Secara konseptual, komunisme Indonesia barangkali hanya ada pada pemikiran Tan Malaka, salah seorang pahlawan nasional dan pendiri negara Indonesia. Bukan karena Tan Malaka tak menampik agama sebagai modal sosial-politik dalam Madilog, namun ketika dikaitkan dengan kenyataan sosial-politik-kebudayaan Indonesia, komunismenya seolah bersifat autochthonous. Maka dapat dipahami, meskipun seorang komunis, Tan Malaka dapat mendapatkan gelar sebagai salah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Sifat autochthonous komunisme Tan Malaka jelas terlihat dalam salah satu gagasannya tentang kemerdekaan 100% yang tertuang dalam bukunya Merdeka 100%. Pada catatan yang berbentuk dialog itu, pilihan Indonesia sebagai negara republik, dan kritisismenya pada demokrasi liberal, sangat tampak berkesesuaian dengan Pancasila selama ini—meskipun tentu saja penekanannya pada obyek kekuasaan, yakni rakyat atau kaum proletar, lebih dominan dibanding para penafsir Pancasila lainnya.
Taruhlah tilikan Tan Malaka pada birokrasi yang ia lambangkan sebagai seekor ular berkepala 10, yang menandai masih belumnya obyek kekuasaan (rakyat) tercakup secara ideal karena birokrasi itu masih menguntungkan segelintir pihak. Tan Malaka jelas tak menampik birokrasi sebagai perangkat yang mesti ada dalam menjalankan kekuasaan. Namun, yang dipersoalkannya adalah ternyata birokrasi selama ini masih menjadi instrumen penindasan bagi kekuasaan tertinggi, yang dalam pandangan Tan Malaka, dirujuk sebagai rakyat.
Cukup menarik untuk kemudian menautkan tilikan Tan Malaka itu pada persoalan tentang fenomena radikalisme dan terorisme. Radikalisme dan terorisme tentu saja adalah sebuah ancaman tak ubahnya nekolim pada awal kemerdekaan Indonesia. Saya tak akan mengaitkan kapitalisme dengan radikalisme dan terorisme yang umumnya dipandang berseberangan. Namun secara konseptual, merujuk pada Derrida (Acts of Religion, 1996), secara inheren demokrasi memang memiliki radikalitas dan terornya tersendiri.
Maka dari itu, untuk merdeka 100 % dari radikalisme dan terorisme, cukup menarik untuk kali pertamanya menempatkan kekuasaan pada obyek dari radikalisme dan terorisme, yang dalam rumus Tan Malaka adalah rakyat. Ketika kekuasaan dan berbagai derivasinya itu cukup berjalan secara ideal, taruhlah birokrasi yang tak sekedar berjalan dan menguntungkan kalangan atas, atau menjadi seekor yang tak lagi berkepala 10, otomatis bangsa Indonesia akan merdeka 100% dari radikalisme dan terorisme. Bukankah selama ini dengan banyaknya lembaga atau komunitas, agamawan-agamawan moderat, undang-undang, kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan persoalan radikalisme dan terorisme, masih saja belum 100% memerdekakan bangsa Indonesia dari radikalisme dan terorisme? Bukankah menjelang 2019 banyak data yang menyajikan keterlibatan birokrasi Indonesia yang memberi ruang pada ekspresi agama yang radikal dan puritan, yang kemudian marak menyulut terjadinya peristiwa-peristiwa sumpah kesetiaan ulang pada NKRI di kalangan birokrat? Bukankah kenyataan dari sebuah kekuasaan yang tak teraba itu ada pada birokrasi?
This post was last modified on 15 Agustus 2023 6:50 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…