Narasi

Si Buta Memperdebatkan Gajah

“Saya ingin bertanya. Kan Rasulullah Saw pernah bersabda: Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan La Ilaha Illa Allah. Apabila mereka mengucapkannya, maka mereka telah menghalangiku (untuk menumpahkan) darah dan (merampas) harta mereka, kecuali dengan haknya. Sedangkan (apabila mereka menyembunyikan kekafiran dan kemaksiatan), maka Allah-lah yang menghisab mereka. Bagaimana kita memahami Hadis ini dalam konteks toleransi sekarang ini?” tanya seorang peserta.

Dalam empat bulan terakhir (Juni-September) ini saja, setidaknya pertanyaan demikian telah terlontar dua kali ketika saya berkesempatan mengisi seminar tentang perdamaian dan antiradikalisme. Pertama, pada Seminar Nasional bertema Islam Yes Teror No: Upaya Meminimalisir Faham dan Isu Radikal, yang diselenggarakan oleh Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah Universitas Mathlaul Anwar (UNMA) Pandeglang di Aula Baitul Hamdi Menes Pandeglang, Jum’at, 17 Juni 2016.

Kedua, pada Seminar Nasional bertema Indonesia Berkeadaban: Merawat Indonesia Maju tanpa Radikalisme, yang diselenggarakan oleh aktivis muda yang tergabung dalam Youth Populi Institute Banten, di Koperasi Pedoman Pandeglang, Selasa, 27 September 2016.

Pertanyaan-pertanyaan terkait pemahaman atas Hadis, yang antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Sijistani dan Abu Isa al-Tirmidzi itu menunjukkan kegelisahan kritis anak muda muslim terkait doktrin naqli yang selama ini dipeganginya. Di satu pihak, mereka ingin menyuarakan perdamaian. Namun di pihak lain, Muhammad Saw diperintahkan untuk memerangi semua orang hingga berucap La Ilaha illa Allah. Sungguh dilematis, bayang mereka.

Sejatinya tidak ada yang dilematis dari Hadis di atas, karena setiap pernyataan Muhammad Saw senantiasa terlingkup oleh konteksnya sendiri-sendiri. Tidak serta merta tuturan beliau berlaku general dan mutlak. Bahkan ada sebagian yang menyatakan, Hadis itu telah di-nasakh/dihapus oleh Hadis-hadis lain tentang jizyah (pajak bagi non-muslim yang hidup damai di bawah perlindungan pemerintah Islam). Dengan penghapusan ini, maka hukumnya menjadi tidak berlaku lagi. Namun konsep abrogasi (nasakh-mansukh) itu sendiri juga diperselisihkan para ulama.

Andaipun hadis itu tidak dihapus dan berarti masih berlaku hingga kini, maka konteks pemahaman dan penerapannya penting diperhatikan. Itu berlaku dan semestinya diperhadapkan hanya pada orang-orang kafir yang memerangi Islam dan membahayakan kemanusiaan, sehingga sabda ini sifatnya defensive bukan offensive. Hadis ini terbatas pemberlakuannya, sesuai konteksnya. Dan memang demikian semestinya, li kulli maqal maqam (setiap ucapan ada situasinya).

Apalagi dalam praktik keseharian dan keteladanan Muhammad Saw, nyatanya tidak serta-merta beliau membunuhi siapapun yang tidak mengucap La Ilaha illa Allah. Pamannya, Abu Thalib, bukan pengucap La Ilaha illa Allah, toh ia tidak diperangi atau dibunuhnya. Mertuanya, Huyay bin Akhthab, seorang Yahudi tulen, juga tidak dibunuhnya. Muhkairiq, seorang Yahudi yang membelanya pada Perang Uhud dan gugur di sana, juga tidak dibunuhnya. Dan banyak lagi tetangga-tetangganya yang tidak berucap La Ilaha illa Allah, juga tidak diusiknya.

Bahkan banyak Hadis menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan atas mereka yang tidak berucap La Ilaha illa Allah. Dalam riwayat Imam Muslim, Muhammad Saw menegaskan; “Siapa menyakiti dzimmi, maka aku menjadi lawannya pada hari kiamat.” Dalam riwayat Imam al-Thabrani, Muhammad Saw juga menyebutkan: “Siapa menyakiti dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku. Dan siapa menyakitiku, maka sungguh ia menyakiti Allah.”

Dalam keterangan lain, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari, II/202), Muhammad Saw menyatakan: “Siapa membunuh mu’ahad, maka dia tidak akan mencium baunya surga. Dan sesungguhnya baunya surga bisa dicium dari jarak perjalanan 40 tahun.” Hadis-hadis yang menghargai pihak lain ini tentu saja sangat penting didampingkan dengan Hadis tentang perintah memerangi siapapun yang tidak berucap La Ilaha illa Allah, ketika kita hendak memahami Islam secara komprehensif dan holistik.

Kisah populer Si Buta Memperdebatkan Gajah, karenanya penting menjadi tamsilan dalam hal ini. Mohon maaf bagi penyandang tuna ini, karena menjadi tamsilan. Tentu jauh dari niat merendahkan apalagi menghinakan.

Dikisahkan (ini salah satu varian kisah saja dari kisah Si Buta dan Gajah ini), ada sebuah keluarga berpenghuni enam orang: lima di antaranya buta dan satunya bisu.

Kala tengah duduk-duduk santai, keenamnya dikagetkan oleh suara gajah yang menggetarkan. Lima orang buta itu menerka, niscaya itu suara binatang bertubuh besar. Karena tidak melihat bentuknya, kelimanya lalu mendatangi gajah itu. Tanpa mampu mengingatkan saudara-saudaranya, Si Bisu hanya bisa berdiri termangu tak berani mendekat karena melihat besarnya gajah itu.

Lima saudara buta itu ingin memastikan suara binatang yang didengarnya. Maka, kelimanya berupaya meraba untuk memahaminya. Ada yang memegang belalai, telinga, perut, kaki dan ekor. Mereka lalu mendefinisikan sesuai obyek yang ditangkapnya. Ujung cerita, mereka berdebat sengit perihal pemahamannya tentang gajah. Masing-masing mempertahankan kebenaran sesuai pemahamannya dan menyalahkan pihak lain.

Yang memegang belalainya, menganggap ia laksana paralon. Yang memegang telinga, menganggap ia laksana kipas. Dan begitu seterusnya, hingga perdebatan tiada menemukan titik kesamaan. Persepsi masing-masing yang parsial itu sangat dominan dalam pemahaman ini. Bahkan ketika ada orang normal menyatakan bahwa gajah tidaklah seperti yang mereka definisikan, mereka menganggap orang itu justru gila dan mengada-ada. Si Bisu sendiri tidak mampu menengahi pertengkaran. Setelah larut malam, perdebatan itu berakhir dan mereka tidur dengan mimpinya masing-masing. Mereka membawa kenangannya masing-masing tentang gajah.

Analogi orang buta ini tepat kiranya dihubungkan dengan sikap penganuut agama secara umum, yang acapkali pemahamannya parsial dan tidak menyeluruh. Juga seringkali tidak menerima pandangan lain yang berbeda, yang karenanya dianggap aneh dan mengada-ada. Parsialitas ini tergantung perspepsinya. Inilah yang seringkali menimbulkan riak-riak negative antar mereka yang berbeda.

Karena itu, terkait Hadis perintah memerangi siapapun yang tidak berucap La Ilaha illa Allah, semestinya kita tidak hanya melihat Hadis itu secara parsial seperti Si Buta memahami gajah, melainkan perlu juga menilik doktrin lain yang tersebar dalam al-Qur’an, Hadis dan perilaku ulama-ulama yang saleh. Tujuannya supaya tercipta pemahaman Islam yang holistik, yang benar-benar mengedepankan sisi rahmah li al-‘alamin. Pemahaman seperti ini, kendati dianggap aneh dan janggal, sesungguhnya yang kita butuhkan saat ini.

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago