Narasi

Toleransi dan Cinta Damai

Diskursus toleransi (tasamuh) sebagai isu dunia –terlebih di dunia Islam, lebih khusus Indonesia- selalu hangat dan hampir bisa dipastikan aktual (up to date).  Dengan pluralitas suku, bangsa, bahasa, dan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, tema toleransi seolah menjadi topik utama. Terlebih sejak munculnya tragedi bom bali, bom JW Marriot, bom Cirebon, bahkan yang terbaru, bom Sarinah.  Pertanyaannya, apa makna toleransi? Dari mana datangnya? Dan Apa urgensinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Artikel pendek ini mencoba mengurai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Dalam sebuah pengantar buku berjudul, Sikap NU terhadap kebijakan pemerintah atas umat Islam, Muh. Nuh (Mantan Mendikbud) mengajukan pertanyaan-pertanyaan di atas sambil mengutip pendapat seorang filsuf Prancis, Voltaire:

“What is tolerance? – It is the consequence of humanity. We are all formed of frailty and error; let us pardon reciprocally each other’s folly- that is the first law of nature.

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah konsekuensi dari sisi kemanusiaan seseorang. Ia timbul dari kesadaran diri akan kelemahan dan kekurangan manusia. Faktor keterbatasan dan kekurangan ini mendorong manusia untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Senada dengan di atas, Fathullah Gulen, seorang pemikir asal Turki, menyatakan:

Toleransi adalah sebuah istilah yang kadang-kadang kita gunakan untuk menggantikan kata-kata rasa hormat, kasih sayang, kemurahan hati, atau kesabaran, ia merupakan unsur terpenting dari sistem moral yang merupakan sumber disiplin spiritual yang sangat penting dan kebajikan surgawi bagi orang-orang hebat.  (Fathullah Gulen, 2011)

Dengan fakta keberagaman suku, ras, agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang sedemikian plural ini, mewujudkan toleransi adalah suatu keniscayaan. Mengapa? Sebab, jika pluralitas adalah sebuah kenyataan tak terelakkan, maka toleransi akan menjadi persyaratan untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat yang majemuk dan pluralistik. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kemajemukan, toleransi diperlukan karena realitas pluralistik.

Dalam kata-kata yang sederhana, toleransi didasarkan pada perbedaan dan keanekaragaman. (Gustiana Isya Marjani, 2012). Dengan toleransi, kita dapat memahami kekeliruan dan kesalahan orang lain, menghormati gagasan dan ide yang berbeda, dan memaafkan segala sesuatu yang harus dan layak dimaafkan. (Gulen,  2011)

Pada titik ini, tindakan-tindakan intoleran yang sarat dengan kekerasan dan pengrusakan bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia sebagai makhluk, bahkan di titik tertentu telah melanggar ajaran agama. Bukankah agama (Baca: Islam) sebagaimana tertuang dalam firman Allah SWT pada saat menjelaskan tujuan diutusnya Nabi Muhammad.

Tidaklah sekali-kali Aku (Allah) mengutusmu (wahai Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. (QS: 21, 107)

Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa tujuan diutusnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini adalah sebagai seorang utusan yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Arti kata rahmat (dalam ayat di atas) yang merupakan derivasi dari akar kata rahima-yarhamu-rahmah(t), menurut Ibnu Faris pada dasarnya menunjuk kepada arti kelembutan hati, belas kasih, dan kehalusan. Dari akar kata ini lahir kata “rahima” yang memiliki arti ikatan darah, persaudaraan, atau hubungan kerabat. Sementara menurut al-Ashfahani, arti kata rahmah adalah belas kasih yang menuntut kebaikan kepada yang dirahmati. (Qurais Shihab, 2007)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud menjadi rahmat bagi alam semesta adalah bersifat belas kasih dan memabawa kebaikan bagi seluruh alam, tak terkecuali manusia. Artinya bahwa diturunkannya Nabi Muhammad SAW sebagai seorang utusan adalah sebagai nabi pembawa rahmat bagi seluruh alam.

Penebar cinta damai tidak terbatas kepada manusia saja. Bahkan bukan hanya bagi yang “beriman”. Sebab, kata semesta (alam) bermakna ma siwa Allah alias seluruh makhluk tanpa terkecuali. Lalu, sudahkah kita mengikuti Nabi dengan sungguh-sungguh? Termasuk meneladani sebagai umatnya yang merahmati-mencintai, menolong, kepada sesama umat manusia? Jawablah!

This post was last modified on 14 April 2016 12:46 PM

Idris Masudi

Wakil Sekretaris PP Lakpesdam PBNU, mengabdi di Pascasarjana STAINU Jakarta dan aktif di Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP)

Recent Posts

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

14 jam ago

Menolak Senjakala Pesantren

Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern,…

14 jam ago

Ronggawarsita: Daya Jelajah Seorang Santri

Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam…

14 jam ago

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

2 hari ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

2 hari ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

2 hari ago