Meski sama-sama jama’ah haji, sama-sama mahasiswa di universitas yang sama, keragaman tetaplah ada. Ada yang belajar di Fakultas Pendidikan, Fakultas Kesehatan, Fakultas Teknik, dan sebagainya. Jama’ah haji pun demikian adanya; ada yang berhaji tamathu’, ifrad, atau qiran. Ada yang membayar SPP kategori UKT 1, 2, 3, dan seterusnya; ada yang ongkos haji-nya regular, khusus, dan furada.
Mengapa haji setara universitas (jami’ah) dan bukan sekolah (madrasah)? Karena memang lebih sedikit orang yang mampu meraihnya, baik secara material, intelektual, maupun spiritual. Tentu ini bukan berarti orang yang mampu kuliah atau berhaji memiliki kebaikan paripurna dibandingkan yang tidak mendapat privilese tersebut. Justru ini harus dimaknai: mereka yang kuliah ataupun berhaji ini sedang dididik, digembleng di kawah candradimuka, agar mereka dapat lulus dan diwisuda sebagai cum laude, sebagai haji mabrur.
Ujian Jasmani Rohani
Untuk dapat lulus, tentunya ada ujian. Sebagai sebuah perjalanan spiritual yang riwayat ibadahnya lebih tua daripada agama Islam — thawaf, salah satu ritual dalam haji, disebut telah dilakukan oleh para malaikat sebelum penciptaan Nabi Adam (Umar, 2018), maka ujiannya pun tentu tidak main-main. Bukan multiple choices, bukan esai, bukan presentasi, tetapi menuntut kesiapan jasmani dan rohani pesertanya.
Sepanjang persiapan hingga pelaksanaan ibadah haji adalah masa ujian. Secara jasmani atau fisik dan material, tentu sudah maklum adanya. Namun ujian rohani atau spiritual tidak mudah diketahui parameternya. Bisa jadi ia sudah muncul di saat (calon) jama’ah haji membayar porsi haji di bank mitra, mendaftar di Kemenag, atau mengikuti manasik bersama KBIH di kotanya. Atau di saat jama’ah haji harus ikhlas meninggalkan orang tua, keluarga, dan semua yang ada di Tanah Air. Atau bahkan di saat ia dielu-elukan oleh kenalannya karena bisa berangkat haji. Ingat, ujian bukan hanya sesuatu yang dirasa berat; pujian pun sejatinya juga ujian, bahkan lebih berat.
Atau di saat sedang thawaf, sa’i, melempar jumrah? Berdesak-desakan dengan jutaan orang dari berbagai macam ras tentu menguras tenaga fisik maupun psikis. Ada sebuah kisah dari seorang kerabat yang sempat mengeluh dalam hati karena tak tahan oleh aroma keringat jama’ah negara lain saat thawaf. Dan ia pun terus mencium aroma tersebut bahkan sampai sepulangnya ke Tanah Air, saat ia menceritakan pengalamannya itu.
Gagal menahan diri untuk tidak menilai sesama ciptaan Allah, katanya saat berkisah. Padahal ia hanya mengeluh dalam hati, tapi langsung membuat insaf bahwa kekhilafan itu dibayar tunai dengan balasan “adzab aromatik” yang menurutnya cukup pedih itu.
Wisuda sebagai Haji Mabrur
Sebagai lulusan dari universitas yang pendidikannya diselenggarakan di bulan Dzulhijjah tapi ujiannya maha berat itu, seorang Haji dihadapkan pada tugas yang tidak ringan. Ia kembali ke masyarakat yang mengantarnya berangkat ke Tanah Suci, dan menyambutnya datang kembali sebagai pribadi yang lebih baik.
Pertama, bertemu dengan jutaan manusia dari berbagai latar belakang, dalam satu tujuan, seorang Haji tentunya menjadi lebih mampu bertenggangrasa. Semangat toleransi meningkat dari pengalaman berhadapan dengan ragam karakter manusia yang datang dengan keunikan budayanya.
Kedua, lebih tenang dalam terlatih dalam menghadapi berbagai situasi karena telah ditempa dalam ujian yang harus disikapi secara jasmani maupun rohani. Kondisi apapun, yang menyenangkan, menyedihkan, maupun menantang, tidak sedikitpun menggoyahkan keteguhan sikapnya.
Toleransi terhadap keragaman yang ditunjang oleh keteguhan untuk mengekspresikannya, merupakan kunci bagi seorang Haji Indonesia: Haji yang mampu menjawab tantangan masa depan demi keutuhan bangsa Indonesia.
This post was last modified on 4 Juli 2023 2:31 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…