Saban tahun, narasi kebencian dan intoleransi seolah-olah tak pernah lekang dari negeri ini. Pilpres ribut, pilkada ribut, natal ribut, tahun baru ribut. Hampir setiap minggu, ada saja yang kita ributkan. Soalah-olah, keributan kita sudah terjadwal. Anehnya, kita suka mengulang-ulang keributan itu.
Keributan yang diisi dengan debat kritis-konstruktif, tentu itu sangat bagus dalam alam demokrasi. Akan tetapi, keributan kita bukan bersifat konstruktif, melainkan malah terjebak pada debat destruktif-negatif. Keributan yang diisi dengan caci-maki, ujaran kebencian, pemaksaan kehendak, dan sektarianisme.
Sekarang kita sudah berada di pengujung tahun. Akankah keributan yang diiringi dengan narasi kenbencian itu akan terulang dan terulang lagi?
Refleksi
Manusia yang beruntung adalah manusia yang hari ini lebih baik dari kemarin dan berusaha agar hari besok lebih baik dari pada hari ini. Sebaliknya, manusia yang merugi adalah manusia yang hari ini lebih buruk/sama dengan hari kemarin, dan tidak ada usaha untuk menjadi lebih baik untuk hari esok.
Dalam konteks inilah, refleksi sangat perlu dilakukan. Refleksi yang dimaksud di sini adalah refleksi kolektif, setiap elemen masyarakat dan pemerintah sama-sama mengkritisi apa yang yang salah dan menyusun strategi dan format baru agar lebih baik ke
Salah sartu strategi untuk menuju perdamaian itu adalah, membumikan narasi dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Setiap anak bangsa harus aktif dan ikut serta memerangi ujaran kebencian. Dengan cara tidak men-share, like, berkomentar dan mendramatisir sebuah isu dan pemberitaan.
Massifnya ujaran kebencian tidak lepas dari banyak share, like, dan komentar yang diberikan di media sosial. Tak jarang, ada sebagian pihak yang dengan sengaja menjadikan produksi hoax dan ujaran kebencian sebagai ladang bisnis.
Dalam hal ini, manusia yang mempunyai semangat kemajuan adalah manusia yang ikut serta menjadikan perdamaian sebagai prioritas utama di tahun 2021.
Keluarga dan Perdamian
Kampanye untuk membangun perdamaian dan menghindari masyarakat dari berbagai konflik sosial harus dilakukan di banyak level. Salah satu yang perlu diperhatikan sebagai sumber konflik adalah maraknya ujaran kebencian. Jika tidak ditangani segera akan menimbulkan perpecahan di masyarakat yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan bangsa.
Tak jarang ujaran kebencian itu ditunggangi oleh kelompok-kelompok radikal atau kelompok lain yang menginginkan perpecahan negeri ini.
Salah satu solusi agar terhindar dari kebencian adalah melalui lembaga keluarga. Sebagai orang tua perlu membicarakan isu perdamaian dan isu hate speech ini di rumah tangga. Karena di rumah tangga itu perlu ada komunikasi yang intents antara ibu, bapak, anak-anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya.
Keluarga sebagai sekolah pertama dan utama harus memainkan perang aktifnya. Orang tua harus memberikan pendidikan yang humanis, menanamkan nilai pancasila, dan budaya lokal yang arif nan bijaksana.
Selain itu, menanamkan nasionalisme sejak dini, bahwa orang lain adalah kawan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yang harus dihormati dan dijaga martabat mereka. Sebagai sesama anak bangsa, maka haram darah, kehormatan, dan kehiduapan mereka dirusak.
Bermedia Sosial Tanpa Kebencian
Salain pada level keluarga, hal yang paling penting adalah bagaimana membersihkan media sosial kita dari narasi kebencian dan intoleransi. Harus diakuai, media sosial adalah sumber konflik dan polarisasi paling cepat membuat manusia untuk terlibat di dalamnya.
Media sosial tak ubahnya seperti pasar. Setiap orang bebas bersuara dan bebas untuk memdagangkan apa yang dikira bisa membawa keuntungan. Tak jarang, oleh pihak-pihak tertentu, yang didagangkan itu justru adalah kebencian dan permusuhan antara sesama anak bangsa.
Layaknya pasar, cara membersihkan media sosial dari narasi kebencian dan intoleransi juga adalah dengan cara kerja dalam pasar. Maksudnya, jika dalam pasar ada yang menjual rancu, kemudian tidak ada pembeli yang mau membeli, sang penjual pun akan akan angkat kaki dari pasar itu.
Hal yang sama juga dengan media sosial. Jika para netizen bisa jeli dan kritis, tidak mau mengikuti, menshare, mengomentari, dan menyukai narasi kebencian dan intoleransi itu, bisa dipastikan sang narator pun akan minggat dan berhenti membuat narasi kebencian itu.
Artinya, dalam bemedia sosial pun, sebenarnya ada hukum ekonomi. Semakin banyak permintaan, maka akan semakin mahal barang yang ditawarkan. Semakin banyak orang yang menyukai, meshare, mengomentari, apalagi ikut melakukan narasi kebencian dan intoleransi tersebut, maka akan semakin banyak kebencian di media sosial.
Ini adalah stategi agar di tahun 2021 yang sebentar lagi akan kita masuki, kita bisa menuju perdamaian. Caranya, bersihkan narasi kebencian di level keluarga dan di level media sosial. Sebab, kedua level ini adalah koentji.
This post was last modified on 28 Desember 2020 1:33 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…