Categories: Narasi

Tabayyun Informasi

Suatu ketika Rasulullah pernah manganjurkan seorang sahabat bernama Mu’adz bin Jabal untuk tidak menyebarkan sebuah hadis kepada umat, karena dikhawatirkan akan timbul salah persepsi, terutama jika umat tersebut belum memiliki ilmu dan iman yang cukup. Ketika itu Mu’adz bin Jabal mendengar Rasul bersabda, “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melainkan Allah mengharamkan baginya api neraka”.

Mendengar itu, maka Mu’adz berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya aku beritahukan hadis ini kepada orang banyak supaya mereka bergembira? Lalu Rasul menjawab, “Jika demikian, maka mereka hanya akan mengandalkan hadis tersebut.” (HR. Muslim). Beberapa ulama meyakini bahwa Rasul khawatir sebagian umat (terutama yang belum cukup ilmu dan imannya) hanya akan mengandalkan hadis tersebut sebagai jaminan untuk bebas dari api neraka. Lantas dengan mudah mereka meninggalkan kewajiban ibadah serta berbuat baik, dan hanya mencukupkan diri dengan syahadat.

Kisah di atas memberi pelajaran bahwa tidak semua informasi (meskipun itu baik) dapat disampaikan kepada publik. Ada golongan-golongan tertentu yang layak atau boleh menerima suatu informasi, sementara ada pula golongan lain yang belum layak menerima informasi. Mengapa demikian? Karena informasi tidak pernah bebas dari nilai dan misi.

Oleh karenanya sebuah informasi harus disaring terlebih dahulu sebelum disampaikan ke banyak orang. Informasi yang baik belum tentu akan memiliki dampak yang baik jika informasi tersebut jatuh ke orang-orang yang tidak tepat. Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, “Janganlah kamu menceritakan sesuatu kepada suatu kaum sedang akal mereka tidak mampu menerimanya. Karena cerita tersebut (justru dapat) menimbulkan fitnah pada sebagian dari mereka.” (HR. Muslim). Karenanya, sebelum menyampaikan sebuah informasi, seseorang harus mengerti terlebih dahulu kapasitas (termasuk tingkat keilmuan dan keimanan) para audiensnya. Jangan sampai informasi yang sebenarnya baik justru dipahami dengan cara terbalik.

Para ulama bahkan berpendapat bahwa haram hukumnya bagi seorang muslim yang menyebarkan informasi tanpa terlebih dulu melakukan tabayyun dan verifikasi. Dalam konteks ini Rasulullah pernah bersabda, “Cukuplah seseorang itu dinyatakan berbohong jika dia menceritakan semua yang ia dengar” (HR. Muslim). Hal ini tidak lantas berarti bahwa informasi sebaiknya tidak perlu disampaikan atau disebarkan kepada khalayak ramai, karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Sebuah informasi harus tetap disampaikan, terutama jika informasi itu sifatnya penting dan menyangkut kepentingan banyak orang. Namun hendaknya informasi tersebut dipilih dan dipilah sebelum dibagikan ke orang lain.

Islam mengajarkan untuk melakukan tiga hal berikut sebelum menyampaikan informasi yang kita terima, Pertama, Tabayyun (konfirmasi). Hendaknya informasi yang diterima di-check dahulu kebenarannya. Jangan sampai kita menyebar berita yang kadar kebenarannya belum jelas, karena hal itu berpotensi untuk menciptakan masalah dikemudian hari.

Kedua, menjauhi prasangka (Zhan). Terkadang kita terpancing untuk ‘membumbui’ informasi yang akan kita sampaikan dengan prasangka pribadi, sehingga berita yang disampaikan sudah tidak utuh lagi dan cenderung menggiring opini. Alquran mengingatkan bahwa “sesungguhnya prasangka tidak memberimu sedikitpun kebenaran.” (QS. An Najm: 28). Oleh karenanya, ketika akan menyampaikan informasi, sampaikanlah secara utuh, jangan ditambah-tambahi dan jangan pula dikurangi.

Ketiga, berbicara yang baik atau diam. ketika akan menyampaikan informasi, pastikan bahwa informasi tersebut adalah informasi yang baik, isinya baik, maksudnya baik, dan disampaikan dengan cara yang baik pula. Beberapa ulama klasik memberikan penekanan lebih terhadap si calon penerima informasi daripada informasi itu sendiri. Artinya, kita harus memastikan bahwa audiens kita sudah siap dengan informasi yang akan kita sampaikan. Dengan demikian pemelintiran informasi untuk kepentingan ideologis tertentu, terutama yang bersifat kekerasan akan mudah diproteksi dari khalayak.

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

15 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

15 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

15 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago