Historitas Ramadhan dipenuhi dengan jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Dimulai pada tahun ke 2 H, terjadi perang Badar yang bertepatan dengan datangnya bulan Ramadhan. Pada perang tersebut, umat Islam yang hanya berjumlah 313 orang, harus melawan kafir Quraisy yang berjumlah 1000 orang dengan persenjataan yang lengkap. Walaupun begitu, atas izin Allah umat Islam mampu memenangkan perang tersebut.
Kemudian terjadi hal yang luar biasa pada tahun ke 8 H. Rasulullah dan para sahabatnya, berbondong-bondong datang ke Makkah untuk merebut kota kelahiran mereka. Peristiwa penaklukan Kota Makkah ini sangat menakjubkan, karena tidak ada korban jiwa antara kedua belah pihak. Bersama dengan 10 ribu pasukan, Nabi Muhammad datang kesana. Sementara penduduk Makkah, sudah pasrah menerima segala bentuk hukuman yang nantinya akan mereka terima.
Mereka sadar bahwa selama ini mereka telah berbuat jahat kepada Nabi Muhammad dan para sahabat. Mereka berbuat aniaya yang sangat kejam untuk membuat umat Islam keluar dari agamanya. Meskipun banyak kejadian jahat yang mereka lakukan, namun Nabi Muhammad tetap memaafkan dan menerima mereka dengan tangan terbuka. Tidak ada balas dendam atas perilaku yang sudah mereka lakukan selama ini kepada umat Islam.
Maka dari sinilah, banyak orang yang mulai memahami tentang arti kemenangan sejati yang dibawakan oleh Nabi Muhammad. Selama ini mereka memahami bahwa makna kemenangan adalah mendapatkan kuasa sebanyak-banyaknya. Namun semua itu salah, Nabi Muhammad membawakan konsep kemenangan yang baru, yaitu kemenangan diartikan sebagai rasa mengasihi dan melindungi. Semakin banyak rasa tersebut, maka kemenangan akan semakin tampak nyata. Dan dengan itulah, Islam perlahan mulai dikenal sebagai agama perdamaian.
3 Tingkatan Puasa Menurut Imam Ghazali
Bulan Ramadhan menjadi bulan Istimewa karena umat Islam melakukan puasa wajib selama sebulan penuh. Menurut Imam Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, puasa dibagi menjadi 3 tingkatan. Ketiganya adalah representasi jihad melawan diri sendiri dan hawa nafsu. Pertama, Shaumul umum (Puasanya orang awam) yang diartikan sebagai bentuk jihad melawan seluruh perbuatan yang membatalkan puasa, baik makan, minum, ataupun berhubungan badan. Jenis puasa ini adalah puasa yang umum dilaksanakan oleh banyak orang.
Kedua, Shaumul khass (puasa khusus) yang diartikan sebagai jihad menahan nafsu untuk berbuat dosa, baik dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh; mata, tangan, telinga, kaki atau anggota tubuh lainnya. Pada level ini, manusia harus selain melawan hal yang membatalkan puasa, dirinya juga harus bisa menjaga anggota tubuhnya agar tidak berbuat sesuatu yang jahat. Maka puasa yang diilakukan seseorang pada level ini, tidak hanya menahan lapar dan haus saja tapi juga menahan hawa nafsunya.
Tentunya masih ingat di telinga kita tentang dalil, “banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan haus saja”. Maka dalil itulah yang dipegang erat oleh orang pada tahap kedua ini untuk melakukan puasa. Mereka menganggap bahwa puasa tidak hanya menahan dari hal yang membatalkan, namun menjadi sarana untuk melatih semua anggota tubuh untuk tidak berbuat kejelekan.
Ketiga, Shaumul Khususil Khusus (Puasa yang sangat khusus) yang diartikan sebagai jihad untuk menahan sesuatu yang membatalkan puasa, anggota tubuh, serta hati untuk berbuat yang tidak benar. Semua elemen tersebut dijaga dengan baik saat menjalankan puasa. Hati tidak boleh terbesit untuk menjelekkan orang lain. Mulut tidak boleh mengucap sesuatu yang membuat orang lain tersakiti.
Oleh karena itu, pada tahap ini seseorang akan menyibukkan dirinya untuk mendekatkan diri dengan Allah dengan memperbanyak ibadah. Mereka akan senantiasa berada di masjid, berdzikir, memperbanyak sholat dan membaca Al-Qur’an agar hati dan tubuhnya tidak melakukan tindakan yang tidak benar.
Merubah Paradigma: Dari Menguasai Menjadi Mengasihi
Dari semua tingkatan puasa menurut Imam Ghazali, tidak ada satupun makna puasa yang mengarah kepada rasa untuk menguasai. Tidak diperkenankan orang berpuasa menghalangi aktivitas agama lainnya. Tidak diperkenankan orang yang berpuasa menghina atau mmenjelekkan agama yang lainnya. Itu semua adalah nafsu yang memiliki sifat haus untuk menguasai.
Setiap diri yang memiliki rasa seperti itu, sejatinya memiliki rasa haus akan kehormatan, pengakuan, dan pembenaran yang tunggal. Rasa tersebut yang akhirnya melahirkan peperangan, dan sifat tercela lainnya. Maka sudah seharusnya, dalam pemaknaan puasa, semua rasa untuk menguasai tersebut dihilangkan sejauh-jauhnya.
Mengingat definisi yang dihimpun oleh Imam Ghazali, yaitu menyebarkan rahmah sebanyak-banyaknya di muka bumi. Yaitu dengan banyak-banyak beribadah, banyak-banyak meningkatkan aktivitas sosial yang berguna untuk makhluk lainnya. Serta menahan sedalam-dalamnya untuk berbuat hal-hal yang menyebabkan kemungkaran di muka bumi.
Mengacu pada tingkatan puasa tersebut, sejatinya puasa dilakukan untuk melatih diri untuk tidak menyakiti orang lain. Konsep diri manusia yang senantiasa rakus dan ingin berkuasa, dalam berpuasa harus ditahan. Manusia yang suka makan, harus menahannya. Manusia yang biasanya melakukan kejelekan harus dihindari. Sehingga yang ada dalam konsep berpuasa adalah sifat manusia yang luhur, yaitu manusia yang punya rasa kasih dan cinta tinggi.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…