Temu Muda Muslimah 2024 yang digelar di Palembang kiranya dapat dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, kegiatan itu menjadi gambaran bahwa agama Islam tidak membatasi kiprah perempuan di ranah publik. Acara itu juga membuktikan bahwa muslimah memiliki peran siginifikan di luar ranah domestik alias rumah tangga.
Namun, di sisi lain kegiatan itu juga menandai bahwa gerakan atawa aktivisme perempuan kerapkali masih terjebak dalam ortodoksi keagamaan dan juga ideologi transnasional. Temu Muda Muslimah 2024 yang mengusung tema “The Next Level Activism: We Aspire, We Engage, & We Stand for Islam Kaffah” adalah bukti nyata betapa aktivisme perempuan Islam masih kerap terjebak pada ortodoksi dan ideologi transnasional.
Mengapa bisa demikian? Tentu ada banyak faktor mengapa gerakan perempuan rawan terjebak dalam propaganda ortodoksi dan ideologi transnasional. Pertama, perempuan adalah ujung tombak regenerasi masyarakat, termasuk juga organisasi keagamaan. Perempuan akan melahirkan kader-kader potensial yang menjadi penerus gerakan dimasa depan.
Gerakan radikal melihat potensi itu. Maka, mereka berusaha melibatkan dan merekrut sebanyak mungkin perempuan, bahkan sejak usia belia untuk bergabung di gerakannya. Bisa dibayangkan jika para perempuan yang terlibat gerakan radikal itu memiliki anak, tentu mereka akan mendidik anaknya dengan perspektif keagamaan ortodoks sebagaimana menjadi halun organisasinya.
Kedua, perempuan dipandang lebih luwes dalam menyuarakan isu-isu kontroversial seperti khilafah, formalisasi syariah, jihad fi sabilillah dan sebagainya. Gaya komunikasi perempuan yang cenderung mengedepankan simpati ketimbang logika, diklaim lebih efektif untuk menarik simpati masyarakat, utamanya generasi muda.
Kaum radikal memahami betul keunggulan perempuan dalam berkomunikasi secara empatik. Maka, mereka mewadahi perempuan ke dalam sebuah gerakan yang menyokong kepentigan ideologis mereka.
Faktor ketiga dan ini yang paling umum ialah kenyataan bahwa banyak perempuan yang memiliki ghiroh keagamaan tinggi, namun tidak diimbangi dengan pengetahuan agama yang mumpuni. Inilah yang dimanfaatkan oleh para eksponen gerakan radikal untuk merekrut perempuan.
Banyak indoktrinasi dan rekrutmen organisasi radikal yang dikemas dalam bentuk kegiatan agama. Misalnya kajian, majelis, liqo’, tarbiyah, dan sebagainya. Dari kegiatan itulah, proses indoktrinasi dan rekrutmen perempuan oleh gerakan radikal terjadi selama bertahun-tahun.
Fenomena ini tentu sangat ironis. Islam tidak melarang perempuan berkiprah di luar domestik. Bahkan, Islam mendorong perempuan mengaktualisasikan diri di ruang publik. Di era lampau, banyak perempuan menjadi ulama ahli fiqih dan tafsir, bahkan sufi. Pendek kata, aktivisme perempuan dalam Islam bukanlah hal tabu apalagi haram.
Menyelamatkan Gerakan Perempuan dari Infiltrasi Radikalisme-Ekstremisme
Menjadi sangat disayangkan jika gerakan atau aktivisme perempuan hari ini justru ditunggangi oleh agenda kelompok radikal transnasional. Adalah hal yang berbahaya jika perempuan terlibat dalam aktivisme ideologi transnasional. Tersebab, perempuan kelak akan menjadi ibu dan mendidik anak. Apa jadinya jika seorang ibu memiliki pandangan keagamaan yang ortodoks, apalagi radikal-ekstrem?
Kontroversi kegiatan Temu Muslimah Muda 2024 kiranya menjadi momentum untuk membenahi gerakan atau aktivisme perempuan Islam. Gerakan perempuan Islam perlu diselamatkan dari infiltrasi ideologi transnasional. Jangan biarkan kaum radikal mengeksploitasi gerakan perempuan demi agenda ideologis-politis mereka.
Sebaliknya, gerakan perempuan perlu diarahkan untuk menyokong sejumlah hal strategis yang berkontribusi langsung dan konkret untuk umat dan masyarakat. Antara lain, gerakan perempuan idealnya diarahkan pada sumbangsih terhadap dunia pengasuhan anak dan pendidikan dalam konteks luas.
Aktivisme perempuan idealnya berkontribusi pada upaya menyusun metode pengasuhan dan pengajaran yang bertujuan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan relijius, namun juga nasionalis. Perempuan sebagai ibu tentu punya andil signifikan dalam hal kepengasuhan dan pendidikan anak.
Selain itu, gerakan perempuan Islam kiranya juga harus diarahkan pada upaya meningkatkan pemberdayaan sosial-masyarakat. Aktivisme perempuan idealnya menyumbang andil langsung pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi.
Terakhir, namun yang terpenting, gerakan perempuan kiraya juga harus diarahkan untuk membumikan paradigma moderasi beragama di masyarakat. Para perempuan harus menjadi agen moderasi beragama. Dimulai di lingkup terkecil, seperti keluarga, lalu lingkungan sekitar, komunitas, masyarakat, serta negara dalam konteks yang lebih luas.
Arkian, kita tentu berharap para perempuan muslim mampu selektif dalam memilih isu gerakan. Jangan sampai, para perempuan muslim Indonesia justru menjadi agen ideologi transnasional yang mengkampanyekan agenda khilafah, formalisasi syariah, jihad fi sabilillah, dan sejenisnya yang justru mengancam eksistensi bangsa.
Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad menyebut perempuan sebagai tiang agama, jika mereka kuat, negara akan kokoh. Sebaliknya, jika perempuan lemah, negara akan keropos dan rapuh dari dalam. Hadist itu sangat relevan dengan situasi kekinian, ketika kian banyak perempuan yang justru terjebak dalam pola pikir keagamaan ortodoks dan gerakan ideologi transnasional berwatak radikal.
Sebagian besar dari kita tentu pernah menonton film tentang makhluk mutan. Yakni organisme yang mengalami…
Ada sebuah pertemuan bertajuk (Temu Muslimah Muda 2024) “The Next Level Activism: We Aspire, We…
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius dengan munculnya aktivisme keagamaan radikal yang menyasar…
Budaya populer merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang mencakup film, musik, media sosial, fashion,…
Banyak survei internasional mengakui bahwa Indonesia lekat nilai-nilai religius dalam setiap denyut nadi warganya. Hampir…
Belum lama ini, saya membaca kembali buku The Death of Expertise karya Tom Nichols. Buku…