Narasi

Tafsir Dekonstruktif Kurban; Mengakhiri Sakrifasi Manusia

Menarik kiranya untuk mencoba menafsirkan peristiwa “penyembelihan” Nabi Ismail As oleh sang ayah, Nabi Ibrahim As melalui pendekatan dekonstruktif. Maksudnya, mencoba melihat kemungkinan lain dari peristiwa tersebut. Misalnya saja, kita berandai-andai Allah SWT tidak menukar Ismail dengan seekor domba laki-laki nan gemuk dan gagah? Apa yang akan terjadi kemudian?

Mungkin Islam akan dicap sebagai agama yang tidak berperikemanusiaan, kejam, bahkan bengis. Dan mungkin sampai sekarang ritual penyembelihan manusia akan menjadi bagian dari tradisi keislaman. 

Pengandaian dekonstruktif ini relevan untuk menyingkap makna di balik perintah kurban tersebut. Yakni bahwa digantinya Ismail As dengan seekor domba, tepat sebelum pisau Ibrahim As menggorok leher sang anak adalah sebuah simbol dari berakhirnya praktik sakrifasi manusia (human sacrifice). Praktik pengurbanan manusia dikenal dalam sejumlah tradisi masyarakat pra sejarah. Tujuannya bermacam-macam.

Antara lain meminta hujan, menolak bencana, atau sekedar persembahan bagi dewa-dewa. Praktik yang demikian ini merupakan tradisi kaum barbar yang tidak atau belum mengenal peradaban. Islam sebagai agama yang mengandung ajaran kasih sayang dan kemanusiaan hadir untuk menghapus praktik-praktik nirkemanusiaan seperti itu.

Dan jika ditilik dari sejarahnya, setiap rasul atau nabi dalam Islam umumnya mengemban misi untuk menghapus tradisi primitif tersebut. Nabi Ibrahim As misalnya menjadi sosok yang mengawali penghapusan kurban manusia. Nabi Musa menjadi ikon penghapusan perbudakan. Dan Nabi Muhammad menjadi simbol penghapusan penindasan terhadap perempuan. 

Kembali ke peristiwa dramatis Ibrahim dan Ismail, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam sangat tidak menoleransi praktik sakrifasi manusia atas dalih apa pun. Di masa lalu, motif sakrifasi manusia umumnya berkaitan dengan hal-hal yang mistis. Seperti sudah disebut di atas, mulai dari meminta hujan, meminta kesuburan tanah, menolak bencana alam, dan sebagainya. 

Di era modern, fenomena sakrifasi manusia ini berevolusi menjadi lebih ideologis. Fenomena bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok ekstrem-teroris kiranya bisa dikategorikan sebagai bentuk sakrifasi manusia. Mereka menjadikan manusia sebagai martir untuk memperjuangkan agenda politis dan ideologisnya.

Sejumlah dalil dan ayat pun dipakai untuk membenarkan tindakan tersebut. Antara lain iming-iming tentang surga lengkap dengan sajian 72 bidadari yang konon siap menyambut pelaku bom bunuh diri. Di masa lalu, manusia yang bersedia dikurbankan juga diiming-imingi dengan hal serupa.

Yakni kehidupan sejahtera setelah kematian dan nama harum bagi keluarga yang ditinggalkan. Pola-pola primitif ini tampaknya juga dipakai oleh kelompok ekstrem untuk merekrut calon-calon bomber bunuh diri. 

Dari tilikan ini, ritual kurban kiranya bisa ditarik ke pembahasan terkait pemberantasan ekstremisme dan terosisme yang saat ini menjadi problem akut dunia Islam. Ekstremisme dan terorisme yang menjadikan manusia sebagai martir perjuangan tidak lain merupakan bentuk pemikiran yang primitif.

Sakrifasi manusia demi ideologi atau tujuan politik bukanlah ajaran Islam. Sebaliknya, praktik barbar itu justru ingin dihapus oleh Islam, bahkan sejak era Nabi-nabi terdahulu seperti Ibrahim As dan Musa As. 

Momentum Idul Kurban yang dirayakan saban tahun idealnya tidak berhenti di tataran ritus simbolik saja. Kita harus kembali ke makna filosofi awal berkurban, yakni mengakhiri praktik sakrifasi pada manusia. Bahwa tidak ada nyawa manusia yang boleh dikorbankan untuk dalih apa pun.

Apalagi sekadar memperjuangkan ideologi politik yang tidak suci dan berorientasi pada kekuasaan. Idul Kurban dengan demikian bisa menjadi salah satu momentum melawan ekstremisme dan terosisme dalam Islam. Praktik mengorbankan manusia demi tujuan ideologis dan politis sudah sepatutnya diakhiri.

Idul kurban juga memberikan pelajaran penting bahwa mengubah kehidupan umat ke arah lebih baik tidak perlu dilakukan dengan jalan revolusi berbalut kekerasan. Perubahan sosial bisa diwujudkan dengan jalan pemberdayaan umat. Pembagian hewan kurban adalah simbol kepedulian sekaligus pemberdayaan umat.

Spirit berkurban idealnya bisa memantik kesadaran akan pentingnya pemerataan kesejahteraan umat. Animo masyarakat dalam berkurban hendaknya bisa mendorong tumbuhnya filantropi keislaman yang dikelola secara profesional demi kesejahteraan umat. Jika umat sejahtera, maka ideologi kekerasan yang ditawarkan kelempok ekstrem dan teroris niscaya tidak akan laku.

This post was last modified on 29 Juni 2023 9:32 AM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Membangun Ketahanan Nasional Melalui Moderasi Beragama

Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…

1 hari ago

Kembang Sore: Antara Tuhan dan Kehidupan

Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita.   Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…

1 hari ago

Meletakkan Simbolisme dalam Prinsip Agama Bermaslahat

Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…

1 hari ago

Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Di tengah rumah yang runtuh, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan tangis pengungsian yang belum…

1 hari ago

Merawat Bumi sebagai Keniscayaan, Melawan Ekstremisme sebagai Kewajiban!

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…

2 hari ago

Banjir Hoax dan Kebencian; Bagaimana Kaum Radikal Mengeksploitasi Bencana Untuk Mendelegitimasi Negara?

Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang…

2 hari ago