Keagamaan

Natal dan Spirit Harmoni Sosial

Diskusi mengenai hukum seorang Muslim mengucapkan “Selamat Natal” sering kali menjadi topik yang memicu perdebatan di tengah masyarakat. Tidak jarang, diskusi ini berkembang menjadi debat yang kosong substansi, memecah kerukunan, dan justru menjauhkan kita dari semangat kebersamaan yang diamanatkan agama. Dalam konteks keberagaman Indonesia, isu ini menjadi lebih kompleks karena sering kali dicampuradukkan dengan konsep toleransi dan kewajiban sosial.

KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang akrab dikenal sebagai Buya Yahya, memberikan pandangan yang menarik mengenai topik ini. Melalui ceramahnya, beliau mengajak umat Muslim untuk tidak sekadar memahami hukum agama secara tekstual, tetapi juga menangkap esensi ajaran Islam yang lebih tinggi, yaitu kewajiban berbuat baik kepada sesama manusia, termasuk kepada non-Muslim.

Beliau memberikan contoh yang sederhana tetapi mendalam. Jika seorang tetangga yang beragama Nasrani sedang sakit atau kelaparan, seorang Muslim tidak hanya dianjurkan untuk membantu, tetapi diwajibkan. “Ini bukan toleransi, tetapi kewajiban,” ujar Buya Yahya dalam salah satu ceramahnya yang diunggah di YouTube Al Bahjah TV.

Pemahaman ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan hubungan harmonis antarsesama manusia (hablum minannas). Menghormati tetangga atau kolega yang merayakan hari raya keagamaan mereka merupakan bagian dari kewajiban menjaga harmoni sosial.

Lalu, bagaimana dengan hukum mengucapkan “Selamat Natal”? Buya Yahya menjelaskan bahwa ini adalah urusan agama yang sangat personal. Tidak ada paksaan dalam agama, dan seorang Muslim tidak boleh memaksa dirinya maupun orang lain untuk mengikuti keyakinan tertentu.

“Jangan paksa orang Islam mengucapkan selamat Natal, kalau Anda paksa berarti tidak ngerti toleransi,” tegas Buya Yahya. Sebaliknya, beliau juga mengingatkan bahwa umat Islam tidak perlu kecewa apabila umat agama lain tidak mengucapkan selamat pada hari raya Islam. Sikap ini, menurut beliau, mencerminkan pemahaman yang benar tentang toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain.

Hukum mengucapkan selamat Natal di kalangan ulama memang beragam. Sebagian besar ulama dari mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki menganggapnya tidak dianjurkan, dengan alasan menjaga kemurnian akidah. Namun, beberapa ulama kontemporer, termasuk Yusuf al-Qaradawi dan Buya Yahya, memandang bahwa selama ucapan tersebut ditujukan untuk menjaga hubungan baik tanpa mengakui keyakinan agama lain, maka hal tersebut diperbolehkan.

Pandangan Buya Yahya juga memberikan landasan yang kokoh untuk memahami perbedaan antara toleransi sebagai konsep sosial dan kewajiban dalam Islam. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, toleransi sering kali disalahartikan sebagai sikap membolehkan segala sesuatu demi kerukunan. Padahal, Islam menawarkan nilai yang lebih luhur, yaitu menjadikan kewajiban berbuat baik sebagai bagian dari ibadah.

Dengan kata lain, tindakan menghormati perayaan Natal atau membantu tetangga non-Muslim tidak semata-mata dilandasi toleransi, tetapi berakar pada kewajiban seorang Muslim untuk menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Ini adalah manifestasi dari ajaran Rasulullah SAW, yang dalam sebuah hadis bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak orang lain atas dirinya.” (HR Ahmad).

Sayangnya, isu ini sering kali dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu yang menggunakan perbedaan pandangan sebagai alat untuk menciptakan polarisasi. Narasi seperti “toleransi kebablasan” atau “penyerupaan agama lain” kerap digaungkan tanpa memahami konteks sebenarnya. Buya Yahya dengan tegas mengingatkan bahwa paksaan dalam urusan agama, baik dalam bentuk memaksa mengucapkan selamat Natal maupun melarangnya secara absolut, hanya akan memperburuk kerukunan.

Negara Indonesia yang multireligius, pendekatan moderat seperti yang diajarkan Buya Yahya menjadi sangat relevan. Beliau mengingatkan bahwa kita tidak boleh memaksa orang lain mengikuti keyakinan kita, baik mayoritas kepada minoritas maupun sebaliknya.

Natal 2024 adalah momen yang tepat untuk merefleksikan makna kebersamaan dalam keberagaman. Ucapan selamat Natal, baik diucapkan maupun tidak, seharusnya tidak menjadi batu sandungan dalam hubungan sosial. Sebaliknya, umat Muslim diajak untuk kembali pada esensi ajaran Islam yang memprioritaskan kewajiban menjaga harmoni sosial dan berbuat baik kepada semua orang.

 

This post was last modified on 5 Januari 2025 10:12 AM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Tantangan Propaganda Digital : Tantangan Baru dengan Wajah Lama

Tahun baru seharusnya menjadi momen refleksi dan harapan. Namun, di tengah semangat optimisme pergantian tahun,…

2 jam ago

Harapan dan Strategi Baru Menghadapi Dinamika Tantangan Terorisme 2025

Tahun 2025 hadir dengan harapan baru bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan mencatatkan "zero terrorist attack" sepanjang…

2 jam ago

Resolusi 2025: Mewaspadai Propaganda Radikal HTI dan Wahabi Berkedok Purifikasi

Salah satu bentuk propaganda yang perlu diwaspadai di tahun 2025 adalah upaya kelompok radikal seperti…

2 jam ago

Membaca Propaganda “Persatuan Islam” ala Khilafatul Muslimin di Tahun 2025

Jika ada satu kelompok salafi yang pergerakan cenderung tersamar dan tidak terdeteksi di tahun 2024,…

3 jam ago

Paradigma Multidimensionalitas dan Kemurnian Akidah

Ada sebuah kearifan Jawa tentang “lelaku” ataupun “laku” yang secara harfiah berarti berjalan. Memang, dalam…

1 hari ago

Keberhasilan Pemberantasan Terorisme; Antara “Nation Branding” dan “International Trust”

Jika kita bertanya, apa saja faktor dan variabel yang berpengaruh pada kemajuan sebuah negara? Maka,…

1 hari ago