Categories: Pustaka

Revitalisasi Fiqh Minoritas

Islam di Indonesia boleh dibilang sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk, dimana tidak jarang dari fakta ini muncul riak-riak keinginan untuk menjadikan hukum Islam sebagai dasar dalam bernegara. Hal ini tampak dari usaha-usaha yang dilakukan sekelompok muslim untuk melakukan formalisasi terhadap hukum-hukum Islam. Beberapa dari mereka berusaha bukan saja untuk menjadikan hukum Islam sebagai dasar negara, tetapi juga memaksakan agar hukum negara tunduk pada ketentuan-ketentuan Islam. hal ini tentu menimbulkan banyak benturan, terutama bagi muslim yang tinggal di negara-negara dengan mayoritas penduduknya non-muslim.

Para ulama Fiqh bukanya tutup mata atas hal ini, Yusuf Qardawi misalnya, seorang ulama modernis kelahiran Mesir, telah lama menyodorkan gagasan tentang fiqh minoritas. Yakni sebuah gagasan berbasis hukum fiqih yang dimaksudkan sebagai pegangan bagi muslim yang menjadi minoritas di sebuah negara atau lingkungan masyarakat, terutama muslim yang tinggal di negara-negara Barat.

Belajar dari pengalaman Mekah, yang perlu dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam di Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau “trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.”

Qordhowi nyatanya tidak sendirian, ada banyak tokoh lain yang memberikan kontribusi pemikiran terhadap peliknya suasana hidup yang sangat mungkin dialami muslim yang menjadi minoritas. Shammai Fishman, dalam tulisannya yang diterbitkan Hudson Institute, Washington, 2006, memperkenalkan nama Dr. Thaha Jabir al-Alwani sebagai penggagas fikih aqalliyat pertama dipublikasikan pertama kali pada tahun 2001 dalam bentuk booklet berjudul, Nazarat Ta’sisiyya fi Fiqh al-‘Aqalliyyat (Foundational Views in Fiqh al-‘Aqalliyyah, Pandangan-pandangan dasar dalam Fikih Minoritas). Qordhowi sendiri menerbitkan buah pemikirannya dalam sebuah karya fenomenal berjudul Fi Fiqh al-‘Al-Aqaliyyat al-Muslimah, Hayat al-Muslimin Wasat al-Mujtama’at al-Ukhrah (Fiqh of Muslim Minorities, the Life of Muslims Amidst Other Communities). Berkat sumbangan dari kedua tokoh ini, baik Qordhowi maupun Jabir kerap dijuluki sebagai Fishman sebagai Co-Founders Fiqh Aqalliyah (Ala’i Nadjib, 2012).

Pemikiran kedua tokoh di atas –seperti ditegaskan oleh Dr. Rumadi—merupakan sebuah karya kontemporer yang baru muncul di tahun 1990-an. Thaha Jabir menggunakan istilah Fiqh Aqalliyah pertama kali pada tahun 1994 saat Fiqh Council of North America (FCNA, Majelis Fikih Amerika Utara) yang dipimpinnya mengeluarkan fatwa yang membolehkan umat Muslim Amerika untuk memberikan suaranya pada pemilihan presiden di Amerika, dimana semua calon pemimpin yang akan dipilih adalah non-Muslim.

Dalam doktrin standar hukum Islam, seorang Muslim dilarang memilih seorang pemimpin non-Muslim. Dalam situasi itulah Thaha Jabir mengemas berbagai pemikrian kontemporernya dalam bentuk tulisan, beberapa diantaranya adalah Nazharat Ta’sisiyat fi Fiqh al-Aqalliyât dan Towards A Fiqh For Minorities: Some Basic Reflections, (UK: International Institute of Islamic Thought, Richmond, 2003).

Sementara Yusuf al-Qardlawi mendirikan European Council for Fatwa and Research (ECFR, Majelis Eropa untuk Fatwa dan Penelitian) di London pada tahun 1997 dengan tujuan utamanya ialah untuk memberikan layanan hukum Islam pada mayarakat minoritas Muslim di Eropa. Untuk itulah ia menulis buku khusus berjudul Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimat, Hayat al-Muslimin Wasat al-Mujtama’at al-Ukhra (Umat Islam di tengah Masyarakat Lain), (Beirut: Dar al-Syuruq, 2001), sebuah buku dimana al-Qardlawi memberikan aturan-aturan umum dan ketentuan hukum dalam fikih minoritas.

