Keagamaan

Tafsir Surat Maryam Ayat 33; Menjernihkan Polemik Ucapan Selamat Natal

Perdebatan ihwal boleh-tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat Natal itu memang menjengkelkan, membosankan, dan kurang kerjaan. Bagaimana tidak? Setiap menjelang Natal, linimasa media sosial kita diramaikan oleh debat kusir tentang isu tersebut. Ujung-ujungnya adalah munculnya narasi saling menyalahkan.

Di satu sisi, kelompok yang menghalalkan ucapan selamat Natal kerap dituding sekuler, liberal, atau malah dianggap rusah akidahnya. Di sisi lain, kelompok yang mengharamkan ucapan selamat Natal kerap dipersepsikan sebagai intoleran, eksklusif, kolot, dan sebagainya. Sejujurnya, tudingan-tudingan semacam itu hanya akan memecah belah umat.

Sikap moderat alias jalan tengah tentu diperlukan dalam hal ini. Bagi yang takut akidahnya rusak karena mengucapkan selamat Natal, maka tidak perlu mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen. Sebaliknya, bagi yang yakin iman dan tauhidnya tidak terpengaruh ucapan selamat Natal, maka silakan saja mengucapkan selamat Natal pada umat Kristen.

Yang tidak boleh adalah melemparkan tuduhan bahwa yang mengucapkan selamat Natal itu pasti imannya lemah, tauhidnya keblinger, akidahnya rusak, atau tudingan negatif lainnya. Itulah yang selama ini menimbulkan persoalan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Padahal, sejatinya umat Kristen pun tidak menuntut kita (muslim) untuk memberikan ucapan selamat Natal. Lantas, mengapa kita justru bertikai sendiri?

Meski demikian, sebagai umat Islam kita tentu perlu menjernihkan persoalan yang kadung ruwet ini. Dimulai dari pertanyaan paling penting; bagaimana Alquran menyinggung masalah natal? Tentu Alquran tidak secara eksplisit menyebut kata natal. Karena, kata tersebut merupakan istilah dalam Bahasa Yunani yang artinya kelahiran.

Namun, Alquran secara eksplisit menyebut tentang kelahiran Nabi Isa, yang kerap dirujukkan pada sosok Yesus Kristus dalam tradisi kekristenan. Apakah Nabi Isa dalam Islam ini adalah Yesus dalam tradisi Kristen, tentu bisa diperdebatkan lebih lanjut. Jangankan antara Islam dan Kristen, di kalangan Kristen sendiri saja masih terjadi perdebatan tentang siapa sosok Yesus yang sesungguhnya. Buktinya, perayaan Natal di kalangan Kristen pun bermacam-macam. Ada yang merayakan di tanggal 25 Desember, namun ada pula yang merayakan di hari lain, yakni 7 atau 17 Januari.

Di dalam Alquran, berita tentang lahirnya Nabi Isa direkam dalam Surat Maryam (19) ayat ke-33. Dalam Bahasa Indonesia, redaksi ayat tersebut berbunyi “Salam sejahtera untukku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Dari redaksi ayatnya jelas, kelahiran Nabi Isa disambut dengan kegembiraan.

Surat Maryam ayat 33 itu adalah dasar legitimasi teologis yang kuat bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal pada kaum Kristen. Mengucapkan selamat Natal diniatkan sebagai mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Isa. Bukan sebagai bentuk rekognisi atas keimanan Kristen. Disinilah pentingnya kita membedakan antara akidah, syariah, dan muamalah (akhlak). Sebagai umat Islam, tiga hal itu wajib kita praktikkan bersamaan.

Urusan akidah, kita harus yakin dan teguh bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Allah adalah esa, tidak beranak, dan tidak diperanakkan. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat al Ikhlas. Dalam wilayah syariah, jelas bahwa ibadah mahdhah (sholat, zakat, puasa, haji) itu tidak boleh dicampuradukkan dengan ibadah agama lain.

Beda halnya dengan urusan muamalah dimana kita harus mengedepankan ahlakul karimah. Termasuk ketika bermuamalah dengan umat agama lain. Dimensi muamalah ini sangat tergantung pada konteks sosial-budaya dimana kita tinggal.

Dalam konteks Indonesia misalnya, dimensi muamalah tidak bisa terlepas dari realitas sosial-keagamaan yang majemuk. Maka, akhlak kita dalam bermuamalah harus sensitif dan adaptif pada aspek kemajemukan tersebut. Di titik ini, bisa dikatakan bahwa ucapan selamat Natal itu adalah cerminan dari akhlakul karimah kita sebagai umat Islam.

Sekali lagi, ihwal ucapan selamat Natal ini jangan mau kita diadu-domba oleh kelompok radikal. Mereka pada dasarnya tidak mau tahu tentang dalil ucapan Natal dalam Alquran. Mereja juga menutup mata pada fakta sejarah bahwa Rasulullah sangat toleran dan harmonis dalam menjalin hubungan dengan umat Kristen.

Kelompok radikal hanya ingin umat Islam dan Kristen tidak akur, terpecah-belah, lalu berkondlik. Karena, dengan begitu mereka bisa menebar kekacauan dan memantik konflik horisontal yang lebih besar. Itulah tujuan utama kaum radikal yang sesungguhnya.

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

15 jam ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

15 jam ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

15 jam ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

15 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

2 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

2 hari ago