Narasi

Tafsir Islam dan Reduksi Kebijaksanaan

Jika Islam tereduksi oleh manusia yang bijaksana, niscaya akan menghasilkan sistem-sistem nilai yang mampu mengantarkan ke dalam kehidupan yang lebih baik. Tapi tidak dengan mereka yang memunculkan Islam ke luar permukaan sebagai bentuk dari ekspresi rasa takut, kezhaliman, dan bahkan demi kursi serta perebutan kekuasaan dengan jalan kekerasan. Niscaya Islam akan muncul sebagai racun, dan penyakit bagi keberlangsungan hidup umat manusia secara umum. Islam sedemikian rupa diputar bolak-balik, dan diperas untuk menghasilkan sari-sari nilai yang tidak mengantarkan kepada kebijaksanaan. Inilah yang dinamakan legitimasi Islam sebagai pembajak nilai. Sehingga Islam kehilangan esensi dan perannya.

E.E. Evans-Pritchard mengatakan bahwa agama adalah bagian dalam konsep hidup umat manusia. Secara substansi, akan tergantung kepada mereka yang menggunakannya. Setiap perilaku, pola pikir, dan kebiasaan sehari-hari merupakan hasil dari agama yang muncul ke permukaan. Islam di era reformasi telah menjadi objek kajian teologis yang justru lebih kepada kepentingan individu. Sehingga praktik yang mengatasnamakan Islam itu tidak terstruktur secara sosial. Artinya bersifat militan, radikal, dan eksploitatif yang penuh dengan kebohongan.

Maka langkah  reduksionis yang akan memunculkan agama sebagai jalan hidup seluruh umat manusia adalah dengan interpretasi Islam yang lebih bijaksana. Sehingga Islam akan muncul ke luar permukaan dengan wajah-wajah cinta, kasih sayang, konsep hidup dan reflektif pandangan masa depan bagi umat-Nya.  Emile Durkheim dengan teori sosiologinya telah memunculkan agama secara fungsionalisme sosial. Begitu juga Karl Marx yang berusaha merefleksikan agama ke dalam sistem progresivitas umat manusia dalam melawan kekuatan kelas.

Jika kita secara teori fungsionalisme dan reduksi agama mengatakan bahwa agama harus mengantarkan kepada konsep hidup serta pandangan hidup umat manusia. Itu merupakan konsep agama sebagai kebijaksanaan. Tapi bagaimana mereka yang telah bergemuruh nafsunya demi keinginan pribadi. Lantas mereka menggunakan segala cara bagaimana mereka memutar balikkan fakta serta memeras agama sedemikian hasratnya demi tercapainya keinginan tersebut. Niscaya ini akan bertolak belakang dengan konsepsi agama secara fungsionalisme dan reduksi yang mementingkan sebuah kebijaksanaan hidup.

Baca juga : Grup WA Fisabilillah Contoh Konkrit Pembajakan Agama

Khilafah islamiyah adalah gerakan politik kekuasaan yang mengatasnamakan agama demi legalitas teoretis dan praktik dalam melancarkan misinya untuk berkuasa dalam suatu negara. Sedangkan kekerasan, dan pembantaian yang mengatasnamakan agama, merupakan sumbu yang akan membakar mereka yang menghalangi, menolak, serta kontra terhadap misinya. Ini merupakan penjelasan secara tekstual terhadap agama yang mengatasnamakan  dirinya sebagai penentu dari keberlangsungan hidup seluruh umat manusia.

Tafsir agama demi kebijaksanaan itu sangat penting demi keberlangsungan hidup umat-Nya. Setiap nilai-nilai yang ada dalam agama jika bertentangan degan kemanusiaan, maka kita boleh menghapusnya makna-makan yang bertentangan tersebut dengan kita mengorelasikan konteks, serta zaman. Karena agama untuk manusia. Sedangkan agama itu sendiri jika bertentangan dengan moralitas, serta nilai kemanusiaan niscaya kita interpretasi dan pendalaman pemahaman demi mendapatkan makna-makna yang nantinya akan sesuai dengan kemanusiaan tersebut.

Membangun kemanusiaan dengan agama layaknya menjadikan agama sebagai sebuah perangkat yang akan mengatur sistem-sistem lelaku umat manusia. Karena untuk menciptakan kemanusiaan yang lebih baik, kita perlu bagaimana menginterpretasi setiap ajaran agama dengan pola pikir, hati, dan jiwa-jiwa yang bijaksana. Karena mereduksi agama dengan seperangkat kebijaksanaan akan menghasilkan sistem nilai kemanusiaan yang menjadi seperangkat kebaikan-kebaikan. Dengan interpretasi agama yang didasari kebijaksanaan, kita akan mudah mereduksi agama demi kepentingan sosial serta melemahkan mereka yang melegitimasi agama demi kepentingan hasrat kekuasaan dan kepentingan individu.

This post was last modified on 25 Oktober 2019 12:46 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

18 menit ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

20 menit ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

21 menit ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

24 menit ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

18 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

18 jam ago