Narasi

Refleksi Idulfitri, Menjadikan Kemanusiaan Universal untuk Melihat Konflik Pelastina-Israel

Di penghujung Ramadan atau di awal kita memasuki idulfitri, kita mendapat berita duka, di mana konflik antara Palestina dan Israel memanas kembali. Konflik ini dipicu oleh ulah tentara Israel yang menembaki jemaah salat tarawih di Masjid Al-Aqsa dan mengusir warga yang berada di Sekh Jarrah.

Aksi ini kemudian dibalas oleh Hamas dengan meluncurkan bom roket ke Israel, pun demikian Israel membalas serangan itu ke tanah Palestina. Hingga hari ini, sudah ada ratusan korban yang meninggal termasuk di dalamnya anak-anak. Dan sampai detik ini belum ada tanda perang akan berakhir.

Konflik Pelestina dan Israel adalah konflik lama dan merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Berbagai usaha sudah ditempuh. Dunia sudah memberikan jalan, akan tetapi sampai saat ini belum ada jalan damai yang dilalui.

Meski demikian bukan berarti kita tidak bisa mengambil sikap dan tindakan. Apapun yang mencerderai hak dan martabat kemanusiaan, maka ia layak dikutuk. Siapun pun yang merobek-robek nilai-nilai kemanusian, maka kita harus bersuara untuk melawannya.

Idulfitri dan Kemanusiaan

Idulfitri sudah kita lalui. Kita kembali ke kesucian diri. Suci artinya benar, baik, dan indah. Suci adalah lambang dari kemanusiaan universal, yang selalu akomodatif dan relevan dalam setiap ruang dan waktu.

Para ulama menyatakan ada tiga ciri orang yang kembali kepada kesucian dirinya. Pertama, kesalehan sosialnya meningkat. Kedua, ubudiyahnya meninggi. Ketiga, akhlakulkarimahnya, yakni penghargaan kepada nilai-nilai kemanusiaan selalu melekat dalam dirinya.  

Kesalehan sosial merupakan salah satu prinsip utama dalam Islam. Tidak beriman seseorang, sebelum bisa mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Dan, kalian itu seperti tubuh, bila satu anggota tubuh sakit, anggota lain ikut merasakan sakit. Demikian bunyi hadis Nabi.

Ubidiyah di sini tentu dalam makna seluas-luasnya. Tidak hanya sebatas ibadah mahdah saja. Seluruh totalitas hidup manusia sejatinya adalah ibadah jika ia dilakukan atas dasar niat yang tulus. Oleh sebab itu, dalam agama kerja keras, kerja cerdas, serta kerja ikhlas tidak bisa dipisahkan.

Penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan artinya menghargai hak orang lain sebagaimana kita juga ingin agar hak kita dihargai orang lain. Hak untuk berkarya, bersuara, dan memiliki harta. Hak sebagai manusia yang tidak boleh dihina, dicederai, apalagi dirampas.

Sikap kita dalam melihat konflik itu adalah kacamata kemanusiaan. Sebab nilai kemanusiaanlah yang bisa diterima oleh semua. Kemanusiaan adalah suara keadilan.

Jika kita kembali kepada ciri orang yang kembali kepada ke suciannya, maka itu adalah nilai yang bisa kita amalkan dalam melihat konflik Palestina-Israel, yakni memperaktekkan kesalehan sosial dan tetap berpegang kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Kesalehan sosial mengambil peran yang begitu vital. Kesalehan sosial harus mampu menjembatani kecemasan dan kekhawatiran menjadi secercah harapan.

Kesalehan sosial juga berperan sebagai stimulus energi kebahagiaan di tengah tetesan air mata. Dan, Kesalehan sosial sesungguhnya telah menjadi penyangga semakin dalam dan menganganya jurang kesulitan hidup.

Salah satu wujud dari kesalehan sosial itu adalah panggilan terhadap diri untuk mau berbagi meringankan beban mereka menjadi salah satu poin penting dari nilai ketaqwaan.

Jika perasaan tersebut benar-benar telah tumbuh dalam diri, maka sesungguhnya tamu dari langit yang bernama bulan Ramadhan benar – benar telah dilayani dan dihargai dengan baik.

Bagi mereka yang diberi anugerah berlebih dan dikaruniai rezeki berlimpah, ditantang untuk rela berbagi terhadap sesama, melepaskan jubah kekikirannya, dan menempatkan ego di belakang bayangannya.

Sarana berbagi begitu banyak Allah sediakan, baik dengan zakat, infak,  sedekah, dan lain sebagainya. Kedermawanan tersebut tentu saja tidak hanya bermanfaat bagi si pemberi, namun juga si penerima. Proporsionalitas dalam menjalankan peran dalam kehidupan akan melahirkan harmoni.

Banyaknya aksi solidaritas sosial, baik yang dilakukan individu maupun institusi merupakan kerja-kerja positif yang perlu tetap dipertahankan. Saling memberi, galang dana, mengumpulkan donasi, sampai lelang amal –adalah cara-cara yang dijalankan oleh masyarakat dalam ambil bagian untuk solidaritas kemanusian.

This post was last modified on 17 Mei 2021 1:19 PM

Ahmad Kamil

Recent Posts

Isu Radikalisme Daring Sebagai Proyek; Meluruskan Logika Berpikir Kaum Konservatif

Terorisme itu proyek Barat untuk melemahkan Islam. Isu radikalisme online itu sengaja digemborkan untuk proyek…

11 jam ago

Gamer Savage; Bagaimana Melawan Narasi Ekstremisme di Platform Permainan Daring?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mewanti-wanti bahwa penyebaran narasi radikal ekstrem telah merambah ke platfrom…

11 jam ago

Rasa Aman Semu; Memetakan Revolusi Senyap Kelompok Radikal-Teroris

Rasa aman semu adalah sebuah kondisi ketika individu atau publik merasa diri mereka bebas dari…

11 jam ago

Anak di Peta Digital: Merebut Kembali Ruang Bermain dari Ancaman Maya

Dalam rentang dua dekade, peta dunia anak-anak telah bergeser secara fundamental. Jika dahulu tawa dan…

1 hari ago

Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa…

1 hari ago

Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama…

1 hari ago