Narasi

Semangat Kontra-Radikalisasi dalam Proses “Memperempuan”

Mana yang benar: identitas seseorang sebagai perempuan atau laki-laki yang membentuk perilaku seseorang itu, atau sebaliknya, perilakunya yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan? Kedua pernyataan itu sekilas tampak hanya seperti permainan kata saja. Namun, perbedaan di antara keduanya membawa perbedaan yang signifikan dalam proses hidup seseorang dan sebuah bangsa. Artikel ini akan mendalami asumsi, logika, dan implikasi kedua pandangan tersebut dalam konteks keragaman dan dinamika kebangsaan Indonesia.

Pembedaan istilah “sex” dan “gender” dalam bahasa Inggris menandai perbedaan antara jenis kelamin secara biologis dan perilaku yang muncul berdasarkan perbedaan jenis kelamin itu. Kata kuncinya di sini adalah “berdasarkan”. Perilaku seseorang seakan didasarkan begitu saja pada jenis kelaminnya. Mengikuti logika ini, maka berdasarkan jenis kelamin anda yang antara laki-laki atau perempuan itu, maka seharusnya anda berlaku secara A, B, atau C.

Padahal, menurut Judith Butler, pemahaman itu belum lengkap. Sebelum diadakan ekspektasi perilaku yang tertentu terhadap jenis kelamin tertentu, sebenarnya perilaku seseorang tidak didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Hanya setelah terjadi pengulangan yang terus menerus dalam sebuah konteks kemasyarakatan barulah terbentuk pandangan bahwa perempuan itu seharusnya demikian dan laki-laki itu seharusnya demikian. Jadi, pandangan tentang jenis kelamin tertentu muncul dari pembiasaan, bukan sudah ada “dari sananya”.

Dampaknya, diskriminasi terjadi sebagaimana yang dihadapi oleh Kartini, yang pada masa kini dapat berujung pada radikalisasi terhadap perempuan. Tantangan yang dihadapi Kartini dalam menggapai pendidikan formal salah satunya muncul dari ekspektasi masyarakat yang didasarkan pada jenis kelaminnya sebagai perempuan. Dengan alasan karena “sudah dari sananya” atau “sudah biasa” bahwa perempuan itu tidak perlu mendapatkan pendidikan formal, maka Kartini dan para perempuan di masa sekarang masih ada yang disarankan untuk tidak perlu meraih pendidikan formal.

Logika yang sama digunakan dalam upaya radikalisasi terhadap perempuan. Narasi yang dipaksakan pada perempuan dalam upaya radikalisasi itu adalah bahwa seakan-akan perempuan “sudah dari sananya” memiliki tugas dan kewajiban tertentu yang kemudian diarahkan pada upaya radikalisasi. Akhirnya, muncullah istilah seperti “pengantin” yang disematkan pada perempuan di beberapa kasus bom bunuh diri, di mana seakan-akan dirinya sudah memiliki tugas tertentu. Padahal, pemaknaan itu merupakan bentuk manipulasi kelompok radikal terhadap perempuan yang menjadi korban itu. Perlu diingat bahwa pengalaman seseorang sebagai perempuan merupakan sebuah proses yang tidak dapat dilepaskan dari konteks diri dan masyarakat di mana ia tinggal.

Demikian, asumsi yang salah mewujud pada perlakuan yang salah juga terhadap masyarakat; baik kepada yang menyebut diri perempuan maupun laki-laki. Karena ketidakadilan itu berakar pada asumsi yang salah, maka perjuangan bagi hak pendidikan yang berkeadilan bagi semua orang itu memerlukan dasar asumsi yang benar dan berkeadilan juga. Pertanyaan tadi antara identitas yang membentuk perilaku atau perilaku yang membentuk identitas menjadi penting untuk dihayati dalam momen peringatan perjuangan Kartini demi pendidikan yang berkeadilan itu.

Asumsi bahwa identitas yang menentukan perilaku itu mengandaikan keberadaan identitas yang tetap dan sudah ada dari sananya, lengkap dengan seperangkat perilaku yang kemudian menjadi prasyarat statis. Dalam pandangan ini yang ada adalah kata benda “keperempuanan”, yaitu keperempuanan sebagai atribut yang ada secara inheren dalam setiap orang yang beridentitas perempuan. Lebih lagi, keperempuanan ini bersifat statis karena dia seakan menjadi pagar yang menentukan definisi perempuan itu. Sederhananya: (1) kamu disebut perempuan karena memiliki sifat dasar keperempuanan dan (2)  sifat dasar keperempuanan itu harus diwujudkan dengan baik agar kamu dinilai sebagai perempuan yang baik.

Sebaliknya, jika kita menyadari bahwa justru perilakulah yang membentuk keberadaan identitas perempuan, maka identitas itu selalu berubah mengikuti perilaku yang berkembang pada konteks tempat, waktu, dan sosial tertentu. Dalam pandangan ini yang ada bukan “keperempuanan” sebagai kata benda yang statis, akan tetapi “memperempuan” sebagai kata kerja yang aktif dan dinamis. Memperempuan itu aktif dan dinamis karena ada kesadaran bahwa identitas sebagai perempuan itu ada bukan sebagai identitas yang sudah ditentukan dan tidak bisa diubah lagi, akan tetapi sebagai identitas yang sedang bersama-sama dibentuk secara berkelanjutan.

Kartini meninggalkan logika keperempuanan yang dimaknai sebagai identitas statis karena ia memahami bahwa memperempuan adalah sebuah identitas dinamis yang di dalamnya ia turut andil dalam membentuk maknanya. Ia menyadari bahwa dirinya bukan sekadar pendengar pasif dari identitas perempuan yang didiktekan oleh orang lain kepada dirinya. Sebaliknya, ia sadar akan peran aktifnya dalam membentuk makna yang dibawa proses memperempuan itu. Ia memperempuan dengan memperjuangkan hak mendapatkan pendidikan formal. Ia memperempuan dengan menolak tunduk pada asumsi tentang keperempuanan yang berusaha disematkan pada dirinya.

Seperti yang telah disebut sebelumnya, perubahan ini menuntut perubahan asumsi yang signifikan. Tentu banyak orang yang masih terjebak pada pandangan lama, yang melihat keperempuanan itu secara statis sehingga menolak dinamika pemaknaan memperempuan yang selalu berubah seturut konteksnya itu. Pandangan seperti inilah yang mendukung proses radikalisasi di Indonesia, di mana pemaknaan statis berlabel “perempuan” digunakan untuk memanipulasi korbannya demi kepentingan radikalismenya mereka, sembari mengabaikan kemandirian seseorang untuk memaknai pengalamannya sendiri yang sedang berusaha memperempuan itu.

Konteks Indonesia yang beragam membuahkan proses memperempuan yang beragam juga. Bahkan, lebih dari keragaman konteks tempat saja, keragaman bangsa Indonesia juga mewujud dalam ragam konteks waktu. Kalau keperempuanan yang tunggal dan statis itu mau diterapkan pada konteks Indonesia yang beragam dan dinamis, maka pasti terjadi ketidakcocokan yang parah, yang dapat berbuah pada radikalisme itu tadi. Maka dari itu, mencontoh Kartini, bangsa Indonesia sesungguhnya perlu menyadari andilnya dalam memperempuan bersama dengan konteks keragaman dan dinamikanya.

Rezza Prasetyo Setiawan

Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago