Categories: Narasi

Rian Tak Bisa Mudik (2)

Oleh karena Rian tidak bisa mudik namun juga telah merasakan mudik dalam sudut pandang yang lain, maka ia hanya titip salam buat Anda yang mau mudik. Setidaknya, sebelum Anda menjadi Rian, atau Anda mengalami hal yang dialami Rian, ia berpesan supaya waspada pada beberapa hal sehingga mudik Anda tidak sia-sia.

“Jangan tukar kebahagiaan Anda dengan hilangnya nyawa. Serem? Iya! Banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas (dan menyebabkan kematian) selalu terjadi, kadang meningkat, setiap musim mudik, terutama H-7 atau sesudahnya. Jika ada kabar bahwa kini banyak krupuk palsu yang mengandung plastik dan konsumsi krupuk bisa berkurang, jumlah pemudik terus bertambah bahkan walaupun disertai banyaknya berita kecelakaan.

“Selagi bisa dan mungkin, gunakan angkutan umum dan massal untuk mudik, seperti keretaapi, bis, dll. Kalaupun Anda baru ganti mobil baru yang sekaligus diniatkan ngeceng, simpan dulu itu di pegadaian atau di garasi. Ngecengnya tunda ke liburan yang lain,” pesannya. Rian juga berpesan agar kita tidak mudik dengan sepeda motor sembari membawa anak-istri dan banyak barang yang umumnya tanpa standar keselamatan memadai. Jangan bayar harga murah itu jika nyawa taruhannya.”

“Kalaupun nanti macet minta ampun, bersyukurlah Anda masih tidak seperti saya,” katanya. “Ingin mudik tapi tak punya kampung halaman.”
“Andai terpaksa harus bawa mobil, pastikan (dana buat) BBM Anda cukup buat mudik. Percayalah, sungguh susah cari pinjaman bahan bakar di tengah jalan nanti, apalagi di tengah tol Cipali yang 116 kilometer panjangnya itu. Cek mesin, rem dan kaki-kaki. Tak kalah penting adalah memeriksa kesehatan radiator sebab jika nanti terjadi macet lama/panjang, radiator yang sehat mutlak diperlukan. Ini sering terjadi: karena tegang, sopir kerap lupa memantau panel suhu mesin di dashboard. Kalau kepanasan dan mulet di jalan, susah bengkel kemudian. Emang Situ mau berlebaran di tengah perjalanan?”

“Terus, kalau bukan mobil sendiri yang Anda bawa, pastikan pula Anda tidak akan mengaku-akunya, semisal mengganti platnomornya yang bergincu merah menjadi hitam meskipun untuk beberapa hari saja. Ini tidak baik bagi mental karena nanti akan mengakibatkan tekanan batin.”
Jeda dulu…
Ingatlah, jangan sampai Anda terlena pada tulisan ini sebab inti mudik adalah berlebaran. Inti berlebaran adalah bersilaturrahmi dan bermaaf-maafan.

Adapun maaf-maafan itu merupakan kegiatan pribadi sekaligus sosial. Sebab itulah, jika Anda punya kesalahan pada Pak RT Kranji yang tinggal di Bekasi tentu lucu jika minta maafnya malah kepada Pak RT di dusun Curug Desa Wotgalih hanya karena pada saat lebaran Anda sekampung dengannya.

Itulah beberapa pesan Rian yang disampaikan melalui saya agar kita semua, para kaum pemudik, menyadari bahwa tujuan mudik itu adalah berlebaran atau menjadi bagian dari fenomena sosial ini sebagai salah satu bukti bahwa kita ini manusia, bukan robot. Mudik lebaran adalah sungkem kepada orangtua yang telah lama ditinggalkan, baik yang ada maupun yang telah lama berpulang; kepada kampung yang telah lama ditinggalkan, kepada orang-orang dan sahabat karib yang telah lama ditinggalkan.

Mudik adalah menjenguk mereka yang lama ditinggalkan. Sebab itulah, perlu aklimatisasi agar kita dapat menyesuaikan suhu dan keadaan di mana kita sekarang berada, untuk sementara, yakni di kampung. Suhu panas yang memudahkan orang gampang naik pitam di ibukota janganlah dibawa-bawa. Dan setelah kita tiba di kampung, jangan sibuk melulu berkomunikasi jarak jauh dengan perantara gadget di tangan. Yang duduk di dekat dan berhadap-hadapan dengan kita itulah yang perlu lebih dulu disapa dengan senyum orisinal, bukan hanya sekadar smiley dan emotikon lainnya.

Mudik adalah saat yang tepat untuk mengukur diri secara sosial, termasuk menahan diri untuk sombong dan terlalu percaya diri dalam keserbasementaraan. Nikmati mudik berikut ruwet, macet, dan juga risikonya. Meskipun kita tiba terlambat karena macet, ingatlah mereka yang pada saat lebaran dapat tugas berjaga di kamar ICU, jadi sopir damkar, menjaga pintu lintasan keretaapi, tol, menara bandara, dan sejenisnya. Lebih-lebih, ingatlah bahwa masih ada Rian di sana. Kita bersyukur masih punya kampung. Ingatlah si Rian yang mudik dan kampungnya hanya ada di dalam khayalan.

This post was last modified on 23 Juli 2015 4:41 PM

M. Faizi

Seorang penulis, blogger, penggemar perjalanan naik bis.

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

19 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

21 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

21 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

21 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago