Narasi

Seks dan Terorisme: Berkaca Pada Kasus Bom Bunuh Diri di Makassar

This is out of our reach

This is out of our reach

This is out of our reach and it’s grown

This is getting to be

This is getting to be

This is getting to be drone

Negative Creep, Nirvana

Islamic State (IS), sebagai salah satu organisasi terorisme internasional, selama ini telah banyak menyingkapkan sisi gelap jargon perjuangan agama dengan jalan kekerasan. Dengan kata lain, di balik tampilan dan klaim kesucian yang khas keagamaan, terorisme yang berbungkuskan agama sungguh tak sesuci sebagaimana yang dibayangkan.

Siapa pun sudah mafhum tentang organisasi IS yang lekat dengan narkoba, alkohol, kompensasi seksual bagi para kombatannya, melankolia dan masa lalu yang kelam para simpatisan maupun anggotanya. Di Indonesia sendiri kehidupan masa lalu yang kelam dan seks, dengan berbagai alasannya, seperti sudah melekat dengan para teroris yang berkecenderungan untuk melakukan amaliah bom bunuh diri, atau setidaknya, siap mati ketika gagal dan dibekuk aparat.

Setidaknya saya mencatat tiga aksi terorisme yang lekat dengan seks dengan segala alasannya. Selain kasus Dian Yulia Novi yang kala itu menarget istana negara dengan masa lalu yang muram dan fakta bahwa sebelum mau melakukan aksi bom bunuh diri “dipasangkan” dengan Nur Solichin, Abu Rara yang menusuk Wiranto juga tengah bersama dengan perempuannya yang sama-sama memiliki masa lalu yang muram ketika melakukan aksi penusukan tersebut. Yang terbaru, dimana aksinya di salah satu gereja di Makassar terbilang sukses untuk membunuh dirinya sendiri, dilakukan pula oleh sejoli yang pastinya belum lama mengalami seks secara legal. Sampai di sini, muncul pertanyaan yang saya kira patut direnungkan, adakah keterkaitan antara “pengantin” sebagai sesuatu yang literal dengan “pengantin” yang sekedar metafora dalam diskursus terorisme Indonesia kontemporer?

Tak perlu rasanya saya mengacu pada Freud untuk sekedar menemukan keterkaitan antara seks—yang kerap dicitrakan rendahan berkaitan dengan sesuatu yang suci—dan terorisme. Saya sendiri pernah menganalisa bahwa pada dasarnya radikalisme, yang setahap lagi melahirkan terorisme, hanyalah persoalan hasrat semata yang tak kunjung mendapatkan pemenuhannya (Sapere Aude: Nyala Nyali Kaum Terdidik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Dengan demikian, sebenarnya radikalisme sama sekali tak berkaitan dengan ideologi karena, bagi yang mahir berolah logika, banyak kekonyolan dalam penarikan kesimpulan mereka atas ajaran ataupun isu tertentu. Taruhlah janji 72 bidadari di surga bagi orang yang mati syahid karena amaliah jihad. Untuk urusan kelamin yang mustahil ditolerir dengan angan semata, benarkah orang dapat terpuaskan dengan sekedar janji 72 bidadari kelak di surga? Bagaimana mereka, ketika kita menyempatkan diri menengok video-video ataupun surat-surat “wasiat” para teroris menjelang melakukan aksi bom bunuh diri, sugguh dapat bersemangat ketika menceritakan janji 72 bidadari kelak di surga? Jelas, imajinasi orang pada bidadari di sini adalah berkaitan dengan seks. Tak mungkin imajinasi orang akan menggambarkan bidadari yang dijanjikan itu untuk sekedar membuat dan menghidangkan kopi.

Ketika masih berwujud pola pemahaman yang radikal pun, radikalisme memang sudah lekat dengan citra seksnya. Taruhlah tradisi kawin mut’ah yang konon dipraktikkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi yang terkenal keras di Arab Saudi. Dalam hal ini seks sudah menjadi bagian dari cara beragama mereka. Tak mungkin rasanya orang melakukan kawin kontrak dengan motif ingin membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana pembekalan calon pengantin di KUA. Tetaplah kepuasan seksual yang menjadi ideal tertingginya. Sampai di sini rasanya kita patut bertanya lebih jauh, di balik segala himmah yang tampak luhur dan suci, masihkah mereka sebagaimana yang dibayangkannya sendiri? Dan benarkah mereka cukup bersabar dan tabah untuk sekedar bercumbu dengan para bidadari kelak di surga? Fakta tak berbicara demikian, yang jelas Dian Yulia Novi sudah bersama dengan Nur Solichin, Abu Rara sudah bersama dengan perempuannya, dan pelaku bom bunuh diri di Makassar juga sudah berbarengan dengan pasangannya. Dengan kata lain, secara psikologis, justru para teroris itu saya kira sudah kenyang—atau memang diberi ruang sebelumnya untuk kenyang—dengan segala kenikmatan duniawi dan sukses melakoni dalil utama seorang Kurt Cobain, bahwa ternyata orang tak pernah dapat membeli kebahagiaan. Ketika orang sudah menyesap segala kenikmatan duniawi, apalagi yang tersisa kecuali bunuh diri agar berarti? “Bukankah kau sudah berzina?,” demikianlah kira-kira diktum utama terorisme kontemporer di Indonesia yang mengharapkannya untuk kemudian dapat digunakan oleh kelompoknya.

This post was last modified on 19 April 2021 9:11 AM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago