25 September 2024, kita digemparkan dengan kasus seorang Aparat Sipil Negara di Bekasi yang melarang tetangganya beribadah. Sang ASN tersebut kemudian menerima kecaman dan kritik dari berbagai pihak termasuk wali kota Bekasi. Dilansir oleh berbagai berita nasional seperti Kompas, CNN, dan Sindo, sang ASN tersebut kemudian meminta maaf atas kesalahannya (Kompas, 2024).
Kabar buruk dari Bekasi tadi kian memperburuk citra umat muslim. Tindakan intoleran tersebut adalah satu dari sekian banyak fakta bahwa banyak komunitas Muslim yang sangat fanatik dan radikal.
Di tempat yang lain, tepatnya di Pare-pare, kita dikagetkan lagi dengan berita kaum muslim radikal yang menolak pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel. Alasan kaum muslim di sana, Pare-pare adalah kota dengan mayoritas umat Muslim. Komunitas muslim menggelar demo penolakan kendati sekolah Kristen Gamaliel sudah mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Pemerintah kemudian mematuhi desakan umat muslim. Ade Armando, juru bicara Partai Solidaritas Indonesia, mengatakan bahwa penolakan tersebut konstitusional alias tidak sesuai dengan Pancasila (CNN, 2024). Negara Indonesia menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi oleh karena itu, penolakan umat Muslim justru bertentangan dengan ajaran negara dan agama mana pun.
Dari pengalaman Sekolah Kristen Gamaliel dan kelompok Kristen di Bekasi, kita dapat melihat bahwa praktik fanatik sekelompok Muslim nyata terjadi di Indonesia. Akan tetapi, menurut saya, intoleransi tidak mengenal agama. Intoleransi dapat dipraktikkan oleh siapa saja termasuk kelompok agama minoritas seperti Kristen dan Katolik.
Sebagai anak Kristen yang lahir besar di daerah mayoritas Kristen, tepatnya provinsi Nusa Tenggara Timur, saya banyak menjumpai praktik intoleransi dari komunitas Kristen terhadap kelompok agama lain terutama muslim. Sikap radikalisme kelompok Kristen nyata terjadi dalam praktik keseharian. Berikut saya menjabarkan dua contoh intoleransi melalui perda Injil di Manokwari dan pengalaman migran muslim di daerah tanah Timor. Saya kemudian menawarkan etika keramahtamahan sebagai sikap untuk melunturkan arogansi dan fanatisme kelompok Kristen demi terciptanya sikap saling menghormati antar umat beragama di daerah Indonesia Timur.
Perda Injil dan Diskriminasi Pada Migran Muslim
Selama beberapa tahun, kota Manokwari, di Papua Barat, menerapkan peraturan daerah Injil (Perda Injil). Keputusan tersebut adalah respons terhadap Perda syariah yang diterapkan di berbagai tempat seperti Aceh dan Padang. Perda Injil memunculkan berbagai kasus intoleransi seperti pembatalan pendirian masjid di kota Manokwari (Sindo, 2021). Perda injil, singkatnya, menghidupkan kerugian bagi komunitas muslim Jawa di Manokwari.
Tahun 2023, karena keburukan yang muncul karenanya, Bupati Manokwari Hermus Indou ingin merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Manokwari Kota Injil (detiknews, 2023). Menurut sang Bupati, Perda tersebut meruncingkan sikap intoleransi dari kelompok Kristen kepada kelompok Muslim. Sampai saat ini, kajian dan revisi terhadap perda injil masih terus dilangsungkan untuk menciptakan kota Manokwari yang lebih toleran dan pluralis.
Kasus kedua datang dari provinsi saya, Nusa Tenggara Timur, secara lebih spesifik pengalaman muslim migran dari daerah Jawa yang tinggal di kampung Oe’ekam. Teman saya, Jordan Diwi, dalam penelitiannya berjudul Fenomena Konversi Agama di Amanuban Timur (UKSW, 2021), menceritakan bagaimana komunitas Kristen mendiskriminasi kelompok muslim migran. Sama dengan pengalaman di Manokwari, komunitas muslim kesulitan mendirikan masjid. Kelompok Kristen, sebagai mayoritas, melarang laju konversi agama dengan cara mempersempit ruang hidup komunitas muslim. Mereka tidak mendapatkan akses publik seperti kesempatan berdagang di pasar, pendidikan agama Islam di sekolah, dan berbagai layanan publik lainnya. Diskriminasi tersebut juga terjadi di berbagai tempat seperti kupang, sumba, dan Flores (Mike Quinlan, 2022).
Pengalaman komunitas muslim di Manokwari, Sumba, dan Oe’ekam menunjukkan bahwa komunitas Kristen sebagai kelompok mayoritas sangat intoleransi. Radikalisme dan intoleran tidak hanya muncul dari komunitas Muslim melulu, komunitas Kristen pun juga sangat intoleran. Oleh karena itu, intoleran tidak melekat pada agama melainkan muncul dari oknum tertentu yang memiliki pandangan yang keliru dan dangkal tentang agama.
Menyikapi sikap intoleran komunitas Kristen, saya pun menawarkan paradigma keramahtamahan sebagai sikap baru komunitas Kristen untuk keluar dari sikap intoleran terhadap komunitas Muslim. Keramahtamahan adalah sikap utama yang perlu dipraktikkan komunitas Kristen untuk menjadi warga negara yang baik yang berakar pada Pancasila.
Etika Keramahtamahan dan Kesaktian Pancasila
Seorang pakar Kristen dari Malaysia Bernama Amos Yong, dalam bukunya Hospitality and The Other (2008), menawarkan keramahtamahan sebagai cara bersikap orang Kristen di tengah pluralisme. Bagi Amos Yong, banyak kisah Alkitab yang menekankan sikap menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan jender. Yong memberi contoh seperti kisah Israel dan Kanaan, perumpamaan Samaria yang baik hati, dan kisah Janda di Sarfat, sebagai contoh keramahtamahan dalam Alkitab. Singkat kata, Yong menegaskan bahwa ajaran Kristen tidak mendukung adanya sikap intoleran. Sebaliknya, dalam etika keramahtamahan, orang Kristen dituntut untuk menghormati keberagaman.
Menurut saya, etika keberagaman sangat penting dan relevan dengan falsafah Pancasila. Dalam Pancasila, terdapat nilai-nilai yang menjunjung penghormatan pada keberagaman. Oleh karena itu, nilai Pancasila adalah paham dasar dari etika keramahtamahan kekristenan. Sebagai warga negara Indonesia, orang Kristen wajib menjunjung tinggi keberagaman sebagai dasar iman Kristen sesuai perintah keramahtamahan dalam Alkitab. Dengan kata lain, sikap intoleran adalah praktik yang bertentangan dengan ajaran Kristen dan juga Pancasila.
Sebagai langkah praktis, saya mengusung beberapa sikap keramahtamahan bagi komunitas Kristen untuk menghentikan intoleran pada komunitas Muslim di Indonesia Timur. Pertama, komunitas Kristen menjadikan Pancasila sebagai dasar hidup bersama. Pancasila adalah nilai dasar bernegara yang sangat relevan dengan etika keramahtamahan dalam Alkitab. Kedua, komunitas Kristen memberi ruang kesempatan bagi komunitas Islam untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Penghormatan pada kelompok Muslim sangat relevan dengan dasar kelima Pancasila yaitu keadilan sosial. Ketiga, organisasi keagamaan seperti Gereja juga turut memediasi konflik antara komunitas Kristen dan Islam. Gereja mendukung perubahan sosial dengan cara mendidik jemaat Kristen untuk menghormati komunitas Islam sebagai dasar dari etika keramahtamahan. Berdasarkan tiga langkah ini, saya meyakini komunitas Kristen akan keluar dari sikap intoleran dan mendukung realisasi kesaktian Pancasila sebagai dasar hidup bersama dalam semangat keramahtamahan di bumi Indonesia.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…