Doktrin politik kaum radikal secara umum dapat diringkas ke dalam tiga poin pokok. Yakni konsep khilafah, doktrin al wala al barra, dan thaghut. Harus diakui bahwa ketiga doktrin itu sebenarnya memang dikenal dalam sejarah Islam. Konsep khilafah Islamiyyah adalah fakta sejarah yang terjadi pada era Khulafaur Rasyidin hingga era dinasti Usmaniyyah di Turki.
Demikian juga doktrin al wala al barra dapat dilacak dari kitab-kitab klasik terutama yang membahas tentang ilmu tauhid. Doktrin al wala al bara pada dasarnya mengajarkan tentang kesetiaan dan loyalitas. Sedangkan konsep thaghut berasal dari Alquran yang bermakna sesembahan selain Allah.
Sebenernya tidak ada yang salah dari ketiga konsep tersebut. Khilafah pending untuk mengatur kehidupan sosial dan politik umat Islam. Doktrin al wala wal barra juga relevan untuk memperkuat ukhuwah. Sedangkan doktrin thaghut krusial untuk menjaga akidah umat Islam.
Hanya saja, di kalangan kaum radikal, tafsir ketiga doktrin itu menjadi sempit dan kaku. Khilafah dimaknai secara sempit sebagai negara yang dijalankan atas sistem Islam, dimana kekuaaan politik diwariskan turun-temurun serta menguasai seluruh wilayah dunia.
Doktrin al wala wal bara diartikan secara kaku sebagai kesetiaan atau loyalitas terhadap sesama umat muslim saja dan memusuhi kalangan non muslim. Sedangkan thaghut diterjemahkan secara serampangan sebagai segala hal yang tidak berasal dari hukum Islam. Alhasil, segala sesuatu yang tidak berasal dari Islam dicap sebagai thaghut.
Pandangan yang sempit itu berimplikasi pada sejumlah hal. Mulai dari maraknya takfirisme, yakni labelisasi kafir terhadap semua yang tidak sesuai dengan tafsir kaum radikal, hingga mewabahnya praktik intoleransi dan kekerasan atas nama agama.
Tafsir kaum radikal tentang khilafah, doktrin al wala wal bara serta thaghut itu cenderung problematik apalagi dalam konteks Indonesia yang multikultur dan multireliji. Pemahaman maum radikal yang kaku dan sempit akhirnya melahirkan gerakan resistensi terhadap konsep NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
Bagi kalangan radikal, NKRI adalah negara kafir dan Pancasila serta UUD 1945 itu thaghut. Kaum radikal memandang tidak penting bagi umat Islam untuk menjalin relasi dengan non-muslim karena itu melanggar doktrin al wala wal bara. Pemahaman yang demikian itu tentu tidak sejalan dengan prinsip negara bangsa sebagaimana dianut Indonesia.
Menafsir Ulang Konsep Khilafah, Thaghut, dan Doktrin Al Wala wal Bara’
Bagaimana pun juga, konsep khilafah, doktrin al wala wal bara’, dan thaghut adalah bagian dari ajaran Islam, atau setidaknya pernah menjadi bagian dari sejarah perjalanan umat Islam. Itu artinya, ketiga konsep atau doktrin itu tidak bisa begitu saja dihapus dari Islam. Namun, di sisi lain, tafsir kaum radikal atas tiga doktrin itu yang cenderung kaku dan berpotensi melahirkan kekerasan kiranya juga tidak bisa disikapi permisif.
Maka, perlu ada pemaknaan ulang atas tiga doktrin tersebut agar sesuai dengan spirit negara bangsa yang menjunjung toleransi dan persamaan hak manusia. Konsep khilafah idealnya tidak dipahami secara sempit sebagai imperium Islam yang dilandasi penerapan syariah secara kaku dan dijalankan dengan sistem monarki.
Khilafah idealnya dipahami sebagai model kepemimpinan atau pemerintahan yang sah (legitimated) dalam artian diakui oleh mayoritas masyarakat dan mampu menjalankan fungsi pemerintahan secara efektif. Dengan tafsir yang demikian ini, khilafah tidak harus selalu merujuk pada konsep negara Islam, daulah, kesultanan, dan sejenisnya.
Dengan tafsir yang demikian ini, NKRI yang berdasar pada falsafah Pancasila dan konstitusi UUD 1945 serta dijalankan dengan sistem demokrasi juga bisa disebut sebagai khilafah. Dalam konteks negara bangsa yang plural alias majemuk, NKRI yang mengakui keberagaman agama dan kebinekaan budaya adalah jalan tengah yang mempertemukan kepentingan keaagamaan dan kebangsaan.
Begitu pula doktrin al wala wal bara’ idealnya juga jangan dipahami secara sempit sebagai loyalitas bersama sesama muslim saja. Dalam konteks negara bangsa modern, doktrin al wala wal bara bisa ditafsirkan sebagai seruan agar umat Islam memperjuangkan kepentingan agama dan negara dengan menjalin sinergi dengan kelompok lain terlepas dari identitas suku, bangsa, dan agamanya.
Di era negara bangsa, doktrin al wala wal bara seharusnya ditafsirkan sebagai kesetiaan atau loyalitas terhadap sistem yang sesuai dengan nilai Islam. Jadi, kita bukan setia pada sosok individunya, melainkan dengan nilai yang dipegang dan diperjuangkan. Jika ada sosok yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan Islam, meski ia bukan orang Islam, tentu harus kita bersikap loyal.
Sebaliknya, jika ada individu yang tidak memperjuangkan nilai keislaman tentu kita tidak wajib loyal, meski ia beragama Islam. Terakhir, doktrin thaghut idealnya ditafsirkan secara luas, sebagaimana disamlaikan oleh Quraish Shihab. Menurutnya, thaghut adalah segala sesuatu yang menindas dan menyesatkan manusia dari jalan yang benar (haq).
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…