Faktual

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada Rabu (30/9), mengeluarkan surat pernyataan bahwa murid-murid setara SMA di sana wajib untuk membaca buku Al-Fatih 1453 karangan Felix Siauw. Buku itu sebetulnya bukan literatur akademik, melainkan sebuah novel dengan latar belakang sejarah yang bercerita tentang kisah perang salib di zaman Turki Utsmani. Perang yang terjadi jauh dari Indonesia, tepatnya di Eropa sana. Sederhananya, novel itu bukan bercerita tentang sejarah Indonesia, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Indonesia.

Pertanyaannya, apa urusannya murid-murid SMA di Bangka Belitung wajib membaca buku itu? Apakah semata-mata demi wawasan ilmu pengetahuan atau motif lain? Perintah itu juga datang dari pihak otoritas pendidikan yaitu Dinas Pendidikan yang tiba-tiba saja memaksa pelajar untuk mengkonsumsi buku tersebut yang output pembelajarannya tidak dijelaskan.

Mungkin pihak penerbit ingin mendapatkan keuntungan dengan dalih kerjasama dengan sekolah terkait. Tetapi motif itu tampak aneh karena bagaimanapun novel bukan referensi akademik, terlebih judulnya juga tendensius.

Singkatnya, Perang Salib bermula ketika Dinasti Turki Seljuk berhasil menggantikan kekuasaan Khalifah Fatimiyah di wilayah Yerusalem pada 1070. Sebagai pemimpin baru wilayah itu, Dinasti Turki Seljuk mulai menerapkan kebijakan baru yang oleh umat Kristiani dari Eropa sangat membatasi kebebasan beribadah mereka.

Banyak peziarah Eropa yang mengeluhkan kebijakan tersebut ketika mereka kembali ke Eropa. Hal tersebut menjadi salah satu faktor tercetusnya kampanye Perang Salib yang bertujuan untuk merebut kembali Jerusalem dari tangan otoritas Muslim yang tengah berkuasa yang kemudian berlanjut terus sampai pada kekhalifahan Turki Utsmani. Pada dasarnya, perang ini bertujuan untuk saling mengklaim wilayah Jerusalem yang diinginkan oleh masing-masing pihak demi kepentingan tertentu.

Perlu diketahui, penulis buku Al-Fatih 1453, Felix Siauw, adalah seorang yang (masih) getol dalam merealisasikan ideologi khilafah di Indonesia. Niscaya ada kecenderungan membela pasukan Islam dalam menulis buku tersebut. Pertanyaannya masih sama, apa ekspektasi atau sasaran yang hendak dicapai ketika murid-murid SMA di Bangka Belitung membaca buku itu?

Yang dikhawatirkan adalah, diwajibkannya buku Al-Fatih 1453 ini lantas menanamkan benih mayoritarianisme Islam di sekolah umum. Terlebih lagi, jika menyusupkan ideologi khilafah di otak para pelajar. Ideologi yang misi besarnya adalah menjadikan Indonesia sebagai role model pemerintahan berbasis khilafah atau menjadikan Indonesia bagian dari negara khilafah dunia.

Padahal, tidak semua anak-anak SMA di Bangka Belitung beragama Islam, tidak bisa dibayangkan ketika anak-anak Kristen membaca buku tersebut. Memang, pada Jumat (2/10), Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Babel sudah meminta maaf perihal hal ini, ia mengaku bahwa ia tidak tahu bahwa buku itu merupakan karya aktivis HTI. Ia juga berdalih bahwa ia hanya ingin meningkatkan literasi dan memberi contoh kepada anak-anak tentang perjalanan dan perjuangan dalam buku al-Fatih 1453 tersebut. Alasan yang sangat normatif, mengingat betapa perjuangan bangsa kita di masa lalu saja masih kurang mendapat tempat di benak pelajar generasi Tik Tok ini.

Yang mengagetkan adalah justru yang menginisiasi ide literasi buku tersebut adalah Gubernur Bangka Belitung sendiri. Beruntungnya, surat itu sudah dibatalkan.

Yang perlu digarisbawahi adalah propaganda khilafah ini mampu bahkan sudah menyusup di berbagai institusi resmi di negara kita. PNS yang digaji negara saja masih bisa menjadi “impostor” yang pelan-pelan menggerogoti nilai kebangsaan. Ironis sekali. Dan sekali lagi, sampai kapan propaganda ideology khilafahn akan terus digemborkan demi kepentingan penegakkan pemerintahan yang menurut mereka paling benar ini?

HTI memang sudah resmi dilarang di Indonesia, akan tetapi ajarannya masih saja bergerilya di sekitar kita tanpa ada yang menyadari. Kadiknas Bangka Belitung mengaku khilaf dengan pernyataannya karena suratnya bocor di media sosial dan mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Itu yang bocor dan ketahuan publik, bagaimana yang tidak ketahuan? Apakah sebanyak itu? Kita boleh berspekulasi.

Spekulasi tersebut penting untuk membuat kita sadar bahwa ideologi khilafah itu harus selalu diawasi secara serius. Jika tidak, racun ideologi tersebut akan memprovokasi guru-guru yang setiap saat berinteraksi dengan murid-muridnya, mereka yang sudah keracunan khilafah kemudian menularkannya ke anak-anak didiknya. Siapa yang tahu?

Fenomena semacam itu nyatanya tidak hanya terjadi di sekolah bernuansa Islam saja, akan tetapi sudah terjadi di sekolah-sekolah umum kita. kebijakan-kebijakan yang muncul seolah-olah hendak ingin mengarahkan murid-muridnya ke satu agama saja, cara berpakaian, seleksi masuk yang condong menerima agama tertentu, dan sebagainya. Maka tidak heran jika kita sering mendengar anak-anak yang beragama minoritas di sekolah umum mendapat perlakuan diskriminatif dari teman-temannya.

Mari kita perlebar jangkauan, dahulu racun ideologi ini sudah marak dan menyebar masuk ke institusi pendidikan tinggi misalnya di IKIP, yang sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta, mereka kan mencetak kader-kader guru, maka patut dicurigai bahwa agenda ini bukan tanpa sengaja, tapi ada upaya untuk sosialisasi gagasan ideologi tersebut. Guru-guru ini nantinya yang menjadi agen bagi calon murid-muridnya.

Oleh karena itu, kita sebaiknya mulai memperhatikan lingkungan kita, menengok sikap adik-adik kita, melihat sikap anak-anak kita. Sebagai anak bangsa harusnya mereka tidak mempunyai alasan untuk membenci teman lain agamanya, apakah mereka masih menjadi anak-anak yang tetap solid berteman walaupun memiliki keyakinan yang saling berbeda.

Apakah tidak boleh baca buku Al-Fatih 1453? Tentu sangat boleh. Namun di usia pelajar sekolah, pembacaan atas buku yang rentan bermuatan propaganda harus disertai bimbingan dan arahan dari guru. Apa gunanya? Tidak lain untuk meminimalisir racun ideologi khilafah yang berpotensi merusak generasi penerus bangsa.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago