Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak orang tua dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi berlomba-lomba memasukkan anak-anak mereka ke sekolah atau pesantren tahfizh dengan harapan anak menjadi shaleh, cerdas spiritual, dan memiliki karakter yang kuat. Namun, di tengah geliat ini, muncul kekhawatiran dari sebagian pihak yang mempertanyakan: apakah pendidikan tahfizh menyimpan potensi menanamkan intoleransi pada anak-anak?
Secara ideal, pendidikan tahfizh bertujuan menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Al-Qur’an. Anak-anak dididik untuk mencintai firman Tuhan, berakhlak mulia, serta terbiasa dengan kedisiplinan dan kesederhanaan hidup. Banyak lembaga tahfizh juga mengintegrasikan pelajaran umum, teknologi, dan keterampilan hidup sehingga menciptakan generasi Qur’ani yang juga unggul secara akademik dan sosial.
Namun, sebagian kritik muncul karena adanya beberapa lembaga pendidikan yang menggunakan pendekatan skripturalis secara sempit, menekankan doktrin tanpa membuka ruang diskusi dan pemahaman kontekstual. Dalam kondisi ini, anak-anak dapat diajarkan melihat dunia secara hitam-putih: yang berbeda keyakinan dianggap musuh, dan mereka yang tidak sepemahaman dianggap menyimpang. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menumbuhkan benih intoleransi, yang dalam konteks ekstrem bisa menjurus pada radikalisme.
Penting untuk ditekankan bahwa tidak semua pendidikan tahfizh berpotensi mengarah pada intoleransi. Mayoritas pesantren dan sekolah tahfizh di Indonesia justru menjadi benteng moderasi Islam. Banyak di antaranya berada di bawah organisasi Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang sejak lama mengajarkan Islam wasathiyah (tengah) yang menghargai keberagaman dan perbedaan.
Studi-studi akademik, termasuk dari lembaga seperti Maarif Institute dan Wahid Foundation, menunjukkan bahwa radikalisme lebih sering tumbuh bukan karena kurikulum agama semata, melainkan karena berbagai faktor kompleks seperti ketidakadilan sosial, trauma kekerasan, pengaruh media sosial, serta perekrutan aktif oleh kelompok ekstremis. Pendidikan tahfizh hanya akan menjadi lahan subur bagi intoleransi jika diajarkan tanpa nilai-nilai keterbukaan, kasih sayang, dan penghargaan terhadap kemanusiaan.
Solusi terbaik bukanlah menjauhi pendidikan tahfizh, tetapi memastikan bahwa kurikulumnya dirancang secara holistik dan inklusif. Penghafal Al-Qur’an seharusnya tidak hanya menguasai teks, tetapi juga memahami makna, konteks, dan nilai-nilai universal Al-Qur’an seperti keadilan, kasih sayang, perdamaian, dan toleransi.
Guru-guru tahfizh perlu diberikan pelatihan pedagogi modern, pemahaman lintas agama, serta pendekatan psikologi anak, agar bisa menjadi pembimbing yang tidak hanya religius tetapi juga berwawasan luas. Pendidikan tahfizh yang baik justru dapat menjadi tembok terakhir dalam menghadapi arus radikalisme agama yang mengancam generasi muda. Tenaga pendidik adalah aktor kunci. Mereka harus dibekali pelatihan tentang deteksi dini paham radikal, teknik mengajar inklusif, serta narasi keagamaan yang mencerahkan, bukan menakut-nakuti atau mengkafirkan.
Tuduhan bahwa pendidikan tahfizh menyimpan virus intoleransi dan radikalisme tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Kita harus jujur melihat bahwa potensi penyimpangan itu ada, terutama jika lembaga pendidikan berjalan tanpa pengawasan dan tanpa semangat moderasi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat—untuk bersama-sama memastikan bahwa pendidikan Qur’ani menjadi wahana membentuk anak-anak yang cinta damai, berintegritas, dan mampu hidup dalam harmoni dengan sesama.
Pendidikan tahfizh secara tradisional menekankan hafalan teks Al-Qur’an, yang tentu memiliki keutamaan dalam Islam. Namun, jika hanya berhenti pada aspek hafalan tanpa pemahaman makna, nilai, dan konteks sosial ayat-ayat, maka proses pendidikan ini bisa menjadi kaku dan dogmatis. Dalam kondisi inilah, pemahaman tekstual bisa dimanipulasi oleh ideologi radikal.
Kurikulum tahfizh anti-radikalisme harus memadukan tiga unsur utama yaitu Hafalan teks (tahfizh), pemahaman makna dan konteks (tafsir tematik moderat), Internalisasi nilai-nilai universal Al-Qur’an (adab, toleransi, dan kemanusiaan). Selain itu, salah satu yang bisa dilakukan untuk mencegah virus intoleransi dan radikalisme terhadap lembaga pendidikan berbasis tahfizh kurikulumnya harus memasukkan nilai-nilai moderasi Islam yang mencakup toleransi, musyawarah, anti-kekerasan, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Lebih dari itu, anak-anak perlu dilatih berpikir kritis terhadap penafsiran yang sempit atau digunakan untuk membenarkan kekerasan atas nama agama. Pembelajaran tafsir harus diarahkan pada pendekatan maqashid syariah (tujuan syariat), yang menekankan kemaslahatan, keadilan, dan kemanusiaan.
Kurikulum tahfizh harus membuka ruang bagi siswa mengenal keberagaman agama dan budaya melalui studi interaktif, projek kemasyarakatan, atau dialog dengan komunitas lain. Ini penting untuk membangun rasa hormat dan kebersamaan dalam perbedaan. Pendidikan tahfizh idealnya tidak terpisah dari realitas sosial. Siswa perlu diajak menghafal dan sekaligus mengamalkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kepedulian sosial, anti-kekerasan, lingkungan hidup, dan perdamaian global.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…
Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…
urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…
Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…
Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…
Indonesia lahir dari rahim perbedaan. Ratusan suku, bahasa, agama, dan tradisi bersatu dalam satu entitas…