Categories: Narasi

Solidaritas Tanpa Batas, Cerdas, Dan Tidak Beringas

Kemanusiaan tidak mengenal suku, agama, ras, dan budaya. Hanya cukup menjadi manusia untuk selalu memunculkan rasa empati dari lubuk hati terhadap segala situasi kekurangan, ketidakadilan, musibah dan tragedi lainnya dari orang lain. Fakta manusiawinya bahwa empati kemanusiaan kadang tergradasi berdasarkan solidaritas yang tersekat, baik suku, agama, negara, organisasi dan entitas lainnya.

Tidak ada yang salah dengan solidaritas yang terbangun berdasarkan kesamaan identitas. Namun tentunya solidaritas demikian tidak boleh menjadi prasyarat tegas. Apalagi dilakukan generalisasi dan penarikan masalah lintas wilayah yang kontra produktif. Untuk itu solidaritas atas masalah kemanusiaan sudah sepatutnya terbangun tanpa batas, dilakukan secara cerdas, dan tidak diluapkan secara emosional yang beringas.

Esensi

Esensi solidaritas adalah empati. Tidak semata sebagai aktualisasi korsa identitas. Sehingga solidaritas mestinya dibangun tanpa batas. Al-Qur’an menyatakan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (Ali ‘Imran: 110).

Untuk itu dalam Islam dikenal konsep ukhuwwah basyariah atau persaudaraan sesama manusia. Tujuan utama adalah untuk saling bekerjasama dan saling tolong menolong untuk berbuat kebajikan dan kebenaran dan bukan untuk bermusuhan atau melakukan perbuatan mungkar. Solidaritas kemanusiaan merupakan bagian dari upaya saling tolong menolong.

Baca Juga : Menolak Solidaritas Balas Dendam

Persaudaraan merupakan strategi yang bersifat universal untuk menciptakan kemakmuran, keadilan dan kedamaian bagi manusia di alam semesta. Persaudaraan adalah ikatan psikologis, ikatan spiritual, ikatan kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang amat dalam di dalam hati nurani setiap orang, melekat dan terintegrasi menjadi satu kesatuan dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Ciri-ciri kehidupan bermasyarakat dan pada abad 21 ini adalah kehidupan tanpa batas, saling pengaruh mempengaruhi secara global (Gaffar, 2020).

Solidaritas dapat dibangun atas 3 hubungan, yakni hubungan darah, hubungan persahabatan atau klien dan persamaan nasib, serta otoritas pemimpin. (Sulasman dan Rusmana, 2013). Konsep solidaritas sosial juga telah disajikan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Misalnya pada bab ketiga, pasal ke-5 menyatakan bahwa dakwah memberikan pada suatu dinasti, pada permulaannya, suatu kekuatan yang menambah kuatnya solidaritas sosial yang ada padanya sebagai hasil dari jumlah pendukungnya. Selanjutnya pada pasal ke-6 tentang gerakan keagamaan tanpa solidaritas sosial tidak akan berhasil.

Konstruksi

Solidaritas kemanusiaan tidak mengenal syarat sebagai penyebab atau pemicunya. Namun membutuhkan syarat dalam aktualisasinya. Pertama, solidaritas kemanusiaan mestinya tanpa batas. Batas apapun itu, baik geografis, etnis, agama, dan lainnya. Musibah, bencana, penindasan, kelaparan, dan sengkarut masalah manusia lannya cukup menjadi alasan untuk menggugah solidaritas kita. Membantu mereka yang membutuhkan tentu tidak harus melihat dulu identitasnya. Meskipun manusiawi jika memiliki kesamaan identitas solidaritas akan cepat dan lebih kuat rasanya.

Kedua, solidaritas mesti diaktualisasikan secara cerdas. Kondisi darurat yang membutuhkan bantuan mesti diutamakan dengan skala prioritas. Setelahnya penting dipahami dinamika dan dikaji akar permasalahannya. Harapannya bentuk solidaritas berikutnya baik berupa bantuan material maupun non material akan tepat sasaran dan tidak justru menambah atau memperkeruh permasalahan. Kondisi dilematis biasanya muncul jika akarnya adalah konflik. Sedapat mungkin solidaritas mampu membangun mitigasi konflik dan tidak larut dalam konflik.

Upaya solidaritas dapat dilakukan misalnya dengan diplomasi, mempertemukan lintas stakeholder dan lainnya. Bahkan jika sudah tidak ada opsi lain dan hasil kajian menunjukkan adanya pelanggaran dapat menempuh jalur hukum.

Ketiga, solidaritas dilakukan secara damai. Tujuan solidaritas adalah membantu agar tercipta kedamaian dan kesejahteraan. Sehingga lakunya harus juga dengan laku damai. Aksi yang meluapkan emosi untuk mengecam tindakan penindasan mesti tetap dilakukan dalam koridor konstitusional dan peraturan internasional. Generalisasi mesti dihindari, misal dengan menarik pusara konflik wilayah lain ke daerahnya. Dinamika kemanusiaan adalah inti dari peradaban. Perbedaan identitas dan sekat justru harus disikapi dengan kebutuhan solidaritas yang kuat. Solidaritas kemanusiaan yang optimal sebagaimana di atas menjadi kunci terwujudnya peradaban dunia yang damai, adil, dan sejahtera.

This post was last modified on 12 Maret 2020 1:16 PM

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

7 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

7 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

7 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

7 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago