Categories: Narasi

Menolak Solidaritas Balas Dendam

Setiap kali ada kaum muslim yang tertindas di negara lain, segera seruan untuk melakukan aksi bela dilakukan. Bela muslim Uyghur, Bela muslim Palestina, bela muslim New Zeeland, dan yang sekarang menggema, bela muslim India.

Solidaritas keagamaan tentu tidak ada yang salah. Itu adalah bentuk dari rasa persaudaraan. Tetapi melakukan itu dengan cara-cara kekerasan, caci-maki, provokasi, bahkan menyeset-kafirkan pihak yang tidak ikut aksi adalah salah besar.

Solidaritas itu adalah bagian dari kesadaran kemanusiaan. Bahwa siapapun orang –tanpa melihat agama dan latar belakangnya –maka ia harus dibela. Bukan hanya ketika yang jadi korban sama dengan agama kita, baru aksi bela itu dilakukan. Tentu ini salah kaprah.

Aksi-aksi atas nama solidaritas kemanusiaan tetapi diisi dengan cara-cara balas dendam. Melakukan cara-cara seperti yang dilakukan kita orang didemo, itu artinya kita sama dengan mereka. Mencaci orang yang mencaci kita, dua-duanya tidak ada baiknya.

Atas Nama Balas Dendam

Dalam aksi solidaritas keagamaan yang terjadi di Indonesia yang sering terjadi justru solidaritas balas dendam. Masih ingat teriakan dan pekikan semangat teror dan aksi-aksi bela itu yang penuh dengan kata-kata kotor, caci maki, dan hardikan.

Baca Juga : Solidaritas Kemanusiaan yang Keblablasan

Imam Samudera bangga ketika melakukan bom Bali pada tahun 2002 silam. Tidak ada rasa sesal, tetapi baginya kejadian itu belum seberapa jika dibandingkan derita yang dialami oleh masyarakat muslim, khususnya di Palestina. Samudra melakukannya atas nama solidaritas balas dendam.

Pun, demikian dengan Bom yang meledak di depan kediaman Duta Besar (Dubes) Filipina. Peristiwa ini juga menelan banyak korban mereka yang tidak berdosa. Dalam persidangan pada tahun 2003 pelaku melakukan itu sebagai bentuk balas dendam dan solidaritas atas penindasan pemerintah Filipina terhadap umat Islam di Moro.

Di tengah gencarnya penindasan yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, tahun 2013 di Indonesia sebuah bom meledak di Wihara Ekayana, Kebon Jeruk Jakarta Barat. Dalam peristiwa teror itu, ada pesan tertulis : “Kami Menjawab Jeritan Rohingya”.

Tidak hanya itu, rentetan bom dan kekerasan teror yang menyasar gereja-gereja di Indonesia banyak diekspresikan sebagai bentuk balas dendam dan solidaritas terhadap korban konflik di Ambon dan Poso. Gereja di manapun kemudian menjadi obyek sasaran balas dendam.

Masih banyak kasus menunjukkan demikian, bahwa solidaritas yang mereka gembar-gemborkan adalah solidaritas semu. Yang isinya tidak lain adalah balas dendam. Ingin memerangi mereka sebagaimana mereka memerangi kami.

Pertanyaannya harus dengan cara ini cara membantu dan mengekspresikan solidaritas? Apakah balas dendam di dalam negeri terhadap mereka yang tidak bersalah pun harus menjadi medan perjuangan untuk membantu penderitaan di luar negeri?

Ini penting untuk dikemukan karena dinamika di luar negeri yang menggambarkan penindasan dan konflik antar umat seringkali berimbas situasi di dalam negeri. Kasus-kasus itu tanpa diprediksi dan muncul secara tiba-tiba.

Setelah muslim Uighur kita di dalam negeri dihadirkan dengan konflik berdarah di India yang melibatkan umat Hindu dan Muslim. Konflik itu pun telah mendorong aksi solidaritas muslim India di berbagai daerah.

Seruan aksi solidaritas muslim India bermunculan dengan membawa beragam isu ke ruang publik. Mereka berdatangan untuk membela saudaranya. Namun, ada juga teriakan untuk membalas dendam kekerasan dengan kekerasan yang sama di dalam negeri.

Jangan sampai kita menjadi umat yang mudah tersulut dengan beragam kejadian. Melakukan solidaritas untuk saudara sesama iman tentu bagian kewajiban karena satu ikatan persaudaraan. Namun, apakah solidaritas berarti mengabsahkan kekerasan serupa dan ancaman kepada mereka yang juga tidak bersalah?

Salah Kaprah

Cara-cara di atas adalah cara-cara yang salah. Solidaritas bukan aksi balas dendam melainkan aksi simpati dan empati, sekaligus ikut menyadarkan kepada khalayak bahwa diskriminasi, sub-ordinasi, intoleransi sangat berbahaya dalam kehiduapan.

Solidaritas tidak dilakukan dilakukan dengan cara sebagaimana pelaku teror melakukan perjuangan mereka. Kekerasan di India bukan berarti pengabsahan untuk melakukan kekerasan di dalam negeri.

Bagitu juga, kekerasan dan konflik di India bukan sebuah sarana absah untuk mengancam keamanan dan melakukan balas dendam sweeping di dalam negeri. Ini kesalahan besar.

Yang perlu kita lakukan adalah mengambil pelajaran berharga dari kasus-kasus di luar negeri itu sembari berusaha untuk tidak melakukan hal yang sama terhadap kelompok/agama lain di Indonesia.

Solidaritas sesungguhnya adalah untuk meredam konflik dan kekerasan yang ada, bukan untuk menebar ancaman baru kepada sesama anak bangsa. Solidaritas adalah aksi peduli terhadap kemanusiaan, bukan ikut barpartisipasi melebarkan luka dengan cara melakukan hal yang sama kepada agama/kelompok yang sama di dalam negeri.

Jika itu masih dilakukan, kita tidak ada bedanya dengan masyarakat jahiliyah yang lebih mengutamakan solidaritas kesukuan ketimbang solidaritas kemanusiaan. Apa pun yang dilakukan oleh suku saya adalah benar. Dan, saya wajib berjuang untuk ikut balas dendam. Kita perlu kembali kepada solidaritas kemanusiaan. Bahwa semua manusia adalah setara, sama-sama harus dijunjung tinggi harkat dan martabatnya. Darah, keluarga, dan hartanya adalah haram.

This post was last modified on 11 Maret 2020 3:17 PM

Nursaulina

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago