Narasi

SKB 3 Menteri dan Toleransi Konstitusional

Pada tahun 2017, di salah satu sekolah umum negeri di Jogjakarta, dan juga di salah satu sekolah umum negeri di Genteng, Banyuwangi, terdapat kewajiban untuk memakai jilbab bagi para muridnya. Dua kasus itu pun, seingat saya, langsung viral dan mendapat penyikapan dari gubernur dan bupati saat itu. Meskipun pada kasus di Jogja penyikapannya tak setegas di Banyuwangi, kedua kasus itu menyingkapkan sesuatu yang sedang berjalan dalam diam dan sudah berlangsung sejak lama: radikalisasi paham keagamaan pada siswa sekolah (Perda Intoleransi, Perda Radikalisme, dan Nasib RUU Antiterorisme, Heru Harjo Hutomo, https://www.gusdurian.net).

Kini, di tahun 2021, pemerintah seolah tak mau kecolongan lagi tentang radikalisme keagamaan yang sejak 2017 nyata menyasak kalangan institusional, baik birokrasi maupun pendidikan di Indonesia (Gelagat: Antara Pancasila dan Kerangka Pikir Para Aparatur Negara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Tiga kementerian baru-baru ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait dengan kebijakan untuk tak mewajibkan pemakaian seragam sekolah bernuansa agama di sekolah negeri umum di Indonesia, mulai dari tingkat SD hingga SLTA. Dua di antara tiga menteri di balik SKB itu sejak sejak lama memang concern dengan isu radikalisme dan terorisme dimana salah satunya adalah disahkannya UU Antiterorisme yang pada tahun 2017 sempat menjadi polemik. Maka dari itu, tak mengejutkan seandainya dua di antara tiga menteri itu mengeluarkan SKB terkait dengan isu radikalisme keagamaan dan toleransi pada perbedaan.

SKB ini saya kira penting untuk dikeluarkan. Sebab, sikap toleran pada perbedaan tanpa dibarengi oleh komitmen dan upaya pemerintah terhadap kebhinekaan hanya akan menghasilkan perdebatan yang tak produktif, apalagi di masa ketika populisme kanan tampak masih menyesaki ruang publik. Pada tataran kontranarasi radikalisme, meskipun banyak aktivis yang berkecimpung di dalamnya, penyebaran radikalisme dan ekspresi-ekspresi intoleran terjadi secara sistematis dan massif hingga menyentuh wilayah pedesaan dan khalayak yang jauh—atau sengaja dijauhkan—dari sumber informasi (Hikayat Kebohongan II, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Keberpihakan pemerintah, dalam konteks radikalisme di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini, adalah sebuah keniscayaan. Jangan sampai hujan sudah bertaburan kita baru sibuk mengurusi payungnya karena memandang remeh hujan itu yang berpotensi menjelma bah (Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Akhir 2016 hingga menjelang pilpres 2019, hujan itu sudah menjelma bah dan saya kira di sinilah pelajaran berharga yang dapat kita tuai: keterlibatan dan ketegasan pemerintah terkait dengan elemen-elemen masyarakat yang berpotensi mengoyak keberagaman ternyata sangatlah ampuh. Dalam hal ini, negara benar-benar hadir sebagai sesosok yang tak sekedar memfasilitasi terjadinya nalar publik dimana elemen-elemen masyarakat berebut pengaruh di ruang publik. Tapi ia ikut pula bermain sebagai penjaga aturan main dan bahkan kini nyata memberi keberpihakan pada segala hal yang tak menciderai Pancasila dan UUD 1945. Dan di sinilah, saya kira, kita mesti merumuskan ulang konsep civil society yang selama ini selalu dimaknai bahwa masyarakat harus berhadapan dengan pemerintah (Nalar Publik, Pandemi Corona, dan Kehidupan Masyarakat Sipil, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Pemerintah memang tak selamanya benar, tapi ia pun tak selamanya salah. Mengingat hal ini, maka keberpihakan pemerintah pada nalar publik tertentu yang di gelontorkan oleh sebagian masyarakat bukanlah suatu hal yang menciderai konsep nalar publik dan civil society mengingat konsep nalar publik pun menghendaki adanya aturan main yang mesti sama-sama ditaati: Pancasila dan UUD 1945. Ibaratkan pertandingan tinju, seandainya salah satu peserta pertandingan terkena testisnya oleh sebuah tonjokan, maka wasit berhak untuk menghentikan pertandingan ataupun menganulir kemenangan (“Masturbasi Antiklimaks” FPI, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id). Dengan demikian, ketika pemerintah begitu bersiteguh pada tegaknya Pancasila dan konstitusi, maka toleransi tak lagi sekedar sikap yang berkaitan dengan rasa yang tentu saja tak ada ukurannya yang pasti. Tapi, ia sudah menjadi sebuah hukum yang memiliki ukuran yang pasti, siapa yang melanggar akan menuai sanksi. Kita tak lagi hidup di zaman Abdurrahman Wahid, tanpa mengurangi rasa hormat, yang lebih menitikberatkan pada aspek kultural daripada struktural terkait dengan visi dan misinya tentang Indonesia yang toleran, majemuk, dan konstitusional.

This post was last modified on 8 Februari 2021 3:11 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago