Dalam struktur lembaga pesantren, posisi bu nyai terbilang unik. Ia adalah sosok multiperan yang tidak hanya mendampingi kiai (suami) sebagai pengelola pesantren, namun juga menjadi penanggung jawab logistik pesantren, guru bagi para santriwati, sekaligus juga menjadi ibu baik bagi anak-anaknya, santri-santrinya dan masyarakat pada umumnya.
Seperti kita tahu, pesantren merupakan lembaga pendidikan keislaman yang fokus pada pendalaman ilmu agama dan penanaman nilai karakter. Sistem pendidikan pesantren yang mengharuskan santri tinggal di asrama bersama kiai dan para pengasuh selama ini terbukti efektif melahirkan generasi yang tidak hanya cakap dalam ilmu agama, namun juga memiliki karakter yang kuat. Keberhasilan itu tentu tidak terlepas dari peran Bu Nyai yang terlibat langsung dalam mendidik santriwatinya.
Di titik ini, harus diakui bahwa pesantren menyumbang andil sangat besar pada corak keberislaman ala Nusantara yang dikenal toleran, inklusif, dan moderat. Pesantren memang kerap diidentikkan sebagai institusi pendidikan tradisional yang menjadikan teks keislaman klasik sebagai referensi utamanya. Namun, tradisionalisme dan tekstualisme ala pesantren ini tidak lantas mengesampingkan rasionalisme dan empirisme.
Terbukti, model pendidikan di pesantren pun tetap mengedepankan model diskusi atau dialog. Salah satunya mewujud ke dalam tradisi Bahtsul Masail, yakni forum yang mendiskusikan persoalan hukum (fiqih) di masyarakat. Forum Bahtsul Masail adalah bukti nyata bahwa pesantren tetap adaptif pada model pendidikan berbasis dialog.
Dengan segala karakteristiknya tersebut, tidak mengenakan jika pesantren, terutama yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama, mampu menjadi semacam benteng kuat di tengah arus deras fenomena radikalisme dan ekstremisme agama. Bahkan, pesantren berhasil membuktikan diri sebagai katalisator pendidikan Islam Washatiyah.
Bu Nyai sebagai salah satu eksponen penting dalam struktur pesantren memegang peranan penting dalam pendidikan Islam Washatiyah terutama di kalangan santri. Ada dua peran yang dijalankan Bu Nyai dalam hal ini. Pertama, peran sebagai educator, dalam artian Bu Nyai terjun langsung mendidik para santriwati tentang hakikat Islam Washatiyah. Di banyak pesantren, Bu Nyai tidak sekadar mengurusi hal domestik, seperti kebutuhan makan pada santri, namun juga mengajar santriwati berbagai bidang keilmuan.
Kedua, peran sebagai inspirator, yakni Bu Nyai sebagai contoh dari pengamalan prinsip-prinsip pendidikan Islam Washatiyah. Seperti kita tahu, banyak Bu Nyai yang kiprahnya tidak hanya di internal pesantren. Namun juga berkiprah di luar pesantren sebagai aktivis atau pegiat isu keagamaan dan kebangsaan. Hal ini akan menjadi inspirasi para santriwati untuk menyeledani kontribusi Bu Nyai dalam mewujudkan Islam Washatiyah.
Ketiga, peran sebagai fasilitator, dalam artian Bu Nyai sebagai pembimbing para santriwati dalam menerapkan prinsip pendidikan Islam Washatiyah baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren. Peran sebagai fasilitator ini bisa dijalankan Bu Nyai dengan mendorong para santriwati untuk aktif dalam isu-isu sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Peran sebagai katalisator pendidikan Islam washatiyah tentu bukan hal yang mudah. Maka dari itu, Bu Nyai dituntut memiliki beragam kompetensi. Antara lain memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Untuk memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, seseorang tentu membutuhkan kredibilitas dan kompetensi.
Dalam konteks ini, Bu Nyai dituntut memiliki kemampuan keilmuan di bidang agama serta memahami isu-isu sosial kontemporer. Selain itu, Bu Nyai juga harus memiliki keterampilan berkomunikasi yang mumpuni. Hal ini penting agar pesan-pesan tentang Islam Washatiyah bisa tersampaikan secara efektif ke santriwati.
Arkian, pendidikan Islam Washatiyah di kalangan perempuan sangatlah penting. Tersebab, perempuan tidak terkecuali para santriwati kelak akan menjadi istri dan ibu yang melahirkan generasi penerus bangsa. Kelak mereka akan berperan penting dalam parenting alias pengasuhan anak.
Santriwati yang berpandangan washatiyah alias moderat pastilah akan menanamkan prinsip moderasi beragama itu ke anak-anaknya kelak. Dengan begitu, nilai washatiyah Islam akan diwariskan turun-temurun.
Peran Bu Nyai pesantren sebagai katalisator pendidikan Islam Washatiyah terutama bagi perempuan. Sebagai negara multireliji, Indonesia dihadapkan pada tantangan tidak ringan. Jtsnya mengenai konflik sosial dan agama. Penanaman prinsip Islam Washatiyah melalui pendidikan agama seperti dilakukan pesantren adalah salah satu upaya menetralisasi potensi konflik tersebut.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…