Narasi

Tiga Musuh Kebangsaan di Tahun Politik; Disinformasi, Polarisasi, Radikalisasi

Politik itu pada dasarnya memang dinamis dan penuh kejutan. Maka, ketika kita melihat panggung politik nasional yang riuh dengan manuver para elite belakangan ini, seharusnya disikapi dengan santai saja. Bongkar pasang koalisi itu biasa. Begitulah demokrasi berjalan. Ada yang kalanya pihak tertentu kecewa atas manuver pihak lain.

Di level elite, perpisahan dalam koalisi itu mudah menemui titik rekonsiliasi. Sayangnya, hal yang sama tidak terjadi di level masyarakat bawah. Pertikaian elite di level atas acapkali disalahpahami oleh masyarakat sehingga muncul narasi-narasi yang memecah-belah. 

Tahun politik memang selalu menghadirkan tantangan serius bagi bangsa. Ada setidaknya tiga tantangan di tahun politik ini. Pertama, disinformasi yakni penyebaran informasi atau berita palsu yang sengaja dibuat dan disebarluaskan untuk kepentingan tertentu. Di tahun politik, disinformasi yang banyak berbesar umumnya diskenariokan untuk menjatuhkan lawan politik tertentu serta mengadu-domba masyarakat. 

Kita patut berkaca pada Pilpres 2014 dan 2019 serta Pilkada DKI Jakarta yang diwarnai oleh perang hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Kala itu, hoaks dan ujaran kebencian benar-benar merusak ikatan kebangsaan kita. Alhasil, masyarakat terlibat dalam perang opini berkepanjangan yang terutama di media sosial. Sebaran hoaks dan fitnah itu secara psikologis telah merusak mental bangsa. Kita menjadi mudah curiga dan mengalami sindrom ketidakpercayaan (distrust). 

Kedua, polarisasi yakni terbelahnya masyarakat ke dalam dua atau lebih kelompok akibat perbedaan pilihan politik yang berujung permusuhan dan perpecahan. Polarisasi adalah momok paling menakutkan bagi negara majemuk seperti Indonesia. Di tengah masyarakat yang terpolarisasi, provokasi sekecil apa pun bisa menyulut api konflik yang besar.

Sama halnya dengan hoaks dan ujaran kebencian, polarisasi juga mulai merebak sejak era Pilpres 2014. Eksploitasi sentimen identitas dan agama di panggung politik telah melatari munculnya polarisasi di masyarakat kala itu. Ironisnya, ancaman polarisasi itu tampaknya juga tidak bisa hilang sepenuhnya di tahun politik ini. 

Ketiga, radikalisasi yakni proses perubahan pola pikir masyarakat atau individu menjadi lebih fanatik dan militan bahkan ekstrem dalam pandangan kebangsaan dan keagamaan. Radikalisasi umumnya mengemuka ke dalam pergeseran pola pikir dan perilaku yang mengarah pada sikap intoleran, eksklusif, dan adaptif pada cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah.

Radikalisasi akan menjadi kian membahayakan jika dijustifikasi dengan tafsir keagamaan yang menyimpang. Itulah fenomena yang belakangan marak terjadi di Indonesia. Di tahun politik, narasi radikal muncul dal banyak wujud. 

Antara lain politik identitas yang menjadikan sentimen kesukuan dan kesukuan sebagai dagangan alias komoditas politik. Narasi radikal juga mewujud dalam politisasi agama dimana agama dijadikan sebagai alat alias kendaraan untuk meraih kekuasaan. 

Bagaimana Menjaga Persatuan di Tahun Politik?

Musuh Kebangsaan itu mutlak harus dilawan agar bangsa ini tetap utuh dan tidak terpecah belah. Maka, perlu gerakan kolektif antara elite politik dan masyarakat bawah. Para pelaku politik praktis terutama elite idealnya menghindari cara berpolitik dan berdemokrasi yang kotor. Seperti politik identitas, politisasi agama, apalagi hoaks dan ujaran kebencian. Percaya atau tidak, perilaku elite akan ditiru oleh masyarakat di level bawah. Elite yang mengumbar hoaks dan kebencian untuk menjatuhkan lawan politik akan menginspirasi massa di kelompok bawah untuk melakukan hal yang sama. 

Di saat yang sama, masyarakat juga perlu menjaga persatuan di tahun politik ini. Jangan mudah diadu-domba dan diprovokasi dengan berbagai isu yang tidak jelas kebenarannya. Publik harus pandai menahan diri untuk tidak ikut arus berkomentar atau beropini negatif tentang dinamika politik jika tidak paham benar duduk perkaranya. 

Tiga musuh bangsa di tahun politik, yakni disinformasi, polarisasi, dan radikalisasi bisa dilawan dengan pendidikan dan literasi politik. Publik sebagai konstituen dan calon pemilih harus memiliki kemampuan untuk mengenali narasi yang beredar baik di dunia nyata maupun maya.

Publik harus memiliki independensi dalam menilai calon pemimpin tanpa terdistraksi oleh narasi kebencian dan provokasi yangs sengaja dibangun pihak tertentu. Melawan disinformasi, polarisasi, dan radikalisasi ini penting untuk menutup celah kelompok ekstrem menunggangi pesta demokrasi demi mewujudkan agenda terselubungnya.

Kaum radikal-ekstrem sejatinya senang jika bangsa ini terpecah-belah karena isu politik dan agama. Mereka akan memanfaatkan situasi konflik itu untuk mengambil alih kekuasaan secara halus dan mengubah sistem serta bentuk negara sesuai kemauan mereka. Hal inilah yang harus dicegah bersama.

This post was last modified on 4 September 2023 11:57 AM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago