Setidaknya beberapa pekan terakhir tanah air dihebohkan oleh dua film. Pertama adalah film “Tilik” yang diangkat dari realitas kehidupan masyarakat. Dan kedua adalah film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang sejatinya diangkat dari khayalan, fiktif, dan ilusi imajinasi.
Film pendek berjudul “Tilik” yang artinya “menjenguk” sedang viral di jagat media sosial. Film yang sebenarnya dirilis pada 2018 dan baru tayang tepat di hari perayaan HUT ke-75 RI (17/8/2020) hingga hari ini setidaknya telah ditonton lebih dari 9,7 juta penonton di chanel resminya “Ravacana Films” yang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY.
Terlepas dari kemasannya yang sederhana, akan tetapi mengena pesannya karena selaras apa yang terjadi di dunia nyata. Film Tilik ini sebenarnya memberi pelajaran kepada kita untuk menjadi generasi digital natives yang peka dan literet terhadap informasi yang beredar di internet ataupun medsos.
Sebagaimana penuturan dari sutradara film, Wahyu Agung Prasetyo bahwa kisah film pendek “Tilik” ini berdasarkan fenomena masyarakat yang terlalu percaya dengan internet. Sosok Ibu Tejo sebagai tokoh utama menganggap bahwa internet sebagai informasi yang paling akurat. Film ini mengandung pesan fenomena di mana sekarang banyak sekali isu hoax yang beredar di mana-mana (Kompas.com, 20/8/2020).
Baca juga : Khilafah dan Kamuflase Sejarah Islam Nusantara
Contoh teranyar film yang sempat menyeruak ke kanal Youtube sebelum akhirnya diblokir adalah hoax Film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang dipasarkan oleh sales-sales Khilafahisme. Dengan tak tahu malunya dan betapa tuna sejarahnya mereka, sehingga membuat film yang sejatinya adalah penuh manipulasi dan khayalan belaka. Sangking tuna sejarahnya, meraka tidak hanya memanipulasi sejarah, mengklaim, akan tetapi juga mencatut nama Pakar Sejarah Jawa, Peter Carey.
“Jejak Khilafah di Nusantara” tak ubahnya film fiktif penuh manipulasi, hoax, dancacat ilmiah, serta berbalut propaganda. Film ini sama sekali tidak mencerminkan karakter Islam yang rahmatan lil ‘alamin, ramah, dan santun. Model film seperti ini sudah sepantasnya diblokir dan diusut siapa saja dalang dibalik pembuatan film ini. Mengingat kalau dibiarkan beredar, sudah barang tentu akan mengancam keberagaman dan meregangkan simpul persatuan dan kesatuan bangsa.
Berkaca dari kedua film tersebut yang mendapat respon berbeda. Namun ada titik temu pelajaran yang bisa kita ambil yakni bagaimana di era digital saat ini kita harus menjadi generasi digital natives yang punya keberaksaraan dalam informasi (literasi informasi), sebagaimana diilustrasikan dalam film “Tilik”. Di samping itu juga kita harus siap siaga mewaspadai hoax dan propaganda sebagaimana diusung oleh Film Jejak Khilafah di Nusantara.
Sudah saatnya kita paham bahwa dewasa ini berkaitan dengan informasi, kejujuran dan kebenaran informasi menjadi hal yang vital. Menjunjung kebenaran dapat dilakukan oleh seorang jurnalis, pembuat film, dan warganet sudah seharusnya membawa nilai-nilai jurnalisme profetik atau jurnalisme kenabian (prophetic journalism).
Menurut Muhtadiah (2018) jurnalisme profetik merupakan jurnalisme yang mengemban tugas kenabian, yakni menyampaikan risalah yang bermanfaat untuk semua orang berdasar cinta sebagai ibadah kepada Allah SWT dengan cara: mengungkapkan kebenaran (truth), menegakkan keadilan (justice), mendukung terciptanya kesejahteraan (prosperity),menciptakan perdamaian (peace), dan menjunjung tinggi kemanusiaan universal (universal humanity).
Jurnalisme profetik tentu relevan dengan jurnalisme Islami yakni jurnalisme yang meneladani empat kode etik Nabi Muhammad SAW yang ternyata sesuai dengan fungsi media, yakni shiddiq (menyampaikan, to inform), amanah (mendidik, to educate), tabligh (menghibur, to entertain), dan fathanah (melakukan kontrol sosial, social kontrol). Keempatnya juga bisa diartikan: shiddiq (berdasar kebenaran), tabligh (disampaikan dengan cara mendidik), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (dengan penuh kearifan).
Nilai-nilai tersebut juga yang banyak diingkari oleh pembuat Film Jejak Khilafah di Nusantara. Selain itu, perlu dipahami bahwa dalam mengakses informasi yang beredar di medsos ataupun jagad maya, perlu memahami arah yang baik dan jalan yang lurus. Oleh karenanya, perlu adanya counter narrative yang berdasarkan nilai kejujuran dan kebenaran.
This post was last modified on 27 Agustus 2020 2:46 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…