Keagamaan

Ramadan : Jihad Melawan Ujaran Kebencian di Media Sosial

Jika tidak mempunyai mental yang kuat jangan sekali-kali menengok media sosial. Bukan sekedar informasi yang didapatkan, tetapi beragam informasi dari yang berguna hingga sampah bertebaran. Dari yang mempunyai norma hingga yang tidak beradab sekalipun. Dari yang punya kesantunan hingga yang sehari-hari hanya menuhin ujaran kebencian.

Ketika peristiwa kontroversi atau apapun yang dibincangkan menjadi viral, ruang publik dipenuhi dengan hasutan, provokasi, dan ajakan yang mengarah pada penanaman kebencian. Orang ketika membaca media sosial seolah ditanamkan : kamu harus berpihak kepada yang ini dan membenci yang itu. Kebencian mudah menular melalui media sosial.

Tanpa kita sadari, sejatinya kebencian merupakan elemen dasar yang menyebabkan tragedi kemanusiaan dalam sejarah umat manusia. Semua berawal dari kebencian. Masyarakat yang dipenuhi dengan nuansa kebencian merupakan ladang subur tumbuhnya benih konflik sosial.

Ramadan tidak hanya menjadi bulan suci penuh berkah, tetapi juga mengandung histori suci bagi umat Islam dalam sejarah perjuangan dan perlawanan. Pada bulan ini perang Badar pernah terjadi dan umat meraih kemenangan. Di bulan ini pula sejarah penaklukan besar dengan semangat rekonsiliasi fathu Makkah terjadi. Tidak mengherankan sebagian ulama mengatakan bulan Ramadan dengan bulan jihad (syahrul jihad). Bangsa Indonesia juga mempunyai kenangan indah di Bulan Ramadan dengan proklamasi 17 Agustus yang terjadi di Bulan Ramadan.

Dalam konteks kekinian, apa yang mesti dimaknai dari Ramadan sebagai bulan Jihad? Perang fisik sebenarnya bagian kecil dari implementasi jihad. Jihad merupakan upaya sungguh-sungguh dalam menjalani hidup untuk meraih kemenangan. Karena itulah, Nabi dalam Perang Badar mengatakan perang ini sebagai sebuah jihad kecil dan perang besarnya adalah melawan hawa nafsu.

Konteks hari ini memaknai Ramadan sebagai bulan jihad adalah perang melawan hawa nafsu terutama kebencian. Kebencian melahirkan kekerasan, intoleransi, fitnah serta hoax. Kebencian ini pula yang menjadi akar dari sikap dan tindakan radikal terorisme. Jihad melawan kebencian adalah jalan menuju perdamaian dan persatuan bangsa.

Ujaran Kebencian Sumbu Konflik, Kekerasan dan Terorisme

Ujaran kebencian yang dibumbui dengan hoaks isu suku, agama, ras, etnik dan antar golongan telah terbukti bisa melemahkan bahkan menyebabkan negara gagal (failed state). Kesenjangan ekonomi yang tinggi, friksi politik elite yang tidak mencerdaskan, sentimen keagamaan, dan lemahnya kepercayaan antar warga negara merupakan ladang subur bagi berkembang ujaran kebencian yang mengarah pada kekerasan dan konflik komunal.

Kebencian juga merupakan faktor pendorong lahirnya tindakan radikal terorisme. Terorisme lahir salah satunya karena faktor kebencian terhadap perbedaan, kebencian terhadap negara, kebencian terhadap yang berbeda agama, kebencian terhadap yang berbeda pandangan dan sikap. Kebencianlah yang mendorong mereka yang sudah mati akal sehatnya untuk melakukan pembunuhan terhadap mereka yang dianggap penghalang ideologi dan kepentingan mereka.

Indonesia dengan kondisi multikulturalitas yang kompleks tentu saja menyadari potensi ancaman narasi kebencian dalam pergaulan antar masyarakat. Banyak sekali aturan perundang-undangan yang berupaya memangkas ujaran kebencian dan hasutan di tengah masyarakat. Beberapa aturan tersebut secara eksplisit dan implisit dapat ditemukan di KUHP, UU tentang Kemerdekaan menyatakan Pendapat di Muka Umum, UU Penanganan Konflik Sosial, UU ITE, dan terakhir Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 ten­tang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Dewasa ini narasi kebencian berupa hasutan, fitnah, makian, dan provokasi telah menumpuk di tengah pergaulan kehidupan masyarakat. Instrumen media sosial semakin mempercepat proses penyebaran narasi kebencian yang diulang-ulang sebagai konsumsi informasi masyarakat. Akibatnya kebencian telah menjadi framework masyarakat menyikapi masalah. Masyarakat sudah mulai sensitif dengan perbedaan. Berbeda sedikit tentang pandangan dan tindakan tidak sikapi dengan toleransi tetapi dengan makian dan hujatan.

Indonesia harus semakin menyadari potensi ancaman narasi kebencian yang dapat menyuburkan konflik. Sementara konflik dan kondisi masyarakat yang tidak stabil merupakan pintu masuk bagi berbagai kepentingan yang mencoba membelah masyarakat dan merusak persatuan. Tentu saja, aturan dan hukum harus dipertegas. Tetapi itu saja belum cukup.

Di sinilah Ramadan dengan berbagai ritual dan aktifitas relijiusnya harus menjadi benteng dan Pendidikan moral bagi masyarakat untuk melawan ujaran kebencian. Mari jadikan Jihad di bulan Ramadhan sebagai perang melawan kebencian, hoaks, dan propaganda yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

This post was last modified on 31 Maret 2023 3:24 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

15 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

15 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

15 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

2 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

2 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

2 hari ago