Dalam laporan bertajuk “I-KHub BNPT Counter Terrorism and Violent Extemism Outlook 2023″ disebutkan bahwa ada tiga kelompok paling rentan terpapar ideologi rasikalisme keagamaan. Tiga kelompok itu adalah perempuan, remaja, dan anak-anak. Jika diamati, ketiga kelompok itu memiliki satu kesamaan.
Yakni sama-sama identik dengan karakter dependen alias memiliki sifat ketergantungan pada pihak lain. Anak-anak dan remaja kelas merupakan kelompok yang belum mandiri dalam berpikir dan bertindak. Anak-anak kerap meniru perilaku orang tua dan keluarga terdekat. Artinya, pola asuh orang dan karakter keluarga akan sangat menentukan cara pasang dan perilaku anak. Termasuk dalam beragama.
Sementara remaja merupakan kelompok yang pola pikirnya dan perilakunya lebih banyak dibentuk oleh lingkungan pergaulan, pertemanan, dan jejaring sosialnya, baik di dunia nyata maupun maya. Perilaku remaja kerao dibentuk bukan berdasar kesadaran pribadi, melainkan pengaruh eksternal yang datang terus-menerus.
Sedangkan perempuan kerap diidentikkan sebagai kelompok yang selalu bergantung pada laki-laki. Perempuan kerap dicitrakan sebagai makhluk lemah, harus menurut ayah, atau suami. Tp Termasuk dalam hal keagamaan pun, perempuan kerap kali harus tunduk pada otoritas laki-laki.
Ironisnya, nalar patriarkis ini kerap dijustifikasi dengan teks keagamaan. Misalnya, ayat Alquran yang berbunyi “arrijalu qawwamuna ‘alannisa”, menjadi ayat yang sangat populer dan menjadi langganan dikutip untuk membenarkan paradigma berpikir yang bias gender. Padahal, makna ayat itu tidaklah sesederhana bahwa laki-laki selalu lebih superior ketimbang perempuan.
Tafsir Bias Gender dan Suburnya Rasikalisme di Kalangan Perempuan
Tafsir yang bias gender, umumnya berkembang di kalangan konservatif. Kelompok ini dicirikan dengan pola pikirnya yang tekstualis. Mereka cenderung memaknai dalil keagamaan secara harfiah, sehingga hanya menghasilkan pemaknaan yang dangkal dan gagal dalam menangkap esensi dari ayat tersebut.
Misalnya, ayat tentang hak waris perempuan yang separuh hak laki-laki kerap dijadikan pembenaran kaum konservatif bahwa kedudukan perempuan itu dibawah laki-laki. Padahal, ayat itu adalah bentuk penghargaan Islam atas kedudukan perempuan. Tersebab, sebelum turunnya ayat tersebut, perempuan Arab tidak mendapat waris sama sekali. Jadi, esensi ayat itu adalah pada sikap emansipatoris Islam dalam memberikan hak waris pada perempuan, bukan pada jumlahnya.
Dalam pemaknaan yang lebih luas, tafsir bias gender itu juga cenderung membuat perempuan rentan terpapar ideologi radikal? Ketika perempuan diposisikan sebagai subordinat laki-laki, maka ia harus selalu tunduk dan patuh pada ayah, suami, saudara laki-laki, guru laki-laki dan sebagainya. Disinilah celah bagi masuknya paham radikal. Seperti kita tahu, banyak perempuan yang terpapar ideologi radikal justru dari lingkungan terdekatnya.
Misalnya keluarga (ayah dan saudara laki-laki) bahkan suaminya. Ketika seorang perempuan diajak ayahnya atau suaminya bergabung ke gerakan radikal ekstrem, kecil kemungkinan ia bisa menolak. Jika ia menolak, maka label anak durhaka atau istri yang tidak taat suami akan disematkan pada perempuan tersebut. Itulah gambaran bagaimana tafsir ayat-ayat perempuan yang bias gender itu dapat mendorong perempuan terjebak dalam lingkaran setan rasikalisme.
Tafsir Feminis Membebaskan Perempuan dari Infiltrasi Radikalisme
Apalagi belakangan ini muncul beragam narasi untuk menjadikan sosok perempuan sebagai obyek radikalisasi. Misalnya narasi yang menyebutkan bahwa Aisyah, putri Rasulullah adalah seorang mujahidah yang menegakkan syariah Islam. Jika tidak dipahami secara kritis, narasi yang demikian ini akan menjadi bahan bakar bagi gerakan radikal yang memang tengah menyasar kelompok perempuan sebagai targetnya.
Maka, di tangan ancaman tsunami radikalisme yang menyasar salah satunya ke kelompok perempuan ini, relevan dan urgen kiranya umat Islam mengembangkan corak tafsir feminis. Yakni model pembacaan dan penafsiran ayat-ayat perempuan yang berbasis pada paradigma kesetaraan gender.
Tafsir feminis adalah upaya menginterpretasikan ayat-ayat perempuan dengan pendekatan yang lebih ramah terhadap hak dan kedudukan perempuan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan makna terdalam dari teks keislaman. Dengan begitu, makna yang dihasilkan pun akan relevan dengan tentangan zaman.
Jika dibaca dari perspektif tafsir feminis, ayat-ayat Alquran dan juga hadist Nabi tentang perempuan sebenarnya mengandung pesan kesetaraan gender dan komitmen pada hak-hak perempuan. Yakni bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki itu pada dasarnya sama di hadapan Allah. Hanya ibadah dan amalnya lah yang membedakan antara keduanya.
Arkian, kita perlu mengembangkan model tafsir feminis berbasis paradigma kesetaraan gender. Dengan begitu, kita akan mampu membangun budaya kritis dan rasional di kalangan perempuan. Tafsir feminis akan membebaskan perempuan dari produk fiqih yang menempatkan perempuan sebagai obyek kebijakan laki-laki.
Tafsir feminis akan memungkinan perempuan memiliki otonomi atas pemikirannya sendiri. Termasuk dalam hal keagamaan. Dengan otonomi pemikiran itu, perempuan diharapkan bisa lepas dari doktrin keagamaan radikal ekstrem yang datang dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga maupun dari pihak eksternal, seperti ustad-ustad radikal yang bertebaran di dunia maya.
This post was last modified on 4 Maret 2024 1:10 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…