Gelombang arus ekspansi ideologi transnasional adalah ancaman nyata bagi kebinekaan Indonesia. Ideologi transnasional dengan ajarannya tentang anti-nasionalisme dan anti-pluralisme telah merusak sendi-sendi kebangsaan. Fatalnya, ideologi transnasional bisa menyusup ke mana saja. Mulai ke elemen struktural pemerintahan. Hingga ke sistem kultural masyarakat.
Oleh karena itu, menangkal ideologi transnasional tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan militer dan keamanan. Dalam banyak hal, upaya membentengi masyarakat dari ideologi transnasional justru lebih efektif dilakukan melalui pendekatan kebudayaan.
Di titik inilah, pentingnya kita memperkuat kearifan lokal sebagai penangkal ideologi transnasional. Kita sebenarnya beruntung karena dikaruniai kekakayaan kearifan lokal yang luar biasa. Hampir seluruh suku dan masyarakat di Indonesia memiliki kearifan lokalnya sendiri. Ironisnya, kita kerap abai atau malah menganggap kearifan lokal itu sebagai ketinggalan zaman.
Bahkan, tidak sedikit yang justru menganggap kearifan lokal bertentangan dengan ajaran agama (Islam). Padahal, jika dilacak latar historis dan filosofisnya, kearifan lokal merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa masyarakat dalam melihat, membaca dan menafsirkan realitas yang dihadapinya.
Akulturasi Budaya
Dalam konteks ini, tradisi selametan yang merupakan manifestasi dari akulturasi budaya Jawa dan ajaran Islam kiranya bisa menjadi salah satu bentuk kearifan lokal yang relevan untuk menangkal ideologi transnasional. Merujuk pada antropolog Clifford Geertz dalam bukunya, The Religion of Java selamatan merupakan tradisi yang berkembang di kalangan Islam Abangan.
Islam Abangan merupakan kategori yang dibuat Geertz sebagai istilah untuk menyebut kelompok Islam yang adaptif terhadap budaya Jawa. Selametan biasanya dihelat pada momen-momen penting dalam kehidupan manusia, seperti peristiwa kelahiran, pernikahan, kematian atau peristiwa penting lain seperti membangun rumah atau sekadar membayar janji (nazar).
Tradisi selametan ini bisa menjadi penangkal ideologi transnasional lantaran setidaknya karena dua hal. Pertama, Selametan memanifestasikan titik temu antara dimensi keagamaan dan kebudayaan. Selametan ialah bukti bahwa agama (Islam) tidaklah kaku dan anti-pada lokalitas. Sebaliknya, Islam justru sangat adaptif pada lokalitas, tanpa harus kehilangan spirit kesucian dan ketauhidannya. Spirit keselarasan antara agama dan budaya inilah yang tidak dimiliki oleh ideologi transnasioal.
Kedua, Selametan memiliki dimensi sosial dan kolektif yang kuat. Selametan mengajarkan pada kita bahwa manusia ialah makhluk sosial yang mustahil hidup soliter. Sejak dari persiapan hingga pelaksanaan, Selametan dilakukan dengan spirit gotong-royong dan kolektivisme yang natural. Sebaliknya, ideologi transnasional cenderung mendorong manusia untuk hidup soliter, menarik diri dari lingkungan sosial dan hanya bersosialisasi dengan golongannya sendiri.
Modal Sosial
Tradisi Selametan, dengan demikian bisa menjadi modal sosial-kultural untuk menangkal ideologi transnasional yang dicirikan dengan ekstremisme kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan oleh ideologi transnasional memang tidak selalu mewujud pada kekerasan fisik, namun juga kekerasan doktrinal, kekerasan budaya dan kekerasan sosiologis. Kekerasan doktrinal ialah pemaksaan atas penafsiran keagamaan yang dilakukan secara tekstual dan literal.
Kekerasan budaya ialah tindakan anti-kebudayaan lokal yang mewujud pada praktik pembid’ahan bahkan pelarangan aktivitas kebudayaann karena dipandang menyimpang dari agama. Ketiga, kekerasan sosiologis yakni tindakan anarkis dan destruktif pada individu atau masyarakat yang dianggap kafir, musyrik atau murtad.
Realitas di lapangan selama ini menunjukkan bahwa ekstremisme kekeradan dan praktik destruktif itu tidak seketika dilakukan dalam konteks penyerangan fisik. Melainkan dimulai dari praktik yang paling mendasar, yakni kekerasan doktrinal dan budaya. Hal ini mewujud pada upaya para pengusung ideologi transnasional dalam menghasut masyarakat agar meninggalkan kebudayaan aslinya.
Menghilangkan rasa memiliki dan cinta pada budaya sendiri merupakan bagian dari skenario mengamputasi identitas individu dan masyarakat. Jika itu tercapai, maka kampanye dan propaganda ideologi transnasional akan lebih mudah dilakukan. Di titik inilah, tradisi Selametan kiranya bisa menjadi modal sosial menangkal ideologi transnasional.
Djamaludin Ancok sebagamaimana dikutip Junaidi Abdul Munif menjelaskan bahwa modal sosial harus memiliki empat nilai pokok. Pertama, universalism dalam artian mengakui, mengapresiasi dan menoleransi keragaman. Kedua, benevolence yakni memelihara dan meningkatkan kesejahteraan orang lain. Ketiga, tradition dalam artian menghargai tradisi dan budaya lokal. Keempat, confimity yakni sikap menahan diri untuk merugikan orang lain.
Tradisi Selametan yang populer di kalangan muslim kiranya memenuhi keempat nilai pokok tersebut. Maka dari itu, Selametan kiranya bisa menjadi modal sosial-kultural untuk dijadikan sebagai semacam counter-culture dari ekspansi ideologi transnasional. Melestarikan tradisi Selametan sebagai bagian dari kearifan lokal penting untuk membentengi masyarakat dari pengaruh ideologi transnasional yang memecah-belah dan memiliki karakter destruktif.
This post was last modified on 31 Agustus 2021 4:46 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…