Rasa-rasanya baru kemarin kita merayakan Idul Fitri, namun kini Idul Adha sudah kembali menjelang. Pandemi yang dipenuhi berita duka memang seolah membuat waktu bergegas tanpa meninggalkan makna. Namun, bagaimana pun juga sebagai manusia kita wajib mensyukuri setiap detik usia yang dikaruniakan Allah dan memanfaatkan sebaik-baiknya.
Idul Adha kali ini datang bersamaan dengan gelombang kedua pandemi yang lebih dahsyat ketimbang gelombang pertama. Merebaknya varian virus Corona Delta hasil mutasi dari India yang lebih cepat menyebar dan lebih ganas membuat pandemi kian memburuk. Rumah sakit di sejumlah daerah mengalami kelebihan kapasitas. Sebagian pasien Covid-19 pun terpaksa harus menjalani isolasi mandiri di tengah keterbatasan obat-obatan dan oksigen. Hal itu tidak pelak menyebabkan angka kematian akibat Covid-19 melonjak tajam.
Ironisnya, di saat yang sama masih banyak masyarakat yang menganggap sepele. Ada masyarakat yang tidak percaya pada virus Corona dan menganggap pandemi tidak lebih dari rekayasa pemerintah, tenaga kesehatan dan media massa. Konsekuensinya, banyak masyarakat abai protokol kesehatan dan selalu menentang kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi. Harus diakui bahwa berkembangnya hoaks dan misinformasi seputar pandemi menyumbang andil besar pada munculnya sikap skeptis dan apatis di tengah masyarakat.
Di sisi lain, pandemi juga dimanfaatkan kelompok radikal dan oposisi destruktif untuk mendeskreditkan pemerintah. Krisis multidimensi akibat pandemi dimanfaatkan kaum radikal dan oposisi destruktif untuk melemparkan fitnah, adu-domba dan provokasi dengan maksud mendelegitimasi pemerintah. Berbagai narasi menyesatkan mulai dari tudingan “negara gagal” sampai ajakan untuk mengganti pemerintahan yang sah muncul ke permukaan. Semua itu tidak menawarkan solusi, alih-alih menambah beban pemerintah dan masyarakat.
Menyembelih Egoisme
Perayaan Idul Adha di tengah puncak pandemi ini idealnya menjadi momentum untuk menyembelih segala bentuk egoisme yang menyelubungi nurani kita dan menumbuhkan spirit humanisme. Ibadah kurban kiranya bisa menerbitkan inspirasi di hati setiap muslim bahwa kemanusiaan ialah hal terpenting yang harus kita selamatkan dan perjuangkan di masa sekarang ini.
Ritual kurban ialah ibadah simbolik yang sarat nilai dan makna. Dari sisi historis, kurban bermakna memberikan persembahan harta terbaik pada Allah. Dalam konteks masa itu, harta terbaik itu merujuk pada hewan peliharaan. Sementara dari sisi filosofis, esensi kurban ialah mengajak manusia melepaskan segala egoismenya untuk kemudian menumbuhkan kemanusiaan. Nilai filosofis kurban itulah yang idealnya kita ejawantahkan dalam konteks pandemi Covid-19 yang tengah mencapai puncaknya ini.
Idul Adha dan ibadah kurban idealnya dimaknai sebagai perumpamaan teranulirnya sikap egois dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hal beragama, bernegara dan bermasyarakat. Di masa pandemi seperti saat ini, penting kiranya untuk menyembelih ego pribadi maupun sektoral dan menumbuhkan sikap kemanusiaan dan kemaslahatan bersama. Pandemi ini ibaratnya perang, namun dengan musuh yang tidak tampak. Setiap individu bisa berperan dalam peperangan ini, sesuai dengan latar belakangnya masing-masing.
Menumbuhkan Humanisme
Pemerintah bertugas menyusun regulasi dan aturan. Para ahli dan ilmuwan bekerja dengan sumbangsih keilmuannya. Para dokter dan tenaga kesehatan bekerja keras di garis depan penanganan pandemi. Sedangkan kita, masyarakat awam cukup berperan dengan menaati aturan protokol kesehatan dan patuh pada kebijakan pemerintah untuk menangangi pandemi. Jika pemerintah menganjurkan kita bekerja, belajar dan beribadah dari rumah, maka sebagai warganegara yang baik idealnya kita mematuhi aturan tersebut.
Di masa darurat ini, bukan waktunya kita untuk berdebat, saling menyalahkan apalagi mementingkan ego pribadi dan kelompok. Pandemi mustahil dikendalikan apabila kita masih bertahan dengan egoisme kita masing-masing. Sebaliknya, dengan spirit Idul Fitri idealnya kita menumbuhkan humanisme demi terwujudnya keselamatan bersama. Manifestasi humanisme di era pandemi ini dapat diwujudkan ke dalam setidaknya lima cara. Pertama, mematuhi protokol kesehatan dengan kesadaran bahwa hal itu tidak hanya penting untuk menjaga diri sendiri, namun juga menjaga orang lain.
Kedua, tidak menyebarkan berita bohong seputar pandemi Covid-19 yang berpotensi membuat orang lain abai pada prokes dan membangkang aturan pemerintah. menyebarkan berita bohong tentang Covid-19 yang potensial membuat orang lain abai pada prokes sama saja dengan membunuh orang lain secara tidak langsung.
Ketiga, mematuhi aturan dan kebijakan pemerintah sebagai perwujudan partisipasi kita dalam mengatasi pandemi Covid-19. Keempat, membangun solidaritas kemanusiaan untuk meringankan beban masyarakat yang terdampak pandemi. Kelima, menjaga keutuhan bangsa dari segala narasi yang memecah belah dan mengadu-domba.
This post was last modified on 21 Juli 2021 2:12 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…