Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memiliki kekuatan luar biasa dalam menjaga keadilan dan keseimbangan di tengah keberagaman bangsa. Kemampuannya untuk merangkul semua golongan menjadi pondasi kuat dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk ideologi ekstrem yang berpotensi merusak integritas bangsa.
Pancasila tidak memihak pada satu kelompok atau agama tertentu, melainkan mencerminkan seluruh elemen masyarakat Indonesia. Namun, di tengah semangat keberagaman ini, intoleransi terus menjadi ancaman yang nyata, baik dari mayoritas maupun minoritas.
Seringkali, ketika berbicara tentang intoleransi, kita langsung terfokus pada perilaku mayoritas terhadap minoritas. Namun, kenyataannya, intoleransi dapat muncul dari kelompok manapun, termasuk dari agama-agama minoritas. Pemahaman yang sempit terhadap ajaran agama, fanatisme, dan sentimen emosional yang tidak didasari ilmu, menjadi faktor yang sering kali menyebabkan sikap intoleransi. Penting untuk diingat bahwa sikap fanatik terhadap agama, tanpa pemahaman yang mendalam, berisiko memunculkan eksklusivitas yang pada akhirnya berujung pada intoleransi.
Sentimen dan fanatisme keagamaan yang berkembang saat ini bukan lagi hanya soal pemahaman agama yang mendalam, tetapi lebih kepada “ghirah” atau sentimen emosional yang didominasi oleh ketidaksukaan terhadap kelompok lain. Sentimen semacam ini rentan digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memicu konflik dan kekerasan yang pada akhirnya mencederai nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, dan solidaritas sosial yang kita bangun bersama.
Menghadapi tantangan sentiment dan fanatisme agama, pendidikan agama yang mendalam dan berbasis pada ilmu adalah solusi utama. Agama seharusnya mengajarkan kebaikan, perdamaian, dan persatuan. Sayangnya, pemahaman yang keliru tentang ajaran agama sering kali dimanfaatkan untuk membenarkan kekerasan atau tindakan intoleransi. Ketika fanatisme atau sentimen agama tidak dibarengi dengan ilmu, yang muncul adalah sikap sempit dan eksklusif, yang justru berlawanan dengan esensi ajaran agama itu sendiri.
Fanatisme, dilihat dari sudut pandang nasionalisme maupun agama, pada dasarnya cenderung mengarah pada intoleransi. Ini menjadi penting untuk diingat, agar kita tidak terbawa arus sentimen yang memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Sikap beriman dengan ilmu, bukan hanya dengan sentimen emosional, menjadi jalan utama untuk menjaga kerukunan dan keberagaman.
Peristiwa yang terjadi di penghujung tahun 2016 menunjukkan bagaimana intoleransi beragama semakin menjadi tantangan serius. Kasus di Yogyakarta, di mana sekelompok orang menuntut Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk menurunkan baliho yang menampilkan wanita berjilbab, adalah contoh nyata bagaimana simbol agama bisa menjadi alat untuk memicu ketegangan. Jilbab yang seharusnya menjadi simbol kesucian dan kebaikan, justru dijadikan alat untuk mempertegas perbedaan dan memecah belah masyarakat.
Kasus lain terjadi di Bandung, ketika sekelompok orang membubarkan prosesi ibadah umat Kristiani. Kedua peristiwa ini menunjukkan bagaimana sentimen agama sering kali menjadi dasar bagi kelompok tertentu untuk mengekspresikan intoleransi. Padahal, konflik ini bukanlah konflik agama, melainkan konflik yang dipicu oleh sentimen beragama yang salah arah.
Sentimen agama, ketika tidak dikendalikan dengan baik, bisa berubah menjadi fanatisme yang berbahaya. Sejarah telah mengajarkan bahwa sentimen agama sering kali digunakan untuk membenarkan kekerasan, ancaman, dan balas dendam. Sentimen ini, ketika digabungkan dengan kekuatan mayoritas dan dilandasi oleh asumsi bahwa kelompok lain adalah ancaman, mudah sekali meledak menjadi konflik terbuka.
Fanatisme agama muncul dari rasa cinta yang berlebihan terhadap agama, tanpa diimbangi dengan pemahaman yang mendalam. Dalam kondisi ini, agama tidak lagi menjadi alat perdamaian, melainkan alat pembenaran untuk berbagai tindakan kekerasan. Bahkan, di zaman modern seperti sekarang, kita masih melihat bagaimana sentimen agama terus digunakan untuk memicu perpecahan, bukan untuk membangun kebersamaan.
Pentingnya membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran agama dan toleransi. Sentimen agama, jika tidak dikelola dengan baik, akan terus menimbulkan konflik yang tidak perlu. Kita perlu lebih berhati-hati dalam mengaitkan intoleransi dengan ajaran agama. Banyak kasus intoleransi sebenarnya bukan disebabkan oleh ajaran agama itu sendiri, melainkan oleh sentimen yang salah arah.
Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, sudah saatnya kita melihat keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman. Agama tidak boleh lagi digunakan sebagai alat pembenaran untuk tindakan kekerasan. Sebaliknya, kita harus menempatkan agama sebagai sumber kedamaian dan kerukunan. Hanya dengan cara ini kita bisa menjaga keutuhan bangsa dan melindungi integritas Pancasila sebagai dasar negara yang mampu merangkul semua golongan.
Intoleransi tidak bisa dibiarkan tumbuh dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Sentimen dan fanatisme agama harus dikelola dengan baik melalui pendidikan yang berbasis ilmu. Hanya dengan beriman yang didasari pemahaman yang benar, kita bisa menjaga kerukunan antarumat beragama dan menghindari konflik yang tidak perlu. Pancasila, sebagai dasar negara, telah memberikan kita landasan yang kuat untuk merangkul semua golongan. Tugas kita adalah memastikan bahwa landasan ini tetap kokoh dan mampu menghadapi segala tantangan di masa depan.
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…