Ana kayu apurwa sawiji
Wit buwana epang keblat papat
Agodhong mega tumembe
Apradapa kekuwung
Kembang lintang segara langit
Sami andaru kilat
Woh surya lan tengsu
Asirat bun lawan udan
Apepuncak akasa bungkah pertiwi
Oyode bayu bajra
—Sunan Kalijaga.
Konon, untuk menghancurkan sebuah bangsa adalah dengan mengaburkan sejarahnya, membumihanguskan warisan-warisannya, dan memutuskan hubungan dengan leluhurnya (Architects of Deception: the Concealed History of Freemasonry, Juri Lina, 2004). Ketiga faktor penghancuran itu bertemu pada satu titik: kesilaman. Lalu, kenapa mesti kesilaman yang jelas-jelas adalah hal-hal yang sudah terjadi dan seolah tak lagi berarti ketika orang hidup pada kondisi terkini dan menjelang kemendatangan?
Saya tak akan menyediakan jawaban yang terkesan infantile sebagaimana orang secara romantik meletakkan kesilaman selama ini. Jauh di luar kerangka romantisisme, orang Nusantara sudah meletakkan kesilaman sebagai fondasi kehidupan (urip) yang setara dengan konsepsi waktu. Ketika di Barat dan di Timur Tengah waktu itu dipahami secara linear (terbukti dengan ungkapan waktu adalah uang ataupun pedang), orang Nusantara, yang mengejawantah pada kebudayaan Jawa, memahami waktu itu secara sirkular.
Sirkulasi itu tersingkap dalam ungkapan “Sangkan-Paraning Dumadi,” bahwa kesilaman atau sangkan adalah sudah semestinya seturut dengan kemendatangan atau paran. Dan dumadi atau yang terkini adalah sebuah momen kunci keseturutan antara sangkan dan paran itu. Di sinilah kemudian berbagai agama, spiritualitas, sistem moral, dan bahkan pun berbagai sistem hukum, menemukan ruang dan fungsinya: ideal keseturutan antara sangkan (kesilaman) dan paran (kemendatangan). Bukankah segala tata perundangan dan sistem hukum di sebuah bangsa lazim berdiri di atas sebuah fondasi, yang dalam konteks bangsa Indonesia, dikenal sebagai Pancasila yang konon merupakan galian atas warisan kesilaman bangsa Nusantara?
Maka, ketika orang berbicara tentang akar spiritualitas Nusantara yang konon menjadi kunci bagi keberlangsungan sebuah bangsa, orang itu tengah menyentuh wilayah sangkan-paran yang sudah pasti ada dalam setiap warisan sebuah kebudayaan. Dalam khazanah para sufi (yang menurut para sejarawan konon memang 80% tak murni Arab), sangkan-paran itulah yang konon menjadi sumber sekaligus muara dari segenap kehidupan, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”—yang entah kenapa selama ini diidentikkan dengan kematian, yang cukup kontras dengan ungakapan sangkan-paraning dumadi yang justru terasosiasikan dengan kehidupan.
Dengan demikian, hancurnya sebuah bangsa adalah seturut dengan kealpaan pada sangkan-paraning dumadi yang sudah pasti memuat sejarah, warisan-warisan sejarah, dan leluhur. Atau dalam bahasa para sufi, hancurnya sebuah bangsa adalah ketika orang menjadi kafir atau tertutup dari apa yang dikenal sebagai Tuhan.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…
Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…
urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…
Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…
Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…