Sejak saat itu, tema fiqh aqalliyât menjadi bahasan dan perhatian banyak kalangan. Hal ini muncul seiring dengan pertumbuhan kaum Muslim di Eropa dan negara-negara Barat lainnya yang cukup signifikan. M. Ali Kettani misalnya, secara khusus menulis buku tentang minoritas Muslim di dunia, mulai dari asal-usul istilah minoritas tersebut, penyebabnya dan juga jumlahnya. Kettani memotret minoritas Muslim di Eropa, Uni Soviet, Cina, India, Afrika, Amerika, Pasifik, dan Asia bagian lainnya. Baginya, minoritas Muslim didefinisikan sebagai “bagian penduduk yang berbeda karena anggota-anggotanya beragama Islam dan seringkali diperlakukan berbeda karena jumlahnya yang sedikit dibanding keseluruhan penduduk”.

Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA, mencoba mengemas dialektika tersebut melalui sebuah buku yang merupakan hasil penelitiannya. Dr. Mawardi ingin mempertegas fungsionalisasi fiqh minoritas secara praktis dengan menggunakan konsep pendekatan yang lebih membumi, khusunya dalam konteks Indonesia. Apalagi Indonesia dikenal sebagai negara mayoritas muslim yang mempunyai sikap toleran terhadap kelompok-kelompok lain sehingga kajian fiqh minoritas yang berasal dari para ilmuwan Indonesia diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi minoritas muslim di berbagai negara. Tentu hal ini bukan tidak mempunyai dasar, karena warga negara Indonesia nyatanya juga banyak yang bertebaran di berbagai negara, baik sebagai tenaga kerja maupun pelajar. Tentu para muslim ini ingin menjalankan agamanya dengan mudah meski mereka harus berjibaku dengan ruwetnya suasana hidup beragama di negara-negara mayoritas non-muslim.

Dalam penelitian yang merupakan hasil disertasinya ini, Mawardi berusaha untuk secara khusus menjawab persoalan-persoalan berikut; pertama, bagaimana format fiqh al-aqalliyat serta apa dasar dan landasan metodologisnya yang membuatnya mempunyai bentuk yang berbeda dari fiqh pada umumnya? Kedua, bagaimana posisi dan peran maqashid al-syari’ah dalam merekonsiderasi pemberlakuan hukum Islam bagi masyarakat minoritas muslim? Ketiga, bagaimana tata kerja maqashid al-syari’ah ketika dijadikan dasar perumusan fiqh al-aqalliyat?

Dalam karyanya ini Dr. Mawardi tampak ingin menghadirkan pemahaman fiqh al-aqalliyat dari sudut epistimologis melalui kajian maqashid al-syari’ah. Hal ini dilakukan karena menurutnya kajian fiqh minoritas juga merupakan barang baru, khususnya untuk Indonesia, sehingga ia berusaha melacak sumber-sumber terkait agar praktik fiqh ini mempunyai dasar yang kuat. Ia juga menegaskan bahwa Ahmad Imam Mawardi, sejauh yang ia ketahui, merupakan satu-satunya sarjana di Indonesia yang secara serius menulis mengenai tema fiqih minoritas, meskipun masih dalam kerangka pemahaman fiqih minoritas yang dirumuskan Thaha Jabir al-Alwani, Yusuf Qardhawi dan M. Ali Kettani. Oleh karenanya ia memapaparkan sepak terjang dan pemikiran-pemikiran yang disumbangkan oleh ketiga tokoh ini di bagian awal pembahasan sebagai kerangka teoritis yang ia bangun dalam pembahasannya di buku ini.

Pembahasan dalam buku ini menekankan pada hubungan antara mayoritas dengan minoritas, dimana ia –mengutip Mathias Rohe— memaparkan 4 jenis hubungan yang paling sering muncul, terutama dalam konteks kehidupan di Barat, yaitu: assimilation, overlapping, segregation, dan acculturation (Ahmad Imam Mawardi, 2010). Lebih lanjut ia menjelaskan  bahwa fiqh al-aqalliyat lebih menekankan pada prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai universal yang terkandung dalam al-Qur’an sebagai sumber utama dalam penentuan hukum. Dalam konteks itu maka fiqh al-aqalliyat termasuk dalam fiqh al-maqashid (maqashid-based jurisprudence), karena hukum yang dipilih tidak harus didasarkan pada kekuatan dalil, tetapi keberpihakannya pada maslahah yang sedang dihadapi atau fiqh al-taysir (fiqh yang memudahkan), sehingga hukum yang dipilih adalah yang paling mungkin untuk diterapkan.

Dari perspektif ushul fiqh dan kaidah-kaidah fiqh, Dr. Mawardi menyatakan bahwa fiqh al-aqalliyat yang mendasarkan diri pada fiqh maqashid al-syari’ah tidak bertentangan dengan konsep fiqh secara praktis dan teoritis. Adapun produk fiqh al-aqalliyat secara maqashid meliputi bidang keyakinan dan ibadah ritual. Bidang ini melingkupi hukum mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim dan tentang waktu shalat jumat. Kemudian bidang ekonomi yang melingkupi persoalan pembelian rumah dengan menggunakan kredit bank berbunga dan pemanfaatan zakat untuk membangun lembaga keislaman. Lalu bidang politik yang melingkupi masalah hukum tinggal di negara mayoritas non-muslim, termasuk memiliki kewarganegaraan negara tersebut serta hukum mengenai masalah politik yang berlaku di negara tersebut. Kemudian juga bidang hukum keluarga yang melingkupi masalah kebolehan seorang muslim menerima warisan dari kerabatnya yang beragama non-muslim dan status pernikahan istri yang masuk Islam sementara suaminya tetap non-muslim.

DR. Mawardi secara teoritis mendasarkan pembahasannya terkait dengan fiqh al-aqalliyat pada pendapat Yusuf Qaradlawi dan Thaha Jabir al-Alwani. Meskipun secara substantif ulama-ulama pesantren di Indonesia juga banyak memfatwakan fleksibilitas hukum fiqh untuk umat Islam pada umumnya melalui pemahaman ushul fiqh dan kaidah fiqh yang tidak lupa pula ia sadur dalam bukunya ini.

Faktanya, ulama-ulama nusantara yang digawangi oleh lembaga pendidikan seperti pesantren memahami fiqh atau hukum Islam secara umum dengan begitu fleksibel. Terbukti dengan eksistensi ijtihad jama’i atau yang lazim disebut Bahtsul Masail sebagai tradisi intelektualitas pesantren yang telah berlangsung sejak puluhan tahun silam dalam merespon perubahan zaman yang memerlukan kepastian hukum Islam. Kondisi masyarakat Indonesia yang plural dipahami oleh kiai-kiai maupun santri NU dalam hal multikulturalisme yang memiliki konsekuensi pengakuan eksistensi mayoritas dan minoritas. Diskursus dua variabel ini juga selalu mengemuka di Indonesia, walaupun banyak terkonsentrasi pada persamaan hak di hadapan konstitusi.

Namun demikian, seperti diungkapkan oleh Ahmad Suaedy (2012), perspektif multikulturalisme hendak memecah kebekuan hegemoni mayoritas yang inheren di dalam sistem demokrasi liberal. Karena itu, tuntutan yang kian meningkat dari kaum minoritas dalam sistem demokrasi bukan hanya mengharuskan adanya pola negosiasi antara minoritas dan mayoritas yang persuasif dan adil dalam konflik dan tarik-menarik kepentingan, misalnya, melainkan dibutuhkan suatu restrukturisasi terhadap sistem demokrasi dan negara-bangsa (nation-state). Will Kymlicka, misalnya, berpandangan bahwa bangkitnya tuntutan minoritas atas hak kolektif tersebut sebagai suatu tuntutan perubahan pada konsep keadilan yang substansial dalam demokrasi liberal dan HAM.

Menarik jika diskursus tentang konsep multikulturalisme ini menjadi perhatian oleh orang-orang Barat sehingga hegemoni mayoritas tereduksi jika kenyataanya mereka menerapkan sistem demokrasi liberal seperti penjelasan Ahmad Suaedy di atas. Penulis bahkan merekomendasikan, bahwa isu-isu keislaman yang terkait dengan fiqh masayarakat minoritas muslim di Barat mendapat porsi dan perhatian juga dari kiai-kiai NU dalam Bahtsul Masail di arena Munas, Konbes, dan Muktamar sekalipun. Tentu hal ini bukan tanpa alasan, karena nahdliyin di luar negeri juga tidak sedikit, terbukti dengan eksistensi PCINU-PCINU di luar negeri.

