Narasi

Terlarang Merendahkan Orang Musyrik

Syeikh Nawawi Banten, dalam al-Futuhat al-Madaniyyah fi Syu’ab al-Imaniyah (hal. 21-22) mengingatkan supaya kita tidak memandang seseorang dengan pandangan kehinaan dan keremehan walaupun ia seorang musyrik (bi ‘ain al-izdira wa al-tashghir wa in kana musyrikan).

Apa sebab? “Khawatir akibatnya. Bisa jadi kemakrifatanmu pada Allah Swt menjadi hilang, padahal orang musyrik itulah yang bisa menjadi sebab Allah Swt memberi makrifat,” tulisnya.

Ungkapan ulama kharismatik asal Banten ini tentu saja bisa ditafsiri secara beragam. Itu sah-sah saja. Orang yang berbeda latar belakang dan kepentingan, niscaya akan memahami teks ini secara tidak sama. Namun secara kasat, itulah yang dinyatakan penulis Marah Labid. Ini sesuai belaka dengan semangat firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang direndahkan) lebih baik dari mereka (yang merendahkan).” (Qs. al-Hujurat: 11).

Dan saya husnudhan, konteks pembicaraan Syeikh Nawawi Banten sejatinya bukan pada ranah akidah atau keyakinan paganistiknya, melainkan lebih pada nilai-nilai kemanusiaannya. Walaupun musyrik, dia tetaplah manusia hamba Allah Swt yang patut dihormati. Sebab jelas, Allah Swt saja memuliakan seluruh hamba ciptaan-Nya, tanpa pandang bulu dan latar belakangnya.

Terkait penghormatan pada anak Adam ini, Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Qs. al-Isra’: 70). Jelas, Allah Swt memuliakan mereka baik di darat maupun di lautan. Aneka rejeki dan kenikmatan dunia dilimpahkan padanya, hatta pada mereka yang ingkar pada-Nya.

Bahkan seluruh manusia, lagi-lagi apapun latar belakang agama dan keyakinannya, telah diciptakan dengan sebaik-baik rupa. Ini juga dalam rangka memuliakan mereka dibanding makhuk ciptaan-Nya yang lain. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs. at-Tin: 4). Dan memang hanya manusialah satu-satunya makhluk Allah Swt yang sempurna, seimbng, indah dipandang dan begitu menyenangkan.

Lebih dari itu, hanya manusialah (dan golongan jin) makhluk di muka bumi ini yang diberinya nalar-akal. al-Insan hayawan nathiq (manusia adalah hewan yang berfikir). Di sinilah nilai kemulian manusia, sehingga kita terlarang merendahkan atau menghinanya. Bisa jadi, dengan merendahkan dan menghina mereka, sama halnya kita merendahkan dan menghina pencipta-Nya. Dan ini tentu saja tidak bisa dibenarkan.

Sudah sepatutnya kita mengagumi dan menakjubi aneka ciptaan-Nya, terutama kehebatan ciptaan-Nya berupa manusia. Tanpa mengagumi semua ini, tentu saja pemahaman kita akan kebesaran Allah Swt (makrifat) akan sirna begitu saja. Dalam bahasa sufi (konon ada yang menyebutnya Hadis), siapa memahami atau mengenali dirinya, maka dia akan memahami atau mengenali Tuhannya. Tak heran, Muhammad Saw acap mengingatkan, cukup fikirkanlah aneka ciptakaan-Nya dan jangan memikirkan Dzatnya (tafakkaru fi khalq Allah wa la tafakkaru fi Dzati Allah).

Dengan demikian menjadi jelas, tidak merendahkan dan menghinakan orang musyrik yang disampikan oleh Syeikh Nawawi itu lebih karena mereka adalah (juga) manusia yang sama-sama diciptakan oleh Allah Swt dengan berbagai kelebihannya dibanding makhluk lainnya. Bahwa mereka tidak sama keyakinannya dengan kita, itu tak lain karena Allah Swt menghendakinnya demikian. Bukankah mudah bagi Allah Swt untuk menjadikan semua umat ini beriman pada-Nya?

Terkait keyakinannya yang paganistik itu, tentu saja kita juga tidak perlu menyetujuinya. Sangat boleh kita bertentangan dengan mereka, namun lakukanlah dengan tindakan-tindakan yang terhormat. Sebagaimana Qs. al-Nahl: 125, jika kita hendak mengajak orang lain menerima ajaran kita, lakukanlah dengan kebijaksanaan (hikmah), nasihat yang luhur (al-mau’idhah al-hasanah) dan dialog dengan cara-cara elegan (wa jadilhum bi allati hiya ahsan).

Jika mereka menolak? Sudahlah! Tinggalkan siapapun yang tidak menerimanya, tanpa perlu menyakiti atau mengintimidasinya. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Tiada paksaan untuk menganut agama tertentu. Allah Swt sendiri tidak pernah rugi jika banyak hamba-hamba-Nya yang enggan menyambut seruan-Nya. Tugas kita sudah selesai, sehingga tidak ada lagi tanggungjawab moral di hadapan-Nya. Dan terkait perbedaan keimanan ini, mutlak kita serahkan pada Allah Swt, karena hanya Dialah satu-satunya yang mampu memberikan taufiq.

Memang benar, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang yang termulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Pandai.” (Qs. al-Hujurat: 13). “Siapakah orang yang paling mulia?” tanya shahabat pada Rasulullah Saw. “Orang yang paling bertaqwa kepada Allah,” jawabnya. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Namun penting dipahami, takwa itu letaknya di hati dan wilayah rahasia (al-sarair). Hanya Allah Swt yang mengetahui isi hati seseorang, karena Ia-lah yang yatawalla al-sarair (menguasai yang rahasia). Tidak semestinya kita yang mengukur ketakwaan orang lain berdasarkan agama kita.

Tidak serta-merta yang bersarung lebih bertakwa dari yang tidak bersarung, sehingga lebih mulia di hadapan Allah Swt. Tidak serta-merta yang bertasbih lebih bertakwa dari yang tidak bertasbih, sehingga lebih mulia di hadapan Allah Swt. Tidak serta-merta yang bersurban dan berjubah lebih bertakwa dari yang tidak bersurban atau yang berjubah, sehingga lebih mulia di hadapan Allah Swt. Tidak serta-merta yang tekun di masjid lebih bertakwa dibanding yang tidak tekun di masjid, sehingga lebih mulia di hadapan Allah Swt. Semua itu hanya tampilan luar, sementara ketakwaan itu tampilan dalam. Dan hanya Allah Swt yang mengetahuinya.

Karena itu, sekali lagi, tidak semestinya kita merendahkan dan menghinakan orang lain karena pilihan keyakinannya yang berbeda dengan kita, hatta orang-orang yang meyekutukan Allah Swt. Muliakanlah mereka sebagai manusia, karena Allah Swt sendiri memuliakannya. Dan kita semua adalah keluarga besar Allah Swt (‘iyal Allah).

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

16 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

16 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

16 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago