Nasionalisme melahirkan adanya rasa memiliki karena merasa sebagai sebuah bagian dari suatu bangsa. Rasa memiliki ini mampu memperkokoh persatuan di dalam suatu negara. Nasionalisme juga berdampak besar terhadap perkembangan kesenian, olahraga, literatur, bahasa, dan aspek-aspek lainnya dalam sebuah lanskap kebudayaan.
Aspek-aspek tersebut merupakan cerminan dari identitas yang dimiliki oleh suatu bangsa berkat kesadaran warganya untuk mengembangkan identitas yang dia miliki. Nasionalisme mendorong warganya untuk merawat identitas Nusantara sebagai manifestasi dari rasa nasionalisme itu.
Namun, apakah wajar jika seseorang memiliki rasa nasionalisme yang berlebihan?
Sebelum masuk dalam diskursus, baiknya kita mengenal dulu sejarah nasionalisme dan bagaimana cara mainnya. Nasionalisme muncul pertama kalinya di Eropa pada abad ke- 18. Lahirnya paham ini berkelindan dengan terbentuknya negara-negara bangsa (nation-states).
Awal terbentuknya negara bangsa dilatarbelakangi oleh faktor-faktor seperti persamaan keturunan, bahasa, adat-istiadat, tradisi, dan agama. Negara bangsa yang dibentuk atas dasar paham nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam teritori tertentu dan memiliki hasrat serta kemampuan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan tujuan.
Di Indonesia, nasionalisme lahir dari adanya kesadaran terhadap situasi ketertindasan yang melahirkan keinginan untuk bebas dan merdeka. Kesadaran ini, salah satunya, melahirkan Boedi Oetomo, pergerakan organisasi modern yang mempunyai cita-cita membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme.
Nasionalisme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara ini. Selanjutnya istilah “Indonesia” dipandang sebagai identitas nasional dan simbol perjuangan bangsa dalam menentang penjajahan.
Sampai sini, nasionalisme memiliki citra yang positif. Nasionalisme melahirkan konsepsi tentang keadilan, anti-kolonialisme, kesetaraan, dan semangat memerangi imperialisme.
Excessive Nationalism dan Chauvinisme
Bagaimana jika seseorang memiliki rasa nasionalisme yang berlebihan. Apa dampaknya kepada negara dan diri sendiri jika saya, misalnya, memiliki jiwa nasionalis yang melampaui batas.
Sebenarnya, pertanyaan boleh tidaknya “melampaui batas” sangatlah klise. Kita semua tahu bahwa segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Dalil teks dan akal sudah mengonfirmasi hal itu secara konkret. Namun, pembicaraan tentang hal ini tetap perlu diselenggarakan untuk mengukur potensi kerusakan atau damage dari sebuah paham yang salah.
Dalam konteks nasionalisme yang berlebihan (excessive nationalism), dampak yang berpotensi muncul adalah lahirnya xenophobia dan chauvinisme. Xenophobia adalah kecenderungan seseorang atau suatu pihak untuk membenci kebudayaan bangsa lain. Sedangkan chauvinisme adalah paham yang mengagungkan bangsa atau negaranya sendiri dan memandang rendah bangsa atau negara lainnya.
Xenophobia paling dekat yang bisa diidentifikasi adalah ketika China “diboikot” oleh beberapa negara di dunia karena dituduh menyebarkan wabah Covid-19. Tagar #ChineseDon’tComeToJapan yang viral di Jepang pernah trending di Twitter di awal-awal pandemi tahun 2020-an.
Karena Covid-19 juga, surat kabar Prancis, Le Courrier Picard, menampilkan seorang wanita Asia mengenakan masker di halaman depannya pada hari Minggu 26 Januari 2020 dengan tajuk “Siaga Kuning”. Dua kasus tersebut menampilkan gejala xenophobia terhadap bangsa Asia, terutama Cina.
Beberapa warga Indonesia juga pernah menjadi korban gejala xenophobia di Amerika Serikat. Pada Maret 2021 lalu, dua remaja WNI mendapat serangan di stasiun kereta di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Seperti yang dilansir oleh Detik, Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk Amerika mengatakan bahwa serangan itu disinyalir merupakan salah satu gejala kebencian terhadap satu etnis tertentu yang melekat pada remaja di Amerika.
Chauvinisme tak jauh berbeda. Paham ini sangat berpeluang melahirkan diskriminasi etnis. Meski tak jauh beda, kedua paham ekstrem itu berangkat dari dua motif yang berbeda. Xenophobia dilatarbelakangi kebencian atau ketakutan terhadap bangsa lain, sedangkan chauvinisme berangkat dari glorifikasi yang berlebihan terhadap bangsa sendiri dengan menganggap bangsa yang lain lemah. Chauvinisme bisa diidentifikasi melalui tiga hal; adanya fanatisme, dimobilisasi oleh pemimpin yang diktator, dan sikap memandang rendah terhadap bangsa lain.
Ketiga ciri itu bisa ditemukan dalam tragedi pembantaian Yahudi oleh Nazi, Adolf Hitler sebagai pemimpin diktator, massa yang fanatik, dan doktrin yang mengunggulkan ras Arya sembari merendahkan ras-ras lainnya. Implementasi paham chauvinisme versi Hitler melahirkan perilaku semena-mena terhadap kaum Yahudi, anak-anak cacat dan orang kembar. Adolf Hitler dengan bangga mengatakan bangsa Jerman merupakan ras utama atau ras unggul.
Chauvinisme pernah juga terjadi di Italia saat rezim Bennito Mussolini berkuasa. Mussolini adalah seorang diktator fasis yang menganggap bahwa negara lain adalah peniru dan tidak kreatif. Ideologi fasisme selalu membayangkan adanya musuh sehingga pemimpin dan militer harus tangguh agar dapat menjaga pertahanan serta keamanan negara.
Di Jepang, gejala serupa juga muncul di era kekuasaan Kaisar Hirohito. Sejarah penjajahan Jepang terhadap bangsa lain, salah satunya didasari atas paham chauvinisme. Propaganda politik yang mereka gunakan pada masa itu berusaha untuk menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang cemerlang.
Xenophobia dan chauvinisme mungkin tak pernah terbayangkan menjangkiti penduduk Indonesia. Namun, hal itu bukan berarti keduanya tidak bisa terjadi. Rasa nasionalisme yang berlebihan merupakan trigger utama dari lahirnya kedua paham nasionalisme ekstrem tersebut.
Pancasila sebagai Titik Temu
Di era globalisasi ini, tantangan ideologis yang dihadapi Indonesia semakin kompleks, namun Pancasila tetap relevan. Pancasila mengajarkan bahwa keseimbangan adalah kunci: keseimbangan antara keadilan sosial dan kebebasan ekonomi, antara hak individu dan tanggung jawab kolektif, serta antara agama dan negara. Di tengah tarik-menarik dua ideologi ekstrem, Pancasila hadir sebagai jangkar yang menjaga Indonesia tetap berada di jalur tengah, dalam harmoni dan kesatuan.
Pancasila meniscayakan seorang warga negara memiliki jiwa nasionalisme dengan melihat segala segala realitas bangsa Indonesia melalui dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Ia menilai bahwa kebangsaan memang suatu hal yang sangat penting. Namun jiwa nasionalisme seseorang bukanlah segalanya, apalagi jika tidak disertai oleh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Kesadaran itu pantas untuk direnungi bersama untuk mengantisipasi segala potensi negatif dari nasionalisme yang berlebihan. Konsep moderasi yang sudah populis di Indonesia itu seharusnya bukan hanya diterapkan dalam aspek keagamaan saja, melainkan juga dalam hal jiwa nasionalisme. Nasionalisme tidak akan melahirkan perang. Sebaliknya, nasionalisme melahirkan kemanusiaan, kesejahteraan, dan kepatuhan kepada Yang Maha Kuasa. Artinya, seorang nasionalis adalah seorang yang relijius dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…