Saat kendaraan rusak, orang datang ke bengkel. Ketika tubuh sakit orang pergi ke dokter. Bermasalah dengan kejiwaan, orang bertanya pada psikolog. Kepingin potong rambut, datangi tukang cukur. Serahkan dan tanyakanlah urusan pada ahlinya. Semua orang tahu itu.
Tapi kenapa dalam hal agama orang sering merasa paling tahu dan paling benar?
Dari media sosial yang sudah jadi bagian dari rutinitas sehari-hari, kita sering melihat orang yang membagikan tautan provokatif terkait isu-isu agama lalu menyimpulkan dengan terburu-buru.
Ada berita sensitif langsung menuduh macam-macam. Ada perdebatan soal agama banyak yang langsung menyesatkan atau mengafirkan pihak yang berbeda. Semua dilakukan secara terbuka. Dan besok atau lusa, ketika ada sanggahan atau berita pembanding, ia sudah enggan merevisi pendapatnya.
Internet dan media sosial yang mengagungkan kecepatan dan kebaruan, kadang malah menyulitkan orang untuk mempelajari sebuah masalah secara menyeluruh. Banyak terjadi, hanya dengan membaca satu-dua artikel tentang agama, orang sudah merasa sanggup menasihati dan menilai orang lain. Membaca satu-dua status atau twitt dari orang yang mengaku ustadz, sudah merasa bisa mengafir-kafirkan orang lain.
Tidak jarang kita melihat orang berkata-kata kasar, menuduh macam-macam, mengungkit aib pribadi yang belum terbukti kebenarannya, sampai memberi cap sesat bahkan kafir, kepada orang atau kelompok seagama yang berbeda pendapat.
Sikap seperti ini jelas tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad, tidak juga diajarkan dalam Islam.
Untuk menghindari sikap seperti itu, sebenarnya kita cukup mengingat prinsip klise di atas, tanya pada ahlinya. Maka dalam soal-soal agama, jangan biasakan terburu-buru membuat kesimpulan. Tanyakanlah kepada ahlinya. Para kiai dan ulama.
Di Indonesia dalam hal keagamaan (baca: Islam) kita beruntung punya banyak kiai dan ulama yang menjadi pakar di bidang masing-masing. Ilmu mereka sudah puluhan tahun diamalkan dalam lembaga pendidikan seperti pesantren atau semacamnya, sudah diuji berkali-kali di forum-forum yang melibatkan sesama ulama.
Sebagaimana di kalangan akademisi, para kiai dan ulama memelihara tradisi merujuk pendapat tokoh-tokoh terdahulu. Dalam hal keislaman, rujukan ini untuk menjamin sandaran pendapatnya mencapai sedekat mungkin pada keterangan dari Nabi Muhammad.
Hal ini pernah dipraktikkan secara terbuka di media sosial oleh K.H. Mustofa Bisri, ketika menerangkan tentang makna ikhlas. Kiai yang akrab disebut Gus Mus ini merunut rantai rujukannya dengan menyebut puluhan nama berbeda zaman, sampai kepada Hudzaifah r.a yang merupakan sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad.
Soal ikhlas, Hudzaifah r.a berkata, “aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, ikhlas itu apa?”
Rasulullah menjawab, “aku pernah menanyakan tentang ikhlas itu kepada malaikat Jibril a.s, dan ia menjawab: aku pernah menanyakan itu kepada Allah Rabbul Izzah, dan Allah menjawab: ikhlas ialah rahasia di antara rahasia-rahasia-Ku, yang kutitipkan di hati hamba-Ku yang Aku cintai.”
Seorang kiai yang sangat dihormati seperti Gus Mus pun tidak berani sembarangan membuat kesimpulan soal makna ikhlas, yang bukan termasuk tema yang sensitif.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…