Narasi

Sumpah Pemuda Kekinian; Manifesto Milenial dan Gen Z Melawan Hoaks Serta Radikalisme 

Sumpah Pemuda 1928 bukanlah sekadar momen seremonial. Melalui deklarasi Sumpah Pemuda, makna Indonesia yang sebelumnya hanya mengacu pada wilayah geografis mulai bergeser ke arah politis.

Pasca deklarasi Sumpah Pemuda, istilah Indonesia bukan lagi hanya merujuk pada wilayah teritorial, melainkan menjelma menjadi identitas kebangsaan. Maka, tepat kiranya jika menisbahkan Sumpah Pemuda sebagai titik awal terpenting dalam tumbuhnya rasa nasionalisme di kalangan anak bangsa, khususnya kaum muda. 

Tantangan kebangsaan kaum muda angkatan 28 tentu berbeda dengan milenial dan generasi Z. Generasi Y alias milenial kerap disebut sebagai kaum digital immigrant. Artinya, mereka lahir di era analog, namun tumbuh dewasa di era ketika digitalisasi secara masif melanda dunia. Sedangkan generasi Z kerap disebut sebagai kaum digital native.

Dalam artian, mereka lahir, tumbuh, dan dewasa di tengah tranformasi dunia digital. Tentangan yang dihadapi kedua generasi ini tentunya tidak jauh dari problem yang berkaitan dengan residu teknologi digital.

Salah satu tantangan terberat kaum milenial dan generasi Z adalah menghadapi gelombang penyebaran informasi palsu dan ujaran kebencian di kanal-kanal media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan sendiri bagaimana produksi dan distribusi hoaks mengalami peningkatan drastis.

Tantagan Kaum Muda di Era Digital

Data Kemenkominfo menyebut bahwa setidaknya ada ratusan berita palsu dan ujaran kebencian yang disebar di media sosial saban harinya. Kemenkominfo juga mencatat bahwa sebagian besar netizen Indonesia pernah terpapar berita palsu, entah disengaja atau tidak. 

Sedangkan menurut data Mafindo (Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia), hoaks paling banyak disebar di jagad medsos Indonesia adalah yang berhubungan dengan isu agama dan politik. Mafindo juga mencatat bahwa angka produksi dan penyebaran hoaks akan menunjukkan peningkatan tajam di tahun politik. 

Mengapa bisa demikian? Seperti kita tahu, hoaks dan ujaran kebencian kerap dijadikan sebagai alat untuk mendeskreditkan lawan politik. Kontestasi politik yang sengit acapkali diwarnai oleh fitnah dan provokasi. 

Fenomena firehouse of falsehood, yakni semburan kebencian dan berita bohong untuk meraih kekuasaan lantas dimanfaatkan oleh kelompok konservatif-radikal untuk memecah belah umat. Mereka memanfaatkan situasi kecemasan dan ketidakpastian publik akibat maraknya berita hoaks dengan meradikalisasi pikiran masyarakat. Pola radikalisasi itu terjadi dalam setidaknya tiga tahap. 

Pertama, tahap mengacaukan akal sehat dan nalar kritis publik dengan menggelontorkan hoaks dan ujaran kebencian secara masif. Dalam teori propaganda ala Nazi, sebuah kebohongan yang disampaikan secara berulang-ulang lambat lain akan diyakini sebagai kebenaran.

Kedua, tahap menggiring masyarakat ke dalam opini sesat dengan tujuan menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Di titik ini, masyarakat tidak lagi percaya pada otoritas (pemerintah, media massa, dll) namun lebih percaya pada sentimen pribadi dan golongan. 

Ketiga, tahap meradikalisasi pikiran publik dengan membangun sentimen kebencian terhadap pemimpin atau pemerintahan yang sah. Narasi “negara gagal”, “pemimpin zalim”, dan frase negatif lainnya disebarluaskan untuk memprovokasi publik agar melakukan pembangkangan terhadap otoritas pemerintah yang sah. 

Milenial dan gen Z barangkali memiliki karakter yang berbeda dengan anak muda angkatan 28. Kaum muda angkatan 28 dikenal sebagai “generasi penegas”. Merekalah yang menegaskan identitas kebangsaan. Mereka dikenal pemberani. Bahkan, beberapa di antaranya dipenjara dan diasingkan oleh pemerintah kolonial.

Sedangkan, kaum milenial dan gen Z kerap dicap lemah mental, mudah galau, dan kurang tangguh. Namun demikian, kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa milenial dan gen Z adalah kaum yang mudah beradaptasi, memiliki daya inovasi tinggi, dan dikenal memilih kreatifitas tanpa batas. Inilah keunggulan milenial dan gen Z. 

Reaktualisasi Sumpah Pemuda di Kalangan Milenial dan Gen-Z

Maka, reaktualisasi Sumpah Pemuda kekinian, utamanya di kalangan milenial dan gen Z, idealnya diarahkan untuk membangun kesadaran dan komitmen melawan hoaks, ujaran kebedian, dan radikalisme yang saat ini menjadi musuh utama bangsa Indonesia. 

Jelang Pemilu 2024, bisa dipastikan hoaks dan ujaran kebencian akan meningkat tajam. Maka, milenial dan gen Z harus menggaungkan manifesto melawan hoaks dan radikalisme. Sumpah Pemuda kekinian adalah menjaga Indonesia dari polarisasi akibat fanatisme politik dan agama yang dibumbui dengan hoaks dan radikalisme. 

Manifesto ini urgen mengingat belakangan ini, semburan hoaks dan provokasi mulai membanjiri kanal media sosial. Panasnya suhu politik tampaknya dimanfaatkan para radikalis untuk mengail di air keruh. Mereka memanfaatkan isu sosial, politik, dan agama untuk menyebar hoaks dan provokasi. 

Kita juga mengetahui adanya penangkapan teroris di sejumlah daerah. Aparat mengendus adanya rencana aksi teror untuk mengacaukan Pemilu dan Pilpres 2024. Artinya memang ada skenario besar kaum radikal dengan membonceng momen Pemilu. Di dunia maya mereka aktif menebar hoaks, di dunia nyata mereka bergerak menyusun serangan. 

Peran milenial dan gen Z menjaga stabilitas sosial sangat diperlukan. Milenial dan gen Z adalah kelompok mayoritas di dunia maya. Artinya, wajah dunia digital kita akan ditentukan oleh wacana atau opini yang disuarakan oleh mereka. Jika milenial dan gen Z satu suara dalam melawan hoaks dan radikalisasi, maka bisa dipastikan dunia maya kita akan steril dari anasir permusuhan dan perpecahan. 

This post was last modified on 31 Oktober 2023 12:31 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago