Terminologi Al Jamaah telah menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama dan umat Islam pada umumnya. Ada banyak tafsiran tentang siapa yang disebut Jama’ah. Semua itu bermula dari hadist populer yang menyebut bahwa umat Nabi Muhammad akan terpecah ke dalam 73 golongan, dan hanya 1 golongan yang akan masuk surga, yakni Al Jamaah. Penafsiran tentang siapa yang dimaksud Al Jamaah dalam hadist ini telah menimbulkan debat panjang dalam dunia Islam.
Beberapa ulama berbeda pendapat tentang tafsiran Al Jamaah dalam hadist tersebut. Ada yang menafsikan Al Jamaah sebagai kumpulan orang banyak. Jadi, umat Islam yang akan masuk surga yang jumlahnya paling banyak. Maka, kita tinggal mengikuti saja golongan Islam yang jumlahnya paling banyak.
Namun, ulama lain menyebutkan bahwa yang dimaksud Al Jamaah adalah golongan yang mengikuti perilaku keagamaan Rasulullah dan para salafussalih dan sahabat. Mereka itulah yang disebut Ahlussunnah wal Jamaah. Pendapat ini mungkin yang paling mainstream dalam khazanah pemikiran Islam. Dan, sebenarnya multitafsir atas sebuah hadist itu hal yang biasa.
Sayangnya kemudian, muncul tafsiran yang cenderung arogan dan terkesan memaksakan kehendak. Yaknii tafsiran yang menyebut bahwa kata Al Jamaah dalam hadist itu merujuk pada kelompoknya sendiri. Kelompok di luar mereka diklaim bukan bagian dari Al Jamaah yang artinya keluar dari golongan yang masuk surga.
Polemik Penafsiran Al Jamaah
Saya pernah menonton kajian dimana ustadnya mengklaim kelompok pengajiannya sebagai al jamaah. Di saat yang sama, ia menuding kelompok lain sebagai ahli bid’ah. Di video kajian yang lain, seorang ustad dengan yakin mengkliam bahwa yang dimaksud al jamaah adalah umat Islam yang tinggal atau setidaknya mendukung rezim daulah dan khilafah Islamiyah.
Dari sekian banyak tafsiran itu, rasa-rasanya tidak ada yang relevan dengan kondisi sosial dan politik umat Islam hari ini. Jika yang dianggap al jamaah itu hanya muslim yang tinggal di bawah rezim daulah atau khilafah, lantas umat Islam yang tinggal di negara bangsa modern itu disebut apa?
Disinilah pentingnya kita menafsir ulang makna al jamaah dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa sebagian besar muslim hari ini tinggal di negara bangsa modern yang menganut konstitusi non-keagamaan. Kondisi sebagian besar umat Islam di era modern ini sudah jauh berbeda dengan kondisi umat Islam di zaman kekhalifahan, para sahabat, apalagi era Rasulullah.
Di masa lalu, makna al jamaah mungkin bisa merujuk pada komunitas spesifik, yakni sekumpulan umat Islam yang menjalankan Sunnah secara total dan mengikuti ajaran para salafussalih dan sahabat secara kaffah. Di masa lalu, tafsiran al jamaah sebagai komunitas yang hidup dalam naungan daulah atau khilafah mungkin juga masih relevan. Namun, di era modern seperti sekarang, orientasi tafsir itu patut diubah.
Rekontekstualisasi Konsep Al Jamaah
Dalam konteks ini, menarik untuk mengutip hasil forum Halaqah Fiqih Peradaban pada tahun 2023 yang bertepatan dengan momen satu abad Nahdlatul Ulama. Dalam forum itu dibahas tentang fiqih siyasah, negara-bangsa, isu-isu kontemporer, termasuk polemik khilafah. Dalam forum itu disepakati bahwa tujuan fiqih siyasah Islam hari ini idealnya digeser orientasinya. Yakni bukan semata berorientasi mendirikan daulah apalagi khilafah islamiyyah. Melainkan berorientasi pada kemaslahatan umat.
Rumusan pemikiran ini menarik. Meski tidak secara spesifik menyinggung isu polemik penafsiran al jamaah, namun pernyataan itu sebenarnya secara implisit sebenarnya juga bisa dikaitkan dengan polemik soal penafsiran al jamaah. Pergeseran orientasi fiqih siyasah dari yang awalnya mendirikan daulah atau khilafah islamiyyah menjadi mewujudkan kemasalahatan umat itu memiliki konsekuensi yang luas.
Salah satunya juga dalam pemaknaan al jamaah. Di masa lalu, al jamaah mungkin memang semata merujuk pada komunitas Islam yang hidup di bawah sistem khilafah atau daulah dan menjalankan sunnah secara kaffah. Di era sekarang, tafsiran itu kiranya sudah tidak relevan dan tentu harus diperluas maknanya.
Jika merujuk pada rumusan Forum Halaqah Fiqih Peradaban NU, maka al jamaah di era sekarang kiranya bisa merujuk pada komunitas sipil yang patuh pada hukum negara, taat pada norma etika-sosial, dan menjadi bagian dari warga global yang menjunjung perdamaian dan kesetaraan hak asasi manusia.
Tafsiran al jamaah yang seperti itu lebih relevan dengan situasi sosial-politik hari ini yang multireliji dan multikultural. Ihwal siapa yang akan masuk surga atau tidak, itu tentu murni hak prerogratif Allah. Tafsiran yang seperti itu juga niscaya akan menghapus klaim sepihak yang meyakini bahwa kelompoknya merupakan bagian dari al jamaah, sedangkan kelompok lain tidak.
Di era negara bangsa modern, tafsiran al jamaah yang lebih luas dan inklusif, kiranya lebih relevan. Tafsir al jamaah yang cenderung eksklusif cenderung hanya memecah-belah umat. Semua kelompok mengklaim diri sebagai al jamaah, sembari mengeksklusi kelompok lain sebagai ahli bid’ah. Nalar yang demikian itu sepatutnya kita tinggalkan.
Sepekan terakhir, media massa internasional dan nasional memberitakan tentang bencana kebakaran yang melanda Los Angeles.…
Salam Damai, Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Edisi Perdana e-Journal…
Mata saya terbelalak ketika tengah menggulir lini masa media sosial Instagram. Di laman explore saya…
Ahlu Sunnah wal Jamaah (Aswaja) adalah istilah yang merujuk pada kelompok mayoritas umat Islam yang…
Ketika berbicara keutamaan bulan Rajab, kita tidak sedang berbicara tentang cara baru penghormatan bulan yang…
Masih ingat Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) yang sempat dipimpin oleh Ja’far Umar…