Narasi

Toleransi Aktif; Membangun Nalar Keberagaman Partisipatoris di Dunia Pendidikan

Ada kecenderungan yang memprihatinkan di kalangan kaum muda generasi Z. Yakni fenomena eksklusivisme dalam berteman dan berjejaring sosial. Sejumlah survei menunjukkan bahwa remaja dan anak muda hari ini cenderung hanya mau berteman dengan yang seagama. Survei PMD (Pusat Media Damai) BNPT mengonfirmasi hal tersebut.

Di sisi lain, ada sejumlah survei yang menunjukkan bagaimana eksklusivisme berkembang masif di kalangan siswa sekolah. Alvara Institute misalnya pernah mengungkapkan hasil survei bahwa mayoritas anak sekolah menengah hanya mau dipimpin oleh ketua OSIS yang seagama. Meraka juga lebih memilih diajar oleh guru yang seagama. Gejala ini menunjukkan adanya embrio ekskluvisme dan intoleransi di kalangan siswa sekolah.

Sekilas, dari luar relasi sosial keagamaan di lingkungan sekolah memang terkesan baik-baik saja. Sekolah negeri terbuka untuk semua golongan agama, suku, maupun ras. Siapa pun boleh bersekolah di lembaga pendidikan negeri, terlepas dari latar belakang sosial keagamaannya.

Namun, tanpa disadari, benih intoleransi tumbuh subur di banyak sekolah negeri. Pemaksaan jilbab bagi siswi non muslim, dan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas terus saja terjadi.

Apa yang terjadi di dunia pendidikan hari ini adalah toleransi semu (pseudo tolerance). Yakni fenomena ketika toleransi hanya terjadi di permukaan. Kelompok yang berbeda hidup bersama dan seolah saling menghormati, padahal di dalamnya terjadi relasi kuasa yang timpang antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Toleransi semu harus diakui menyimpan sejumlah residu. Antara lain, masih adanya celah intoleransi bahkan kekerasan berbasis agama. Toleransi semu adalah model kerukunan yang rapuh dan rentan konflik. Maka dari itu, penting bagi dunia pendidikan kita untuk bertransformasi dari model toleransi semu ke toleransi aktif.

Toleransi aktif adalah model relasi hubungan antar-agama yang menuntut para individu atau kelompok dalam sebuah masyarakat yang majemuk untuk hadir dan berpartisipasi membangun jembatan komunikasi antaragama. Toleransi aktif berangkat dari premis atau keyakinan bahwa toleransi semu tidak cukup menganulir potensi intoleransi dan kekerasan berbasis agama di dunia pendidikan.

Lantas, bagaimana menerapkan toleransi aktif di dunia pendidikan? Mengutip gagasan Paulo Freire, esensi pendidikan itu adalah mendorong anak didik untuk berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah sekaligus mencari solusi atas problem sosial kemanusiaan yang terjadi di sekelilingnya. Freire mengistilahkannya sebagai pendidikan emansipatoris-partisipatoris. Yakni pendidikan yang membebaskan anak didik dari kejumudan berpikir dan mendorong anak didik untuk terlibat langsung dalam transformasi sosial. Dalam konteks membangun toleransi aktif di dunia pendidikan, itu artinya guru dan siswa tidak sekadar memahami definisi toleransi, namun juga mempraktikkannya secara konkret.

Toleransi tidak cukup dijelaskan di ruang kelas. Toleransi harus dipraktikkan di luar kelas. Jika praktikum biologi atau fisika dilaksanakan di laboratorium, maka praktik toleransi bisa dilakukan dengan berbagai kegiatan.

Paling mudah misalnya adalah mengajak anak didik mengenal rumah ibadah agama lain, bertemu dengan komunitas agama lain, dan menjalin komunikasi atau kerjasama dengan kelompok agama lain.

Anak didik harus didorong untuk tidak hanya menghormati komunitas agama lain. Lebih penting dari itu, anak didik harus didorong untuk berpartisipasi dalam membangun jembatan dan relasi antaragama.

Dengan begitu, anak didik akan memiliki nalar keberagaman yang partisipatoris. Yakni nalar beragama yang aktif dan terlibat langsung dalam upaya menjaga kerukunan antaragama. Umat beragama yang partisipatoris merasa tidak cukup hanya dengan melaksanakan ibadah saja. Mereka merasa perlu untuk mengejawantahkan nilai agama dalam kehidupan sosial.

Untuk menumbuhkan nalar beragama emansipatoris-partisipatoris di dunia pendidikan, maka kita wajib mengubah model dan desain pembelajaran agama. Pelajaran agama yang selama ini lebih banyak berbasis pada hafalan dan indoktrinasi harus diubah ke pendekatan yang lebih terbuka. Anak didik tidak boleh hanya belajar agama sendiri, namun juga wajib belajar tentang agama lain.

Tujuannya adalah untuk mengenal ajaran agama lain. Dengan mengenal ajaran agama lain, diharapkan tidak akan ada lagi labelisasi negatif yang kerap memicu tindakan intoleransi bahkan kekerasan.

Momen perayaan hari besar keagamaan seperti Waisak, Paskah, Maulid Nabi, Nyepi dan semuanya kiranya bisa dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan spirit beragama Emansipatoris. Di momen perayaan hari besar keaagamaan itu, anak didik kiranya bisa diajak untuk mengenal ajaran agama lain.

Di momen perayaan Waisak misalnya, anak didik bisa diberikan tugas untuk meneliti dan menulis tentang makna Waisak. Apa saja tradisi dalam perayaan Waisak. Dan bagaimana Waisak serta budaya agama Hindu ikut andil membentuk wajah sosial dan kultural Indonesia saat ini.

Hal yang sama bisa diterapkan dalam konteks peringatan hari besar keagamaan lain. Itu artinya, hari besar keaagamaan tidak hanya dimaknai sebagai seremoni atau libur nasional belaka. Lebih dari itu, perayaan hari besar keaagamaan adalah momentum untuk membangun kesadaran dan sensitivitas lintas agama. Perayaan hari besar keagamaan adalah bukti bahwa kita hidup di tengah bangsa yang majemuk yang menghargai hak beragama tiap individu dan memposisikan identitas keagamaan dalam perspektif kesetaraan.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Intoleransi Pasif; Bom Waktu yang Harus Diantisipasi Sejak Dini

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, budaya, dan bahasa yang luar biasa. Di…

15 jam ago

Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Pendidikan Empiris Menangkal Intoleransi Pasif

Indonesia, sebagai sebuah entitas bangsa-negara yang dibangun di atas fondasi pluralitas sosio-kultural yang luar biasa,…

16 jam ago

Hardiknas 2025: Menjadikan Pendidikan sebagai Alat Melawan Ideologi Kekerasan

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai penghormatan kepada Ki Hajar…

4 hari ago

Jihad al Tarbiyah; Rekam Jejak Ormas Islam dalam Pendidikan Nasional

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sebuah momen untuk mengingat bagaimana…

4 hari ago

Refkleksi Hardiknas; Ormas Sebagai Katalisator Pendidikan Berbasis Civil Society

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei adalah momentum tepat untuk melihat kembali kontribusi organisasi…

4 hari ago

Menyoal Ormas Paramiliter; Dari Perebutan Teritorial ke Ancaman Stabilitas Sosial

Pasca Reformasi, kita dihadapkan pada gelombang kemunculan organisasi paramiliter. Ormas paramiliter merujuk pada organisasi kemasyarakatan…

6 hari ago