Narasi

Regenerasi Sel Teroris; Remaja dan Anak dalam Ancaman Gamifikasi Ekstremisme

Arah pemberantasan terorisme kita bisa dikatakan on the right track. Startegi yang memadukan antara pendekatan keras dan pendekatan lunak (hard and soft power) terbukti efektif mengamputasi satu generasi sel teroris. Keberhasilan pendekatan keras tampak pada nihilnya aksi teror dalam dua tahun belakangan.

Sedangkan capaian pendekatan lunak tampak pada pembubaran organisasi ekstrmisme terusaa Jamaah Islamiyyah. Terakhir, sejumlah anggota NII (Negara Islam Indonesia) juga menyatakan ikrar sumpah setia pada NKRI. Namun, gerakan radikal ekstrim belum sepenuhnya musnah.

Sel teroris memiliki resiliensi nisbi tinggi. Mereka lihai berkamuflase, bermetamorfosis, dan melakukan regenerasi. Salah satunya dengan menyasar kalangan remaja dan anak sebagai obyek indoktrinasi dan rekrutmen. Selain media sosial, game online menjadi sarana regenerasinsel teroris yang menyasar remaja dan anak-anak.

Temuan terbaru, game online Roblox menjadi platfrom yang digunakan kelompok teror untuk mencari simpatisan baru di kalangan anak dan remaja. Roblox dipilih bukan karena kebetulan. Game online ini sangat digandrungi anak, remaja, bahkan dewasa hingga orang tua. Gaya permainan yang interaktif membuat aplikasi ini digemari oleh lintas generasi.

Dalam telaah sosiologis, fenomena ini disebut sebagai gamifikasi terorisme. Yakni upaya melibatkan game online sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu, baik itu hal positif maupun positif. Gamifikasi dalam pendidikan misalnya, cenderung berorientasi positif. Bagaimana game online dipakai untuk menjelaskan anak tentang pelajaran matematika, fisika, biologi, dan pengetahuan lainnya.

Gamifikasi terorisme, adalah upaya mengeksploitasi game online untuk menyebarkan paham radikal ekstrem ke para penggunanya, terutama anak dan remaja. Gamifikasi terorisme bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia. Melainkan terjadi di banyak negara. Di Amerika Serikat, ideologi ultra konservatif kanan yang menebar kebencian ke kelompok minoritas (muslim, kulit hitam, imigran dan sebagainya) banyak disebarluaskan melalui permainan daring.

Sejumlah kasus penembakan massal di sekolah di Amerika Serikat dilakukan oleh individu yang mengalami radikalisasi di media sosial dan permainan daring. Di Jerman, permainan daring dipakai oleh kaum Neo-Nazi untuk menebar kebencian pada pihak-pihak yang dianggap musuh.

Remaja dan anak sebagai kelompok demografis paling banyak memakai game online tentu menjadi kelompok paling rentan terdampak fenomena gamifikasi terorisme dan ekstrmisme ini. Game online memang dilematis. Di satu sisi, ia bisa dijadikan sebagai sarana edukasi atau paling tidak hiburan.

Namun, di sisi lain, sejumlah game online secara terbuka mempromosikan kekerasan. Bahkan, sejumlah game online disusupi kelompok teror. Game online menjadi alat propaganda ekstrmisme daring. Tempo hari, Mendisdakmen, Abdul Mu’ti mewacanakan untuk memblokir permainan daring Roblox, lantaran game tersebut menjadi sarang ujaran kebencian, bullying digital, bahkan penyebaran ekstrmisme.

Wacana itu mendapat respons beragam. Sebagian besar masyarakat terutama orang tua setuju atas wacana itu. Sebaliknya, sebagian pihak yang lain menolak wacana tersebut. Memang, salam hal ini pemerintah perlu menimbang langkah bijak. Jangan sampai, kebijakan nantinya justru menimbulkan blunder yang merugikan, baik pihak penyedia aplikasi, pengguna, maupun pemerintah itu sendiri.

Meski demikian, orang tua sebagai pihak paling bertanggung jawab atas perilaku anak dan remaja di dunia maya patut menaruh perhatian khusus pada aktivitas anak di game online. Langkah pertama, orang tua wajib tahu, model permainan apa saja yang digemari anak-anak. Model permainan online yang mempertontonkan kekerasan patut diwaspadai.

Anak dan remaja harus diajak berdiskusi tentang bahaya adegan kekerasan dalam permainan daring. Anak dan remaja wajib paham bagaimana adegan kekerasan bisa menstimulasi alam bawah sadar anak untuk menduplikasi perilaku serupa di dunia nyata.

Anak dan remaja sebenarnya adalah kelompok yang secara psikologis masih mudah dibentuk. Mereka kerap kali hanya ikut arus alias FoMO. Generasi mereka dikenal serba ingin mencoba hal baru. Termasuk tidak mau ketinggalan memainkan game online yang tengah hype atau tren. Peran orang tua adalah membimbing, mengarahkan, dan mengajak berdiskusi.

Melarang game online, baik oleh orang tua atas alasan kecanduan maupun oleh pemerintah dengan alasan apa pun, tentu tidak bijak. Sesuatu yang dilarang tanpa rasionalisasi justru kerap membuat anak dan remaja tertantang untuk mencoba.

Yang dibutuhkan saat ini adalah upaya persuasif untuk mengedukasi anak dan remaja tentang bahaya dan ancaman propaganda ekstremisme di media sosial dan game online. Upaya persuasif perlu melibatkan peran aktif orang tua dan guru di sekolah.

Nurrochman

Recent Posts

Anak di Peta Digital: Merebut Kembali Ruang Bermain dari Ancaman Maya

Dalam rentang dua dekade, peta dunia anak-anak telah bergeser secara fundamental. Jika dahulu tawa dan…

5 jam ago

Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa…

5 jam ago

Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama…

5 jam ago

Bagaimana Roblox sebagai Socio-Digital Bisa Menjadi Begitu Mencekam?

Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman…

1 hari ago

Kewaspadaan Kolektif: Menjaga Fondasi NKRI dari Terorisme Digital

Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua…

1 hari ago

Dari Warhammer ke Roblox; Visualisasi Ekstremisme di Semesta Gim Daring

Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…

1 hari ago