Hal menarik dalam kajian Mawardi ini juga ada pada bagian evolusi maqashid al-syari’ah. Dimana ia menjadi konseiderasi utama dalam mengaplikasikan fiqh al-aqaliyyat. Di sini Mawardi masih menjejakkan penelitiannya kepada pemikiran Thaha Jabir al-Alwani dan Yusuf Qaradlawi, disamping  al-Syathibi, Ahmad al-Rasyuni, dan Muhammad Thahir Ibn Asyur. Jika al-Alwani menekankan maqashid al-Syari’ah kepada makna, tujuan, illat, dan syari’ah itu sendiri supaya menjadi perhatian dalam penentuan hukum fiqh, Qaradlawi meluaskannya, menurutnya maqashid al-syari’ah tidak hanya mengalikasikan diri pada bidang fiqh tetapi juga pada bidang aqidah. Karena bagi Qaradlawi, keyakinan agama Islam bersifat universal, tidak terbatas waktu dan tempat. Di sinilah maqashid al-syari’ah menurut Qaradlawi menemukan makna, tujuan, ataupun hikmahnya dalam menopang fiqh al-aqalliyat khususnya bagi masayarakat minoritas muslim di Barat.

Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Rumadi di atas, buku ini memang hanya sebatas menelaah pemikiran tokoh-tokoh penggagas fiqh al-aqaliyyat beserta produk pemikirannya. Namun demikian, menurut penulis sendiri, kajian ini sangat komprehensif sebagai bahan komparasi antara pemahaman fiqh klasik, ushul fiqh, kaidah fiqh dan maqashid al-syariah itu sendiri, sehingga menjadi konstruk dasar bagi implementasi fiqh al-aqaliyyat bagi masyarakat minoritas muslim di Barat.

Seperti yang telah dipaparkan di atas, FCNA yang dibesarkan oleh Thaha Jabir al-Alwani dan  ECFR yang dikepalai oleh Yusuf Qaradlawi adalah dua lembaga yang menjadi tempat utama tumbuh dan berkembangnya fiqh al-aqaliyyat dengan pendekatan maqashid al-syari’ah. Fatwa tentang sebagian permasalahan aktual telah ditampilkan dalam situs resmi ECFR dan FCNA untuk menjadi kajian lebih lanjut.

Dari kajian Mawardi yang mendasarkan diri pada gagasan fiqh minoritas Thaha Jabir al-Alwani dan Yusuf Qaradlawi ini, paradigma berpikir yang perlu dikembangkan minoritas muslim di Barat, seperti yang dijelaskan oleh Dr. Abdul Moqsith Ghazali, yaitu bahwa yang perlu dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam di Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau “trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.

Perlu disampaikan juga, bahwa dengan kenyataan sebagai negara yang menganut sistem demokrasi yang boleh dikatakan sangat demokratis, diskursus mayoritas dan minoritas justru membuka mata negara-negara Barat; bahwa kemajuan kehidupan bernegara juga tidak akan terjadi tanpa eksistensi semua elemen bangsa yang ada di dalamnya, tak terkecuali muslim minoritas. Dalam hal ini, Dr. Rumadi (2014) menyebutnya sense of minorities, yaitu perhatian akan eksistensi minoritas dengan segala kekurangan dan kebutuahannya (hajah), baik secara material maupun imaterial. Hal inilah yang pada orang-orang Barat mulai terlihat tumbuh. Saat ini, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, akomodasi masyarakat muslim dalam ranah kebijakan mulai dilibatkan. Seperti yang diungkapkan oleh Mawardi dalam bukunya ini, bahwa diakomodasinya sarjana seperti Khaled Abou el-Fadl, M. Muqtedar Khan, Thaha Jabir al-Alwani, dan beberapa sarjana lainnya dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan Islam adalah suatu bukti atas perhatian pemerintah terhadap Islam.

Ahmad Fathoni

Seorang penulis, jurnalis dan aktivis media sosial. Sedang menyelesaikan studi Pascasarjana pada Kajian Islam Nusantara di STAINU Jakarta. Penulis dapat dihubungi di akun twitter: @patoni89

Recent Posts

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

1 hari ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

2 hari ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

3 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

3 hari ago