Narasi

Ronda Online: Menjaga Solidaritas di Dunia Maya

Jika ada yang hilang dalam ruang interaksi publik, maka salah satunya adalah solidaritas sosial. Pemahaman atas solidaritas ini tentunya menurut kaca mata penulis tidak hanya teraktualisasi dalam realitas kehidupan manusia, dimana secara fisik langsung bertatap muka. Akan tetapi juga terjadi dalam ruang maya melalui media sosial. Bahkan situasi ini semacam sebuah realitas yang termediasi, dimana ada pola perilaku publik yang mulai bergeser, dari bertatap muka secara langsung beralih ke ruang maya, pun alur komunikasi yang terjadi tidak kalah dinamis dibandingkan jika mereka bertemu secara fisik di ruang publik.

Menganalisa lebih jauh mengenai dinamika publik saat ini, sangat menarik jika kemudikan kita kontekstualkan dengan Teori Simulasi dan hiperrealitas, Jean Bauldillard. Secara sosiologis Bauldrillard melihat bahwa adanya pencitaan atas konsepsi kenyataan yang dibangun dari model konseptual dengan melibatkan “mitos” yang sebenarnya tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya. Segala kebutuhan manusia dari fisik dan nonfisik dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga memunculkan suatu realitas sosial yang lahir dari kenyataan semu. Kenyataan semu yang kemudian diaminkan sebagai realitas hakiki inilah diistilakan sebagai hiper realitas.

Penampakan hiper realitas inilah yang tentunya sangat menarik untuk ditarik sebuah benang merah dalam diskursus mengenai dunia maya dan pengaruhnya terhadap pola pikir dan perilaku publik, utamamanya para warganet. Mari kita cermati dengan seksama, dari sekian informasi yang berseliweran di linimasa media sosial, banyak diantaranya berisi informasi palsu (hoax) maupun kampanye hitam yang menyerang pribadi maupun kelembagaan. Inforamasi palsu yang kemudian diframing sedemikian rupa, dalam kenyataannya oleh sebagian warganet dianggap sebagai realitas yang sebenarnya. Maka kemudian, tidak mengherankan jika dalam kehidupan sosial yang sebenarnya ada sekelompok masyarakat yang sedikit banyak bersandar dari informasu palsu, dimana telah mereka cerna mentah mentah dalam alam bawah sadar. Situasi seperti inilah yang kemudian memunculkan konflik, alih-alih untuk memberikan pencerahan, yang terjadi justru memutus solidaritas sosial sebagai  lem pengikatnya (kohesi)

Sudah saatnya publik kembali mencerdaskan dirinya untuk memilih dan memilah informasi yang diperoleh. Dan untuk ituah keberadaan “ronda online” menjadi salah satu cara bagi kita untuk saling mengingatkan dan mengawasi, agar tidak ada yang terjebak dalam ceruk informasi palsu yang justru merugikan semua pihak. Sikap preventif harus menjadi nalar dominan dalam persoalan ini agar tidak ada yang menempatkan diri sebagai pemadam kebakaran. Sungguh sikap reaktif yang sangat tidak produktif, dan hanya meredam konflik untuk sementara.

Emile Durkheim, dalam Teori Solidaritasnya, menjelaskan bahwa solidaritas diartikan dengan  suatu hubungan yang mengikat dari dalam diri tiap individu dalam masyarakat yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama. Dari pemikiran inilah Durkheim membagi tipologi solidaritas sosial masyarakat ke dalam dua kategori yakni Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik. Perkembangan masyararakat metropolitian dewasa ini menggambarkan tipe solidaritas organik dimana antar individu berkembang rasa ketergantungan, dikarenakan adanya spesialisasi pekerjaan dan motif ekonomi. Tipologi masyarakat organik seperti ini memang sangat rentan dipantik oleh konflik konfik sosial yang disebabkan oleh rapuhnya ikatan (kohesi) dan kontrol sosial dalam komunitasnya. Oleh karena itulah penting disini menghadirkan nilai solidaritas mekanik yang meski terkenal sangat tradisional namun justru mengedepankan adanya penguatan basis norma serta kontrol sosial.

Solidaritas mekanik inilah yang tidak bisa kita pungkiri mulai hilang dalam interkasi ruang publik, pun satu diantaranya dalam ruang dunia maya, karena tidak bisa dipungkiri dunia maya telah menjelma sebagai ruang publik yang mampu memediasi kenyataan kenyataan sosial di ruang publik sesungguhnya. Meski kemudian tidak bisa dilakukan suatu generalisasi, namun setidaknya gambarakan kegaduhan di dunia maya merupakan representasi dari kegaduhan di dunia nyata.

Publik, yang notabene juga sebagai warganet sudah sepatutnya menjaga solidaritas sosial ini dimanapun mereka berada, tidak terkecuali di dunia maya. Penjagaan atas norma sosial –di dunia maya- merupakan gambaran bahwa kita masih hidup sebagai manusia dimana keberadaan sisi kemanusiaan kita menjadi ruh dan nalar dalam membangun kehidupan yang beradab.

 

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

1 hari ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

1 hari ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

1 hari ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago