Narasi

Terowongan Penghubung Masjid Istiqlal-Gereja Katedral: Benarkah Mencampuradukkan Akidah?

Pada 12 Desember 2024 kemarin, Presiden RI Prabowo Subianto meresmikan terowongan yang mengubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Mirisnya, sebagian orang menganggap terowongan penghubung yang diberi nama “Terowongan Silaturahim” itu dianggap proyek yang bisa mencampuradukkan akidah. Lantas, benarkah seperti itu?

Secara orientasi, pembangunan terowongan penghubung Masjid Istiqlal-Gereja Katedral tak ada korelasi etis untuk menggabungkan akidah. Bahkan, secara “spiritual effect” juga tak akan dapat merusak akidah-iman seseorang. Bahkan, ini justru sebagai bagian dari sublimasi iman yang dapat mengetuk hati kita untuk menjaga kebersamaan (keterhubungan sosial) yang tolerant meskipun berbeda secara keyakinan.

Lalu, jika ada yang bertanya apa dasar argumentasi-dalil, bahwa terowongan silaturahim itu tidak akan mencampuradukkan akidah/iman (menghubungkan) akidah? Secara prinsip, terowongan itu akan menjadi saksi suci dari kebenaran sebuah ayat (Qs. Al-Kafirun:6) “Lakum dinukum waliyadin”. Bahwa perbedaan agama bukan sekadar disikapi sebagai pembeda (pemisah) tetapi perbedaan harus hidup dalam siklus sosial yang terhubung, erat dan terikat satu-sama lain tanpa saling mengganggu.

Jadi Saya memahami, hadirnya terowongan penghubung itu sejatinya tak sekadar dapat mempermudah akses kedua umat ketika ingin ke Masjid atau ke Gereja. Tetapi, ini dapat menghadirkan keterbukaan dan keterhubungan sosial antar dua umat. Melepas sekat-sekat (tembok pemisah) dengan segala keacuhan dalam beragama. Bagaimana, terowongan silaturahim itu akan membuka pola komunikasi interaktif antar kedua umat, bisa saling tegur sapa dan kerekatan sosial antar kedua umat akan terus terikat.

Bahkan, terowongan penghubung antar Masjid Istiqlal-Gereja Katedral ini akan menjadi semangat kita dalam mencegah akar dari paham radikalisme-terorisme. Sebab, penyakit radikalisme-terorisme itu selalu tumbuh di saat hubungan sosial antar umat beragama kita rapuh dan penuh jarak secara sosial. Jadi, terowongan penghubung antar dua umat dalam dua tempat ibadah itu akan menjadi spirit sosial kita bersama dalam mencegah propaganda kaum perusak bangsa itu.

Tidak ada satu kesadaran toleransi yang dibangun dalam ruang sosial yang tertutup. Saya terkadang mengatakan dalam banyak momentum. Bahwa toleransi itu bukan sekadar “menghargai” dalam artian sekadar berhenti diucapan tetapi tidak dalam bentuk tindakan. Artinya, kita masih terjebak dalam ruang lingkup yang penuh dengan kebencian, saling curiga dan penuh ketertutupan satu-sama lain.

Terowongan penghubung antar dua tempat ibadah itu adalah satu gebrakan yang dapat memecah segala kebuntuan toleransi di ruang sosial. Jadi, terowongan penghubung itu akan membentuk akses-akses toleransi yang lebih pro aktif dan terciptanya kedekatan secara emosional. Sebab, toleransi itu hanya akan menjadi barang yang tak berharga apabila kita masih enggan untuk tegur sapa dengan umat agama lain.

Apa yang selama ini kita anggap merusak akidah atau dianggap akan menghubungkan akidah/iman? Saya memahami ini tak lebih dari sebuah prasangka dan kekhawatiran yang tinbul dari kurang-nya keterbukaan sosial kita antar umat beragama. Benalu semacam inilah yang akan kita pangkas lewat terowongan silaturahim yang dapat menghubungkan Masjid Istiqlal-Gereja Katedral itu.

Bahkan kalau kita datang dan berkunjung ke terowongan silaturahim itu. Ada yang menarik dari terowongan penghubung Masjid Istiqlal-Gereja Katedral itu. Di dalam terowongan itu, terdapat hiasan seni karya seniman nasional Sunaryo yang diberi tema Wat Hati (Jembatan Hati). Bagaimana terowongan ini dapat menyadarkan ketulusan hati kita dalam beragama yang bersih dari segala kebencian dan egoisme. Agar, perbedaan kita tetap terhubung dengan kesadaran hati yang tulus serta penuh dengan kesadaran diri yang egalitarian.

Segala kebencian dan permusuhan dalam beragama tak pernah hadir dari perintah atau kebenaran agama. Dia selalu kokoh di atas hati yang sakit dan hati yang membebal penuh kebencian. Lalu melegitimasi (memperalat) agama dan seolah itu sebagai perintah agama. Jadi, terowongan silaturahim itu akan menjadi simbol yang suci yang dapat mempertemukan kedua hati (dua iman) yang akan terus terhubung ke dalam spirit kebersamaan.

Jadi, secara orientasi tak ada korelasi etis bahwa terowongan penghubung antar Masjid Istiqlal-Gereja Katedral dapat menghubungkan (mencampuradukkan akidah). Justru, ini sebagai satu representasi dari kebenaran (sublimasi) dari akidah itu sendiri. Jadi, tetap bersama (terhubung) meski berbeda secara iman dan bisa menjaga keharmonisan adalah bagian dari cahaya akidah/iman yang mapan.

Nur Samsi

Recent Posts

Hermeneutika Selamat Natal; Mengakhiri Debat Nir-Makna Pengharaman Ucapan Natal

Kontroversi ucapan selamat hari Natal telah menjadi debat tahunan yang selalu mencuat di bulan Desember.…

11 menit ago

Revolusi Syam; Mahdiisme Semu dan Utopia Khilafah Rasyidah

Setelah 13 tahun bertahan menghadapi milisi pemberontak, rezim Bashar al Assad akhirnya tumbang. Hanya butuh…

3 hari ago

Kerapuhan Dalil Kewajiban Hijrah ke Suriah

Panggung ajakan untuk menegakkan khilafah mulai digelar ke permukaan pasca kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS)…

3 hari ago

Hari Kesetiakawanan Sosial untuk Memupuk Keharmonisan Masyarakat

Hari Kesetiakawanan Sosial (HKS) yang diperingati setiap tanggal 20 Desember merupakan upaya membangun keharmonisan interaksi…

3 hari ago

“Merawat Tanah Air adalah Jihad Kita”, Mencegah FTF dalam Gejolak Suriah

Sejak munculnya ISIS pada tahun 2014 hingga 2018, sekitar 600 foreign terroris fighter (FTF) atau…

4 hari ago

Hijrah Ke Bumi Syam Tak Seindah yang Kalian Bayangkan!

Penggulingan kepemimpinan Bashar Assad di Suriah oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) tengah mengipnotis segelintir masyarakat…

4 hari ago