Narasi

Rasa Aman Semu; Memetakan Revolusi Senyap Kelompok Radikal-Teroris

Rasa aman semu adalah sebuah kondisi ketika individu atau publik merasa diri mereka bebas dari ancaman atau bahaya, padahal sebenarnya adalah ancaman tersembunyi yang tidak terlihat. Sebagai contoh, di masa pandemi Covid 19 beberapa tahun lalu, pemakaian masker, rapid test, dan vaksin dianggap sebagai senjata mengakhiri pandemi. Alhasil, ketika seseorang telah memakai masker, melakukan tes rapid, dan divaksin, mereka seolah-olah telah merasa aman dari serangan virus lalu bebas bepergian dan berkumpul. Kenyataannya, itu hanyalah rasa aman semu. Buktinya, angka kasus penularan virus masih tinggi.

Sindrom rasa aman semu juga terjadi dalam konteks terorisme. Publik merasa bahwa kondisi Indonesia saat ini steril dari ancaman terorisme. Prestasi Indonesia dalam Global Terrorism Index yang terus membaik dan nihilnya aksi terorisme selama dua tahun terakhir memunculkan persepsi di sebagian besar masyarakat bawah terorisme sudah musnah tidak bersisa.

Realitanya tidak demikian. Data menunjukkan sepanjang tahun 2018-2024 aparat keamanan menangkap 1.703 tersangka terorisme di sejumlah wilayah di Indonesia. Pada tahun 2024, BNPT melaporkan ada setidaknya 2000 situs online yang mempromosikan ideologi radikal ekstrem. Terkahir, BNPT menyebut adanya infiltrasi paham radikal melalui permainan daring Roblox.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kita hidup di tengah situasi aman yang palsu alias semu. Kita meyakini bahwa terorisme sudah musnah, dan menganggap situasi aman terkendali. Padahal, di balik itu, kelompok teroris terus bermutasi, bertransformasi, dan berevolusi. Mereka menyusup ke organisasi keagamaan, mengkamuflasekan diri ke dalam gerakan dakwah, dan menginfiltrasi ruang publik digital, mulai dari media sosial hingga game online.

Rasa aman semu adalah sebuah titik rawan yang sangat berbahaya. Dalam teori peperangan, perasaan sudah menang, adalah celah bagi musuh untuk memukul balik. Dalam  sepak bola, momen injury time justru menjadi waktu paling menentukan. Ketika sebuah tim merasa menang di atas angin, mereka akan lengah. Disitulah tim lawan punya kesempatan membalikkan keadaan. Sejarah mencatat, banyak negara kalah perang, bukan karena kalah senjata, namun semata karena lengah. Sejarah juga mencatat, banyak tim sepak bola kehilangan kemenangan di momen injury time alias detik-detik terakhir pertandingan.

Sindrom rasa aman semu lahir karena setidaknya dua faktor. Pertama, faktor ketidakmampuan membaca peta pertarungan. Merasa bahwa pertarungan sudah usai dan merasa diri menjadi pemenang. Kedua, kegagalan membaca strategi atau manuver lawan alias musuh. Musuh diam dianggap kalah atau menyerah. Musuh tiarap dianggap kehabisan logistik dan amunisi. Padahal, pergerakan sangat bisa dilakukan dengan jalan senyap.

Inilah yang disebut sebagai revolusi senyap (silent revolution). Revolusi senyap merupakan istilah yang merujuk pada proses perubahan besar yang dilakukan tanpa menimbulkan kegaduhan. Revolusi senyap biasanya dilakukan melalui inovasi teknologi, perubahan pola perilaku, dan pergeseran norma sosial. Dalam korporasi misalnya, revolusi senyap mewujud pada perubahan budaya kerja tanpa adanya restrukturisasi besar-besaran, namun memberikan dampak positif yang signifikan.

Dalam politik praktis, revolusi senyap mengemuka pada kandidat pemimpin yang berkampanye tanpa gembar-gembor di panggung, namun aktif menjaring suara di kalangan secara intens. Meski diremehkan, kandidat tersebut ternyata mampu membalikkan persepsi publik, bahkan menjadi pemenang.

Strategi revolusi senyap itu tampaknya juga tengah dimainkan oleh kelompok radikal teror. Mereka memang cenderung menarik diri dari panggung publik, namun mereka tidak menyerah. Revolusi senyap kelompok radikal teror ini dapat diidentifikasi atau dipetakan ke dalam setidaknya tiga poin penting.

Pertama, perubahan strategi gerakan yang tadinya mengandalkan organisasi atau lembaga sebagai motor dakwah kini mulai bergeser ke arah individu. Bubarnya FPI, HTI, dan JI memaksa kelompok radikal teror berdakwah dengan jalan solo karir alias sendirian. Mereka tidak lagi bisa mengandalkan organisasi sebagai induk gerakan. Alhasil, mereka bergerak sendiri-sendiri membangun basis massanya masing-masing.

Kedua, perubahan dalam hal materi dakwah yang tadinya secara eksplisit menyebut istilah khilafah, penegakan syariah, atau negara Islam kini mulai bergeser ke tema atau isu sosial, politik, dan keagamaan secara umum. Mereka paham, istilah khilafah, negara Islam, atau syariah cenderung mendapat resistensi dari pemerintah, ormas Islam moderat, dan mayoritas muslim. Maka, mereka mengemas ulang materi dakwahnya agar bisa related dengan muslim Indobesia. Meski, secara ideologis mereka tetap memperjuangkan khilafah dan penerapan syariah.

Ketiga, perubahan media dakwah yang tadinya lebih banyak melalui analog kini mulai merambah media digital. Dakwah yang tadinya lebih banyak dilakukan melalui forum keagamaan eksklusif seperti liqo, tarbiyah, halaqah, daurah, dan sejenisnya kini dikemas ulang melalui forum yang lebih inklusif, seperti podkes, talkshow, festival, bazar, dan sebagainya. Media dakwah yang lebih populer menandai gaya baru era radikalisme pasca bubarnya FPI, HTI, dan JI.

Memetakan dan mengidentifikasi revolusi senyap kaum radikal teroris merupakan keniscayaan agar kita terhindar dari sindrom rasa aman semu. Kita tidak boleh lengah, apalagi gagal membaca manuver lawan. Kelompok radikal teror tengah merombak ulang strateginya, mereka menyusun peta jalan baru untuk mewujudkan agenda politis dan ideologis mereka. Perang melawan teror belum berakhir, hanya pindah medan atau arena. Ruang digital, seperti media sosial dan game online menjadi the new battle ground atau arena pertempuran baru. Siapkah kita membendung kekuatan kelompok radikal teror di ranah digital yang harus diakui lebih solid ketimbang kaum moderat?

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Isu Radikalisme Daring Sebagai Proyek; Meluruskan Logika Berpikir Kaum Konservatif

Terorisme itu proyek Barat untuk melemahkan Islam. Isu radikalisme online itu sengaja digemborkan untuk proyek…

10 jam ago

Gamer Savage; Bagaimana Melawan Narasi Ekstremisme di Platform Permainan Daring?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mewanti-wanti bahwa penyebaran narasi radikal ekstrem telah merambah ke platfrom…

10 jam ago

Anak di Peta Digital: Merebut Kembali Ruang Bermain dari Ancaman Maya

Dalam rentang dua dekade, peta dunia anak-anak telah bergeser secara fundamental. Jika dahulu tawa dan…

1 hari ago

Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa…

1 hari ago

Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama…

1 hari ago

Bagaimana Roblox sebagai Socio-Digital Bisa Menjadi Begitu Mencekam?

Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman…

2 hari ago