Narasi

Tagar #KamiTidakTakut; Pentingnya Melawan Propaganda Kekerasan di Dunia Maya

Di era digital dan media sosial seperti saat ini, dampak destruktif terorisme nyatanya tidak hanya terjadi di dunia nyata, atau lebih spesifiknya tempat kejadian perkara. Lebih dari itu, efek kengerian aksi teror nyatanya juga menjalar di ruang-ruang publik digital kita. Bagaimana tidak? Sesaat pasca kejadian teror, lini masa media sosial kita segera dibanjiri oleh foto dan video pelaku atau korban dengan kondisi-kondisi yang memiriskan.

Ceceran darah, tubuh yang terkoyak, serta teriakan-teriakan panik yang direkam dalam foto atau video lantas disebar luas di dunia maya adalah bentuk teror digital yang tidak kalah mengerikannya dengan aksi teror di dunia nyata. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, sebaran foto dan video pelaku atau korban teror adalah semacam “teater kekerasan”.

Yakni sejenis pertunjukan yang mengeksploitasi kekerasan demi menstimulus alam bawah sadar manusia agar melakuan hal yang sama. Pertunjukan teater kekerasan itu pula yang kita saksikan dalam peristiwa teror bom bunuh diri di depan Mapolsek Astana Anyar, Bandung tempo hari. Foto pelaku bom bunuh diri yang tertelungkup dengan punggung terkoyak lengkap dengan darah berceceran disebar luas di media sosial. Video seorang polisi yang menjadi korban juga didistribusikan beruntun oleh publik.

Siapa Bermain di Balik Teater Kekerasan Terorisme?

Layaknya sebuah pertunjukan teater, tentu ada panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dalam peristiwa teror bom bunuh diri, panggung depan itu dimainkan oleh pelaku atau eksekutor lapangan yang meledakkan diri. Peran ini harus dirancang sedramatis mungkin agar menarik perhatian khalayak. Dalam konteks teror di Polsek Astana Anyar ini, pelaku bahkan sempat menempelkan tulisan di motor yang dibawanya.

Tulisan itu berbunyi “KUHP HUKUM SYIRIK KAFIR, PERANGI PARA PENEGAK HUKUM SETAN, QS 9: 29”. Tidak lupa ia menyertakan lambang ISIS untuk menunjukkan kemana ia berafiliasi. Tidak pelak, ornamen pertunjukan ini pun menarik perhatian media dan masyarakat sehingga menjadi pusat perhatian.

Sedangkan panggung belakang dimainkan oleh para simpatisan teroris yang menyebar narasi bahwa aksi teror di Astana Anyar hanyalah settingan pemerintah untuk mengalihkan isu-isu sosial, hukum, dan politik. Para simpatisan gerakan teror juga mencari seribu alasan untuk membenarkan tindakan teror. Salah satunya dengan menyebut aksi bom bunuh diri itu sebagai “jihad fi sabilillah” dan menggelari pelakunya sebagai mujahid.

Di tengah pertunjukan teater kekerasan yang mempertontonkan banalitas teror itu, ada pihak-pihak yang diuntungkan. Siapa lagi jika bukan teroris dan simpatisannya. Terorisme seperti kata dasarnya yakni teror tidak memiliki tujuan lain selain meneror mental manusia. Para teroris tidak peduli berapa jumlah korban tewas dan kerugian materiil yang ditimbulkan akibat aksi brutalnya. Mereka hanya peduli seberapa besar aksinya dapat menimbulkan dampak psikologis bagi publik.

Situasi psikologis publik yang dipenuhi ketakutan, kecemasan serta instabilitas sosial itulah tujuan utama terorisme. Aksi kekerasan yang mereka lakukan itu hanyalah alat. Tujuan utamanya ialah mendapatkan panggung tempat mereka memamerkan pertunjukan teater kekerasan. Pelaku bom bunuh diri adalah aktor utama sementara para korban hanyalah pemeran pembantu alias figuran-figuran yang kerap dipersepsikan sebagai collateral damage alias korban yang tidak diinginkan.

Menolak Teater Kekerasan Para Teroris dan Simpatisannya

Maka, selain memberangus teroris yang sudah menjadi tugas aparat, kita, masyarakat juga memiliki kewajiban untuk menggagalkan pertujukan teater kekerasan itu di media sosial. Tagar #KamiTidakTakut yang digaungkan pasca terjadinya teror bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar adalah salah satu upaya meredam penyebaran teror digital. Tagar #KamiTidakTakut mengajak netizen untuk tidak tunduk pada kehendak teroris untuk menciptakan instabilitas sosial akibat rasa cemas dan panik yang berlebihan.  

Selain mengamplifikasi tagar #KamiTidakTakut, cara lain yang bisa ditempuh untuk membendung arus teror digital di dunia maya adalah dengan tidak membagikan ulang foto atau video pelaku maupun korban teror di media sosial. Sebaran foto dan video pelaku maupun korban teror secara masif akan melahirkan gelombang kecemasan, ketakutan, bahkan ketakutan.

Arkian, mari biarkan aparat keamanan bekerja mengungkap kasus teror bom bunuh diri ini. Identitas si pelaku dan afiliasinya memang sudah terungkap. Pelaku diketahui merupakan anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Meski demikian, aparat tentu perlu bekerja keras untuk mengungkap lebih jauh jaringan teroris di Indonesia. Ke depan tantangan memberangus terorisme tampaknya kian berat.

Aksi-aksi terorisme kini lebih banyak dilakukan secara tunggal alias lone wolf terorrisme. Aksi teror tunggal yang dilakukan secara sporadis dan minim perencanaan itu justru kerap sulit dipantau aparat. Meski aksi teror yang dilakukan cenderung berskala kecil, namun dampak destruktifnya tidak bisa dipandang sepele.

Aksi teror, terlepas dalam skala besar, menengah, maupun kecil merupakan ancaman tidak hanya bagi keamanan masyarakat, namun juga ketahanan bangsa dan negara. Secara fisik, teror dapat membahayakan keselamatan umat manusia dan menimbulkan kerugian material. Sedangkan secara psikis, fenomena terorisme berdampak pada rusaknya struktur kebangsaan dan kenegaraan dari dalam.

This post was last modified on 9 Desember 2022 1:10 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago